Friday, August 12, 2011

Life is Beautiful

Salah satu yang saya usahakan tiap kali pulang Indo adalah cari tukang pijat atau pergi ke tempat pijat. Sangat affordable dibanding dengan di Singapore! (ah.. sekarang aja udah kepengen lagi :-))

Beberapa minggu lalu ketika pulang ke Indo, saya dipijat oleh seorang tuna netra bernama pak W. Usianya kira2 sama dengan saya. Waktu yang cukup panjang, 2 jam (beneran 2 jam! hehe..) membuat kami bisa ngobrol lebih dari sekedar basa-basi.

Dulu dia bukan tuna netra. Dia punya penglihatan yang normal hanya ada masalah glaukoma. Suatu hari ketika dia pulang kerja dengan mengendarai motor, ia terjatuh. Tidak ada luka yang serius, jatuhnya tidak membentur tulang ekor, juga tidak membentur kepala. Setelah bangun, dia mengendarai motor lagi untuk pulang mengobati luka. Sampai di rumah kepalanya terasa pusing, maka dia pun pergi tidur. Ketika bangun tidur, dia sudah tidak bisa melihat lagi. Dia tidak tahu persis apa alasannya, tetapi yang pasti sejak saat itu dunianya menjadi gelap.

Dokter mengatakan kebutaannya tidak bisa disembuhkan. Tidak bisa menerima vonis dokter, dia mencari pengobatan alternatif. Waktu berlalu, uang makin habis, dia tidak kunjung sembuh. Selama beberapa tahun berikutnya dia menjadi orang yang pemarah. Dia tidak bisa menerima bahwa sekarang dia harus bergantung pada orang lain, untuk makan, beli rokok, mandi, untuk segala hal. Tiap kali ada orang bertanya, “bagaimana bisa jadi buta?” Jawabannya: “mau apa tanya2? emangnya bisa nyembuhin?” Kemarahannya lama-lama menjadi depresi. Sempat dia mencoba bunuh diri.

Akhirnya setelah 3 tahun berlalu, dengan bantuan keluarga, dia mulai bisa menerima kenyataan. Setelah diberitahu oleh beberapa orang, dia memilih untuk masuk sekolah menjadi tukang pijat untuk tuna netra. Ada 1 pengalaman lucu disana. Ketika dia baru masuk, dia berjalan sambil berpegangan pada tembok. Tiba2 dahinya terbentur dengan dahi orang lain. Orang itu langsung mengomel “dasar orang buta!” Dengan kesakitan dia pegang dahinya dan hatinya juga sakit. Lalu ada temannya yang dia kenal lewat disitu dan bertanya ada apa. Dia bilang baru aja berbenturan dengan orang lain. Lalu iseng2 dia tanya, “emang tadi itu siapa sih? orang awas (orang dengan mata normal) ya?” Temannya menjawab, “oh.. bukan itu si Rully, orang buta juga!” Dhueeennggg.. dia langsung kesal sambil geli sendiri, dikatain buta sama orang buta!?

Ketika saya tanya, “Pak, pernah kangen pengen ngelihat lagi?” Dia bilang “nggak”. Wah saya menjadi tertarik sekali. Lalu saya tanya kenapa. Dia bilang “kadang2 saya pikir lebih enak jadi orang buta”. Saya makin tertarik, “apanya yang enak?” Dia bilang, “hati saya lebih damai, lebih ada kebersamaan dengan teman2, lebih bisa tenang tahan emosi daripada dulu sebelum buta”. Lalu dia berkata bahwa kalau dia tidak buta dia tidak bisa bertemu dengan istrinya yang juga tuna netra. Dia bersyukur untuk keadaannya itu. Dan dia juga bersyukur bahwa dalam kondisi yang buta, dia bia bekerja, menabung, bahkan membantu keluarganya dan keluarga istrinya di kampung.

Lalu dengan nada bercanda dia berkata, “Saya sama istri juga lebih mesra. Coba aja pasti pak Jeffrey sama ibu kalah mesra”. (Dalam hati saya, enak aja, dia mana tau kami mesra apa nggak hehe..) Lalu dia bilang, “saya sama istri kalau jalan gandengan terus. (Saya langsung protes, saya juga gandengan!). Dia bilang, “ini bukan pegangan tangan tapi pegangan pundak. Kami pernah nabrak mobil sama2, nyemplung selokan juga sama2! Coba, mesra mana?”  (Wah, kalau kayak gitu sih menang dia deh hehe..). Lalu dia juga cerita, kalau pergi belanja ke supermarket, mereka selalu hanya beli yang memang dibutuhkan untuk dibeli. Dari rumah udah pikir mau beli apa, lalu minta diantar oleh teman ke supermarket, dan sampai sana mereka hanya beli sesuai rencana. Tidak pernah karena melirik-lirik, lalu jadi kepengen…. tentu aja mau lirik apa!!??

Saya kagum dengan bagaimana dia memandang keadaannya, bahkan bercanda tentang kebutaannya. Masih ingat film Life is Beautiful? Diceritakan tentang bagaimana seorang ayah mencoba membuat kehidupan di kamp konsentrasi seperti permainan bagi anaknya supaya anaknya terus melihat the beauty of the game. Dia lakukan itu supaya anaknya bertahan dengan melihat keindahan di balik kengerian. Hidup itu indah! Walaupun keadaan bisa menghancurkan keindahan itu dari luar tapi mereka yang tetap bisa melihat keindahannya, berpegang pada keindahan itu, mereka akan tetap bisa bertahan bahkan menikmati hidup.

Apalagi jika kita melalui hidup ini bersama Tuhan. Itulah hidup yang paling hidup! Saya berharap suatu kali pak W menemukan Tuhan dan mengalami hidup yang jauh lebih indah lagi.