Saturday, June 30, 2012
Bahan Saat Teduh
Sebetulnya saya membaca tafsiran di dalam rangka saat teduh. Awalnya saya menikmati saat teduh dengan cara itu, tapi lama kelamaan saat teduh saya menjadi kering. Mungkin karena mood? Mungkin juga karena pilihan buku tafsiran saya (buku tafsiran ada yang enak untuk dibaca, ada yang enak untuk dipelajari, ada yang sama sekali tidak enak!). Dan saya memutuskan bahwa saat teduh lebih berarti buat saya daripada sekedar membaca buku tafsiran. Saya masih akan membaca buku-buku tafsiran sebagai bagian dari studi, tapi sementara bukan lagi bagian dari saat teduh.
Seringkali saya mendengar orang berkata ‘saat teduh’nya kering, bosan, tidak dapat apa-apa. Ada beberapa kemungkinan untuk itu:
1. Mungkin waktu yang diberikan terlalu sedikit. Akhirnya saat teduh menjadi sekedarnya.
2. Mungkin saat teduh sama sekali tidak teduh, dilakukan di tempat ramai, di bis, di kantor, dengan iphone, ipad, dsb.
3. Mungkin saat teduhnya hanya informatif, membaca, mengerti, tapi tidak merenungkannya.
4. Mungkin saatnya untuk mengganti ‘bahan’ saat teduh. ‘Bahan’ saat teduh yang biasanya berupa buku renungan harian ditulis oleh manusia dan tidak tentu cocok dengan kita. Dalam kasus saya, buku tafsiran tertentu belum tentu cocok dengan saya untuk dipakai bersaat teduh.
Saya sendiri beberapa kali mengganti ‘bahan’ bersaat teduh. Saya pernah menggunakan buku Renungan Harian, Santapan Harian, Encounter With God. Saya pernah membaca hanya Alkitab saja berurutan dari Kejadian-Wahyu beberapa kali. Saya pernah menggunakan beberapa buku perenungan singkat seperti khotbah (satu artikel per hari). Saya pernah menggunakan buku liturgi harian (ada bacaan Alkitab, ada kisah singkat, ada doa, persis seperti liturgi). Dan saya pernah menggunakan buku-buku tafsiran. Saat ini saya sedang kembali membaca hanya Alkitab saja dengan bantuan NIV Study Bible. Rencananya saya ingin membaca ulang seluruh Alkitab dalam 80 minggu (sampai 31 Desember 2013), mudah-mudahan.
Jangan berhenti saat teduh, jangan biarkan saat teduh menjadi 'kering'. Apapun ‘bahan’nya, caranya, metodenya, yang paling penting adalah kita bersaat teduh dengan baik: membaca Firman Tuhan dan merenungkannya, mendoakannya, dan bersekutu dengan Tuhan. Dan itu lebih penting dari segalanya.
Tuesday, June 26, 2012
Pengakuan Iman Nicea
Pengakuan akan Allah Tritunggal inilah yang mempersatukan banyak orang Protestan, Anglican, gereja Ortodox, Assyrian, maupun Katolik Roma. Dan pengakuan iman yang sangat kuat menegaskan ke-Tritunggal-an Allah ini adalah Pengakuan Iman Nicea.
Pada akhir abad ketiga, seorang penatua gereja Alexandria bernama Arius menyatakan bahwa Kristus diciptakan oleh Bapa. Teologi ini diterima oleh sebagian orang sebagai salah satu solusi untuk menjelaskan Allah dalam tiga pribadi. Banyak uskup gelisah dan menganggap ajaran Arius ini sesat. Maka sebagai respons terhadap Arianisme itulah Konsili Nicea diadakan pada tahun 325 AD.
Kaisar Constantine I mengumpulkan para uskup gereja-gereja di Nicea di Bithynia (sekarang daerah Turki). Diceritakan bahwa Constantine mengundang 1800 uskup. Walaupun banyak yang tidak hadir, tapi mereka yang hadir mewakili berbagai daerah dan dianggap bersifat universal. Setelah sidang di Yerusalem (Kis 15), ini adalah pertama kalinya gereja-gereja berusaha mencapai kesepakatan melalui perwakilan dari seluruh gereja. Melalui konsili ini lahirlah pengakuan iman Nicea yang pertama. Dari beberapa ratus uskup yang hadir, hanya Arius dan dua uskup lain yang menolak rumusan Pengakuan Iman Nicea. Beberapa uskup yang tadinya mendukung Arius pun berbalik karena melihat kesesatan ajaran Arius. Maka Arius dan pendukungnya dikucilkan.
