Saya dan istri mengenal Sonny sejak kami masih sama-sama kuliah di Universitas Trisakti. Kami satu jurusan dan juga satu angkatan dengan dia.
Kami ingat ketika saat kuliah di Trisakti itu, mendengar berita yang sangat menggembirakan: Sonny mau percaya kepada Tuhan! Dan berita berikutnya yang kami dengar adalah dia menjadi jemaat di GKY Green Ville, dibaptis di sana dan bahkan terlibat pelayanan di sana.
Kami juga ingat mendengar berita yang lebih menggembirakan lagi: Sonny mau menjadi hamba Tuhan penuh waktu! Dia sempat datang ke rumah kami (waktu itu saya sudah selesai sekolah teologi) dan berdiskusi tentang sekolah teologi mana yang akan diambil. Akhirnya dia memilih Seminari Alkitab Asia Tenggara di Malang.
Kami juga ingat berita lanjutannya yang membuat kami senang dan kagum, bahwa Sonny terlibat dalam pelayanan misi di Kartidaya, dan kemudian bergerak sendiri dalam berbagai pelayanan sebagai misionaris utusan GKY Sunter.
Walaupun terpisah jauh, beberapa kali kami kontak melalui telpon maupun email dan juga surat doa yang selalu dia kirimkan kepada kami. Melalui surat doa itu kami jadi mengetahui kegiatannya, bebannya dan berbagai program yang ingin dia jalankan.
Kami mengagumi dia. Melihat hidupnya membuat kami juga mengagumi Tuhan. Bagaimana mungkin Sonny yang kami kenal ini berubah menjadi seperti ini? Dia mengambil jalan hidup yang sama sekali tidak populer, menjadi misionaris dengan segudang pekerjaan di kota kecil. Dia diberikan beban yang sangat besar oleh Tuhan untuk pekerjaan misi. Saya ingat seorang rekan berkata dengan nada bercanda: “Sonny punya beban yang sangat besar dalam bidang misi. Jarang sekali yang seperti dia. Perlu dilestarikan orang seperti ini!” Ya, jarang sekali yang seperti dia. Sonny termasuk segelintir orang yang dipanggil Tuhan dan diberikan hak istimewa untuk melayani Tuhan di ladang misi, dan… dia termasuk lebih segelintir orang lagi yang mau mentaati panggilan itu!
Baru-baru ini waktu istri saya ulang tahun, dia sempat memberi ucapan selamat melalui sms. Istri saya kemudian bertanya tentang kesehatannya tapi dia belum membalas. Tiba-tiba tadi sore kami menerima kabar: Sonny Putra sudah meninggal.
Kami sangat sedih, tidak bisa percaya, bagaimana mungkin? Dia masih muda, belum sampai empat puluh tahun. Masih banyak pekerjaan yang belum dia selesaikan. Hidupnya berarti bagi banyak orang. Bagaimana mungkin?? Tapi ya, bukan cuma mungkin tapi sudah terjadi. Kami terdiam, menangis dan menaikkan doa untuk istrinya.
Hidup itu singkat, hanya Tuhan yang tahu kapan akan berakhir. Seringkali kita menekankan ‘hasil’. Tapi kalau Tuhan mencari hasil, harusnya Dia memberikan waktu lebih banyak untuk Sonny. Belum ada yang menggantikan Dia. Masih banyak yang bisa dia lakukan di sana. Banyak proyek yang baru mulai dia lakukan. Tunggu hasilnya dulu. Tapi Tuhan tidak menekankan ‘hasil’. Dia melihat apa yang kita kerjakan dalam waktu yang Dia berikan. Dia melihat bagaimana kita hidup dalam waktu yang Dia berikan.
Hidup itu singkat, bagaimana kita menghidupinya menjadi sangat penting. Apa sih yang kita cari selama di dunia? Kekayaan? Ketenaran? Hidup nyaman? Apa? Semua akan menjadi sampah ketika kita bertemu dengan Tuhan. Bukankah yang terbaik adalah menjalankan kehendak Tuhan di dalam waktu yang Dia berikan?
Sonny bukan saja sudah menjalankan hidup yang baik, mengikuti kehendak Tuhan, tapi Dia sudah menjalani hidup bersama dengan Tuhan. Sekarang dia sudah dipanggil Tuhan. Kami percaya dia ada di sorga dan Tuhan menyambut Dia sebagai hamba-Nya yang baik dan setia.
Sampai kita bertemu lagi di sorga Son, dan kita akan bersukacita bersama di hadapan Tuhan!