Tuesday, June 12, 2012

Barang Mewah

Seorang dosen di TTC pernah menceritakan prinsipnya dalam membeli barang-barang ‘mewah’. Dia berkata ada tiga hal yang dia berjanji kepada diri sendiri bahwa dia tidak akan pernah beli: Mobil, Kamera DSLR, Audio System.

Kenapa mobil? Karena dia merasa tidak perlu mobil di Singapore. Harga mobil dan COE-nya (seperti STNK di Indo), belum lagi biaya perawatan dan bensin, sangatlah mahal. Kalau perlu untuk cepat dia memilih untuk naik taxi.

Kenapa kamera? Karena dia merasa kamera seperti racun yang tidak ada habisnya. Sekali dia ‘menyentuh’ hobi fotografi dan membeli kamera, maka dia akan selalu ingin yang lebih baik, lensa yang lebih baik, jenis lensa yang lain, dan berbagai perlengkapan lainnya. Maka dia memilih untuk membiasakan diri dengan kamera biasa.

Kenapa audio system? Dia melihat temannya yang terbiasa dengan audio system yang baik, tidak bisa lagi mendengar musik dengan kualitas suara yang biasa. Maka temannya itu membeli bukan saja CD Player, speaker, amplifier, yang makin lama harus makin bagus, tapi bahkan kabel pun harus yang makin mahal. Dan ironisnya, ketika temannya punya anak, seluruh audio system itu harus dibuatkan pagar untuk melindungi mereka dari penjelajah kecil di rumah itu. Ironis, ingin dengar musik, harus bagus, tapi rumah jadi tidak nyaman karena semua dipagari. Maka dia memilih membiasakan diri mendengar musik dari tape seharga $50 saja.

Saya langsung tidak setuju dengan dia!

Soal mobil jelas Singapore bukan Indonesia. Kita tahu mobil di Indonesia, apalagi di Jakarta, bukan lagi kebutuhan mewah tapi keharusan. Ok saya tahu tidak 100% harus (ada bajaj, mikrolet, busway, dll) tapi minimal err.. 95.7% harus. Maka kondisi saya dan dia berbeda. Walupun pertanyaannya boleh diteruskan: Mobil apa?

Tapi soal kamera saya juga tidak setuju. Saya suka fotografi dan saya juga membeli kamera DSLR. Tapi saya membatasi diri, bukan hanya berdasarkan kemampuan kantong, tapi juga berdasarkan kebutuhan. Saya bertanya dulu apakah saya butuh, seberapa bagus yang saya butuh, kapan saya butuh, baru saya putuskan untuk membeli perlengkapan fotografi saya.

Demikian pula soal audio system. Saya suka kualitas suara yang baik. Walaupun telinga saya tetap kelas rendahan yang bisa mendengar yang kurang baik juga, tapi saya tahu bedanya yang baik dan tidak. Walaupun begitu, saya mempertimbangkan berapa sering saya mendengar musik, berapa keras volume yang bisa saya dengar di rumah yang nempel dengan tetangga (kalau volume kecil, sebagus apapun audio system jadi tidak kerasa bagusnya), dan akhirnya dengan kondisi seperti itu berapa sih jumlah yang ‘wise’ saya pakai untuk itu? (Btw, sekarang saya hanya mendengar musik dengan CD player hadiah dari BCA lima tahun lalu dan speaker komputer).

Tapi setelah pikir-pikir, saya mengerti mengapa dia seperti itu. Dia takut dirinya suka dengan barang mewah, dia tidak ingin dirinya menjadi terbiasa dengan barang mewah (sebaliknya: tidak terbiasa dengan barang murah), dia kuatir makin mengapresiasi state-of-the-art teknologi, dan akhirnya membuat dia merasa membutuhkan semua itu.

Saya rasa dia ada benarnya. Coba saja kita yang biasa membeli baju bermerk mahal, pasti makin sulit untuk membeli baju murah. Kalau kita biasa memakai tas mahal, kita akan sulit memakai tas murah. Rasanya kurang PD, rasanya kurang pas di hati, dan seterusnya. Kalau kita biasa memakai laptop dengan kemampuan yang wah, makin sulit untuk ‘turun’ memakai laptop dengan kualitas biasa. Demikian pula mobil, kamera, audio system, sekali naik susah turun. Maka tanpa sadar standard of living kita terus naik.

Semboyan dia bagus juga: Jangan biasakan diri dengan barang mewah! Banyak orang suka ‘barang bagus’ tanpa punya rem yang juga bagus. Dan rasa suka itu memang membuat rem makin lama makin blong. Kita suka, kita mampu, beli, makin suka, makin terbiasa, makin mampu, beli lagi, dan seterusnya. Dan rem kita makin tidak berfungsi.

Saya yakin tidak semua orang harus seperti dia, dengan agak ekstrim menjauh dari kesukaan akan barang bagus. Tapi saya juga yakin tiap orang harus punya rem. Dan rem itu harusnya bukan hanya dari kemampuan kantong (karena nanti begitu mampu kita akan beli), atau ‘kebutuhan’ (karena suka dan terbiasa akhirnya membuat kita merasa butuh), tapi harusnya juga dari melatih dan mengasah diri untuk dengan sengaja memilih untuk lebih sederhana. Tidak ada patokannya berapa sederhana, barang apa yang perlu atau jangan dibeli, tiap orang pasti berbeda, tapi tiap orang harus memperkuat dan menjaga kualitas rem masing-masing. How good is your brake system?

Bagaimanapun, berhati-hatilah setiap kali menaikkan standard of living. Susah turun lagi karena rem akan makin blong. Tapi jangan berhati-hati waktu menaikkan standard of giving. Teruskan saja karena hati akan makin plong.