Pengakuan Iman Nicea kemudian berkembang seiring dengan bertambahnya tantangan. Pada tahun 381 dalam Konsili di Konstantinopel, bapa-bapa gereja terpaksa berhadapan dengan Macedonianisme. Pengikut Macedonian ini menolak natur keilahian Roh Kudus. Sebagai respons, bapa-bapa gereja ini menekankan keilahian dan kemanusiaan Kristus dan menambahkan pernyataan yang berkaitan dengan Roh Kudus dan karyaNya di dunia melalui gereja di dalam Pengakuan Iman Nicea. Maka lahirlah pengakuan iman Nicea yang kemudian dipergunakan di Timur.
Setelah itu di Barat, Arianisme masih hidup dan berkembang di suku-suku Jerman yang waktu itu mulai merangsek masuk ke Kekaisaran Romawi yang sudah lemah. Sebagai respons, teolog-teolog orthodoks di gereja Latin menekankan doktrin bahwa Roh Kudus keluar dari Bapa dan Anak. Kalimat itu ditambahkan ke pengakuan iman Nicea. Maka lahirlah pengakuan iman Nicea versi terakhir yang dikenal secara umum di Barat.
Pengakuan Iman Nicea, warisan bagi semua orang Kristen, adalah salah satu produk paling penting dalam sejarah gereja. Konsili Nicea dibuka dengan resmi pada tanggal 20 Mei. Dan Pengakuan Iman Nicea disahkan pada tanggal 19 Juni - tepat minggu lalu - 1687 tahun yang lalu.
Di bawah ini adalah Pengakuan Iman Nicea versi terakhir itu (dalam bahasa Indonesia):
Aku percaya kepada Allah yang Esa, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, serta segala sesuatu yang nampak maupun tak nampak.
Dan kepada satu Tuhan Yesus Kristus, Anak Tunggal Allah, diperanakkan dari Bapa sebelum segala ciptaan; Allah dari allah, Terang dari terang, Allah yang sejati; diperanakkan, bukan diciptakan, sehakekat dengan Bapa, dan oleh-Nya segala sesuatu diciptakan. Yang untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita, turun dari surga, dan berinkarnasi oleh Roh Kudus melalui anak dara Maria, dan menjadi manusia. Dia disalibkan bagi kita di bawah pemerintahan Pontius Pilatus; menderita dan dikuburkan; dan pada hari yang ketiga bangkit kembali, sesuai dengan Alkitab; naik ke surga, duduk di sebelah kanan Bapa; dan Ia akan datang kembali, dengan kemuliaan, untuk menghakimi yang hidup dan yang mati; dan Kerajaan-Nya akan kekal selamanya.
Dan aku percaya kepada Roh Kudus, Tuhan dan Sumber Kehidupan; yang keluar dari Allah Bapa dan Allah Anak, yang bersama-sama dengan Allah Bapa dan Allah Anak disembah dan dimuliakan, yang telah berfirman dengan perantaraan para nabi. Dan aku percaya kepada gereja rasuli yang kudus, esa, dan am. Aku mengakui satu baptisan untuk penebusan dosa, dan aku menantikan kebangkitan orang mati, dan kehidupan di dunia yang akan datang.
AMIN
Notes:
1. Karena pengakuan iman Nicea tidak dibacakan oleh kebanyakan gereja di Indonesia, maka sulit menentukan terjemahan 'standar'. Terjemahan di atas saya ambil dari beberapa sumber dan saya cocokkan dengan teks bahasa Inggris.
2. Gambar di atas adalah Kaisar Constantine (di tengah) dengan beberapa bapa gereja, memegang naskah Pengakuan Iman Nicea.
Thursday, June 21, 2012
Eulogi untuk GI. Sonny Putra
Saya dan istri mengenal Sonny sejak kami masih sama-sama kuliah di Universitas Trisakti. Kami satu jurusan dan juga satu angkatan dengan dia.
Kami ingat ketika saat kuliah di Trisakti itu, mendengar berita yang sangat menggembirakan: Sonny mau percaya kepada Tuhan! Dan berita berikutnya yang kami dengar adalah dia menjadi jemaat di GKY Green Ville, dibaptis di sana dan bahkan terlibat pelayanan di sana.
Kami juga ingat mendengar berita yang lebih menggembirakan lagi: Sonny mau menjadi hamba Tuhan penuh waktu! Dia sempat datang ke rumah kami (waktu itu saya sudah selesai sekolah teologi) dan berdiskusi tentang sekolah teologi mana yang akan diambil. Akhirnya dia memilih Seminari Alkitab Asia Tenggara di Malang.
Kami juga ingat berita lanjutannya yang membuat kami senang dan kagum, bahwa Sonny terlibat dalam pelayanan misi di Kartidaya, dan kemudian bergerak sendiri dalam berbagai pelayanan sebagai misionaris utusan GKY Sunter.
Walaupun terpisah jauh, beberapa kali kami kontak melalui telpon maupun email dan juga surat doa yang selalu dia kirimkan kepada kami. Melalui surat doa itu kami jadi mengetahui kegiatannya, bebannya dan berbagai program yang ingin dia jalankan.
Kami mengagumi dia. Melihat hidupnya membuat kami juga mengagumi Tuhan. Bagaimana mungkin Sonny yang kami kenal ini berubah menjadi seperti ini? Dia mengambil jalan hidup yang sama sekali tidak populer, menjadi misionaris dengan segudang pekerjaan di kota kecil. Dia diberikan beban yang sangat besar oleh Tuhan untuk pekerjaan misi. Saya ingat seorang rekan berkata dengan nada bercanda: “Sonny punya beban yang sangat besar dalam bidang misi. Jarang sekali yang seperti dia. Perlu dilestarikan orang seperti ini!” Ya, jarang sekali yang seperti dia. Sonny termasuk segelintir orang yang dipanggil Tuhan dan diberikan hak istimewa untuk melayani Tuhan di ladang misi, dan… dia termasuk lebih segelintir orang lagi yang mau mentaati panggilan itu!
Baru-baru ini waktu istri saya ulang tahun, dia sempat memberi ucapan selamat melalui sms. Istri saya kemudian bertanya tentang kesehatannya tapi dia belum membalas. Tiba-tiba tadi sore kami menerima kabar: Sonny Putra sudah meninggal.
Kami sangat sedih, tidak bisa percaya, bagaimana mungkin? Dia masih muda, belum sampai empat puluh tahun. Masih banyak pekerjaan yang belum dia selesaikan. Hidupnya berarti bagi banyak orang. Bagaimana mungkin?? Tapi ya, bukan cuma mungkin tapi sudah terjadi. Kami terdiam, menangis dan menaikkan doa untuk istrinya.
Hidup itu singkat, hanya Tuhan yang tahu kapan akan berakhir. Seringkali kita menekankan ‘hasil’. Tapi kalau Tuhan mencari hasil, harusnya Dia memberikan waktu lebih banyak untuk Sonny. Belum ada yang menggantikan Dia. Masih banyak yang bisa dia lakukan di sana. Banyak proyek yang baru mulai dia lakukan. Tunggu hasilnya dulu. Tapi Tuhan tidak menekankan ‘hasil’. Dia melihat apa yang kita kerjakan dalam waktu yang Dia berikan. Dia melihat bagaimana kita hidup dalam waktu yang Dia berikan.
Hidup itu singkat, bagaimana kita menghidupinya menjadi sangat penting. Apa sih yang kita cari selama di dunia? Kekayaan? Ketenaran? Hidup nyaman? Apa? Semua akan menjadi sampah ketika kita bertemu dengan Tuhan. Bukankah yang terbaik adalah menjalankan kehendak Tuhan di dalam waktu yang Dia berikan?
Sonny bukan saja sudah menjalankan hidup yang baik, mengikuti kehendak Tuhan, tapi Dia sudah menjalani hidup bersama dengan Tuhan. Sekarang dia sudah dipanggil Tuhan. Kami percaya dia ada di sorga dan Tuhan menyambut Dia sebagai hamba-Nya yang baik dan setia.
Sampai kita bertemu lagi di sorga Son, dan kita akan bersukacita bersama di hadapan Tuhan!
Sunday, June 17, 2012
Suami Istri: Bertengkar?
Tidak ada satu pasang suami istri pun yang tidak pernah bertengkar. Bahkan sejak pacaran, pertengkaran pasti sudah terjadi. Saya ingat seorang hamba Tuhan bicara dengan nada bercanda: “Kalau pacaran tidak pernah berantem, jangan kawin sama dia. Karena jangan-jangan kamu kawin sama orang bodoh.” Maksudnya dua orang dengan pikiran, kemauan, dan sifat yang berbeda, kalau normal pasti akan bertengkar.
Tapi bagaimana bertengkar? Di dalam percakapan dengan teman-teman yang akan menikah, kami sering menyampaikan bahwa harusnya kita makin ‘ahli’ dalam bertengkar. Bukan maksudnya lebih sering! Tapi makin tahu bagaimana menghadapi masalah penyebab pertengkaran, makin tahu bagaimana diri kita dan pasangan kita akan bereaksi, makin tahu bagaimana menyelesaikan masalah dengan baik, dan makin banyak hal yang akhirnya tidak menjadi pertengkaran lagi.
Waktu awal relasi kita mungkin ‘bodoh’, kita marah untuk sesuatu yang tidak sepantasnya, dan akhirnya menyesal. Kita juga ‘bodoh’ karena kita bereaksi dengan salah, dan akhirnya menyesal. Kita juga kaget menemukan pasangan kita bereaksi seperti itu (jangan lupa dia juga masih ‘bodoh’), dan akhirnya lebih menyesal lagi. Maka setelah sekian lama, apakah kita masih terus ‘bodoh’? Harusnya kita harus makin ‘ahli’ - bukan menghindari masalah tapi tahu bagaimana menghadapinya dan menyelesaikannya.
Bukan hanya itu, tapi bagaimana cara bertengkar juga sangat penting. Saya tidak tahu bagaimana dengan pasangan-pasangan lain, tapi saya dan istri, bahkan sejak pacaran, tidak pernah bertengkar dengan kasar. Kami tidak pernah memukul, mencakar, atau melakukan kekerasan fisik lain. Kami tidak pernah membanting barang, piring, gelas, handphone (mahal amat? :D). Kami juga tidak pernah pisah kamar ketika bertengkar, apalagi sampai kabur keluar rumah. Dan satu hal yang sangat penting, yang sering kami nasihatkan kepada pasangan lain, kami tidak pernah mengeluarkan kata-kata kasar waktu bertengkar. Bahkan saling membentak pun tidak pernah kami lakukan. Ada yang bilang kami terlalu lembut, “apa salahnya sih ‘nada keras’?” Tapi bukankah itu baik?
Ketika emosi, kita mungkin cenderung mengucapkan kata-kata kasar. Percayalah, sepuluh tahun yang akan datang, kita tidak akan ingat kita bertengkar karena apa, tapi kata-kata yang kasar itu masih kita ingat. Ketika emosi, kita mungkin cenderung ingin menyakiti – karena merasa kita disakiti – tapi bukankah kita harus selalu ingat bahwa orang yang di hadapan kita ini adalah suami/istri kita yang saya janji untuk kasihi seumur hidup?
Maka, bagaimana cara anda bertengkar? Bertengkarlah with love and in the love that comes from above. Dengan demikianlah, kita menunjukkan apa yang tertulis di pajangan yang tergantung di banyak rumah pasangan Kristen: CHRIST IS THE HEAD OF THIS HOUSE.
Happy birthday my dear wife! :-) It’s true, Christ was and is and will always be the Head of our family!
Friday, June 15, 2012
Pilgrim's Progress and Lacon
Saya memperhatikan buku ini, bolak-balik, dan tertarik untuk menggali sedikit lebih jauh tentang buku ini. Ada beberapa hal menarik yang saya temukan:
Bukan ‘isi buku’ itu yang membuat hadiah ini menarik, tapi fisiknya. Kondisi buku ini masih sangat baik, halamannya memang sudah menguning tapi masih sangat baik. Buku ini dikemas dalam (seperti yang ditulis di bagian belakangnya): “bound in rough Persian with gilt lettered backs”. Covernya seperti bagian dalam kulit yang halus dan bagian sampingnya dituliskan judul bukunya dengan warna emas.
Tidak ada sama sekali keterangan tahun berapa buku ini dicetak. Tapi yang sangat menarik adalah adanya tulisan tangan yang memberi tahu bahwa buku ini pernah diberikan sebagai hadiah Natal oleh seorang bernama Daisy R. “Ingleside” Creswick kepada seorang bernama Pricilla. Dan tahunnya adalah 1906! Itu 106 tahun yang lalu dan kondisinya masih sebagus ini. Jangan-jangan di rumah saya, dengan cepat buku ini akan deteriorate!
If there be a pleasure on earth which angels cannot enjoy, and which they might almost envy man the possession of, it is the power of relieving distress. –Lacon-Sedikit research memberi tahu saya signifikansi kalimat itu. “Lacon” bukanlah nama orang, tapi judul sebuah buku. Lengkapnya “Lacon: Or, Many Things in Few Words: Address—to Those Who Think”. Laconic adalah istilah dalam bahasa Inggris yang memang berarti singkat, pendek. Dan isi bukunya memang adalah paragraf-paragraf pendek, kalimat-kalimat bijak, seperti amsal-amsal, yang dikumpulkan menjadi sebuah buku.
Mau tahu siapa penulisnya? Namanya adalah Charles Caleb Colton (1780-1832). Dia pernah menjadi hamba Tuhan di gereja di Inggris selama belasan tahun sebelum akhirnya dia meninggalkan pelayanan dan juga Inggris. Dalam masa dia menjadi hamba Tuhan di gereja itulah dia menulis Lacon. Dia kemudian pindah ke Amerika dan kemudian ke Perancis. Disana akhirnya dia terlibat judi, sukses selama beberapa waktu, tapi akhirnya dia bangkrut. Menjelang akhir hidupnya dia sakit dan hanya hidup dari pemberian keluarganya. Dia harus dioperasi tapi dia takut operasi, dan akhirnya dia bunuh diri. (lebih lengkapnya bisa dilihat di Wikipedia).
Kisah hidupnya sangat ironis! Dan yang lebih ironis lagi adalah kalimat kutipan di atas sebetulnya tidak lengkap. Di dalam Lacon, Charles Colton menulis lengkapnya begini:
If there be a pleasure on earth which angels cannot enjoy, and which they might almost envy man the possession of, it is the power of relieving distress. If there be a pain which devils might pity man for enduring, it is the death-bed reflection that we have possessed the power of doing good, but that we have abused and perverted it to purposes of ill.Bukankah ironis? Sekitar 12-15 tahun sebelum mati, dia menulis kalimat di atas. Tapi kemudian dia tidak berbuat baik dan hidupnya makin hancur. Mungkinkah waktu di ranjang kematian, ketika akan bunuh diri, dia sempat merefleksikan hidupnya dan menyesalinya? Mungkinkah waktu itu dia ingat kalimat 'amsal' yang pernah ditulisnya sendiri itu? Kita tidak tahu.
(Jika ada kesenangan di dunia yang malaikat tidak bisa nikmati, dan yang mungkin hampir membuat mereka iri karena manusia memilikinya, itu adalah kuasa untuk melepaskan kesusahan. Jika ada kesakitan yang setan mungkin mengasihani manusia karena harus mengalaminya, itu adalah refleksi di ranjang kematian bahwa kita memiliki kuasa untuk melakukan kebaikan, tapi kita menyalahgunakannya dan merusaknya untuk tujuan yang jahat)
Saya tidak tahu dan mungkin tidak pernah tahu cerita di balik buku tua ini: Siapa Pricilla? Siapa Daisy R. Creswick? Mungkin juga tidak penting. Saya hanya sedikit melatih ‘historian in me’ :-) dan selalu akhirnya kembali menjadikannya refleksi.
Thanks Chris for this gift! :)
Tuesday, June 12, 2012
Barang Mewah
Seorang dosen di TTC pernah menceritakan prinsipnya dalam membeli barang-barang ‘mewah’. Dia berkata ada tiga hal yang dia berjanji kepada diri sendiri bahwa dia tidak akan pernah beli: Mobil, Kamera DSLR, Audio System.
Kenapa mobil? Karena dia merasa tidak perlu mobil di Singapore. Harga mobil dan COE-nya (seperti STNK di Indo), belum lagi biaya perawatan dan bensin, sangatlah mahal. Kalau perlu untuk cepat dia memilih untuk naik taxi.
Kenapa kamera? Karena dia merasa kamera seperti racun yang tidak ada habisnya. Sekali dia ‘menyentuh’ hobi fotografi dan membeli kamera, maka dia akan selalu ingin yang lebih baik, lensa yang lebih baik, jenis lensa yang lain, dan berbagai perlengkapan lainnya. Maka dia memilih untuk membiasakan diri dengan kamera biasa.
Kenapa audio system? Dia melihat temannya yang terbiasa dengan audio system yang baik, tidak bisa lagi mendengar musik dengan kualitas suara yang biasa. Maka temannya itu membeli bukan saja CD Player, speaker, amplifier, yang makin lama harus makin bagus, tapi bahkan kabel pun harus yang makin mahal. Dan ironisnya, ketika temannya punya anak, seluruh audio system itu harus dibuatkan pagar untuk melindungi mereka dari penjelajah kecil di rumah itu. Ironis, ingin dengar musik, harus bagus, tapi rumah jadi tidak nyaman karena semua dipagari. Maka dia memilih membiasakan diri mendengar musik dari tape seharga $50 saja.
Saya langsung tidak setuju dengan dia!
Soal mobil jelas Singapore bukan Indonesia. Kita tahu mobil di Indonesia, apalagi di Jakarta, bukan lagi kebutuhan mewah tapi keharusan. Ok saya tahu tidak 100% harus (ada bajaj, mikrolet, busway, dll) tapi minimal err.. 95.7% harus. Maka kondisi saya dan dia berbeda. Walupun pertanyaannya boleh diteruskan: Mobil apa?
Tapi soal kamera saya juga tidak setuju. Saya suka fotografi dan saya juga membeli kamera DSLR. Tapi saya membatasi diri, bukan hanya berdasarkan kemampuan kantong, tapi juga berdasarkan kebutuhan. Saya bertanya dulu apakah saya butuh, seberapa bagus yang saya butuh, kapan saya butuh, baru saya putuskan untuk membeli perlengkapan fotografi saya.
Demikian pula soal audio system. Saya suka kualitas suara yang baik. Walaupun telinga saya tetap kelas rendahan yang bisa mendengar yang kurang baik juga, tapi saya tahu bedanya yang baik dan tidak. Walaupun begitu, saya mempertimbangkan berapa sering saya mendengar musik, berapa keras volume yang bisa saya dengar di rumah yang nempel dengan tetangga (kalau volume kecil, sebagus apapun audio system jadi tidak kerasa bagusnya), dan akhirnya dengan kondisi seperti itu berapa sih jumlah yang ‘wise’ saya pakai untuk itu? (Btw, sekarang saya hanya mendengar musik dengan CD player hadiah dari BCA lima tahun lalu dan speaker komputer).
Tapi setelah pikir-pikir, saya mengerti mengapa dia seperti itu. Dia takut dirinya suka dengan barang mewah, dia tidak ingin dirinya menjadi terbiasa dengan barang mewah (sebaliknya: tidak terbiasa dengan barang murah), dia kuatir makin mengapresiasi state-of-the-art teknologi, dan akhirnya membuat dia merasa membutuhkan semua itu.
Saya rasa dia ada benarnya. Coba saja kita yang biasa membeli baju bermerk mahal, pasti makin sulit untuk membeli baju murah. Kalau kita biasa memakai tas mahal, kita akan sulit memakai tas murah. Rasanya kurang PD, rasanya kurang pas di hati, dan seterusnya. Kalau kita biasa memakai laptop dengan kemampuan yang wah, makin sulit untuk ‘turun’ memakai laptop dengan kualitas biasa. Demikian pula mobil, kamera, audio system, sekali naik susah turun. Maka tanpa sadar standard of living kita terus naik.
Semboyan dia bagus juga: Jangan biasakan diri dengan barang mewah! Banyak orang suka ‘barang bagus’ tanpa punya rem yang juga bagus. Dan rasa suka itu memang membuat rem makin lama makin blong. Kita suka, kita mampu, beli, makin suka, makin terbiasa, makin mampu, beli lagi, dan seterusnya. Dan rem kita makin tidak berfungsi.
Saya yakin tidak semua orang harus seperti dia, dengan agak ekstrim menjauh dari kesukaan akan barang bagus. Tapi saya juga yakin tiap orang harus punya rem. Dan rem itu harusnya bukan hanya dari kemampuan kantong (karena nanti begitu mampu kita akan beli), atau ‘kebutuhan’ (karena suka dan terbiasa akhirnya membuat kita merasa butuh), tapi harusnya juga dari melatih dan mengasah diri untuk dengan sengaja memilih untuk lebih sederhana. Tidak ada patokannya berapa sederhana, barang apa yang perlu atau jangan dibeli, tiap orang pasti berbeda, tapi tiap orang harus memperkuat dan menjaga kualitas rem masing-masing. How good is your brake system?
Bagaimanapun, berhati-hatilah setiap kali menaikkan standard of living. Susah turun lagi karena rem akan makin blong. Tapi jangan berhati-hati waktu menaikkan standard of giving. Teruskan saja karena hati akan makin plong.