Philip Yancey di dalam tulisannya yang berjudul “Nietzsche Was Right” mengutip sebuah cerita tentang seorang Kristen yang “sungguh-sungguh” – a committed Christian. Orang itu sedang berencana untuk meninggalkan suaminya. Sementara di saat yang sama, orang itu berkata bahwa dia biasa bangun sangat pagi “untuk satu jam bersama dengan Bapa”. Ketika Yancey bertanya apakah di dalam satu jam itu Tuhan mengatakan sesuatu tentang keputusannya meninggalkan suaminya, orang itu berkata, “Bapa dan saya berada dalam sebuah relasi, bukan moralitas. Relasi berarti sepenuhnya supportive dan berdiri di sisi saya, bukan menghakimi saya”.
Kisah di atas makin familiar hari ini. Banyak orang yang menganggap dirinya dekat dengan Tuhan, relasinya dengan Tuhan tidak ada masalah, tapi sengaja dan terus hidup dalam dosa. Ketika semua menegur, dia merasa “hanya Tuhan satu-satunya yang mengenal dan mengerti diriku, yang lain tidak”.
Mengapa bisa terjadi hal seperti ini?
Pertama, khususnya gerakan Injili sangat menekankan sisi Allah yang adalah kasih. Allah adalah sahabat kita, Allah mengerti hati kita, Allah menolong di saat kita susah, dst. Beberapa orang (mis: Marva Dawn, Philip Yancey, N.T. Wright – walaupun dengan dasar yang mungkin berbeda) mengklaim bahwa penekanan Alkitab bukanlah God loves tapi God rules. Allah itu memerintah, berkuasa, harus disembah, dalam hidup kita. Saya setuju dengan itu.
Tapi yang membuat penekanan pada God loves menjadi salah adalah karena hari ini konsep tentang ‘love’ sangat berbeda dengan Alkitab. Dalam Alkitab, kasih akan menghajar yang dikasihi karena ingin yang dikasihi menjadi benar. Tapi konsep tentang kasih hari ini sangat kekanak-kanakkan: Kasih berarti memberi apa saja yang saya mau dan perlu, dan selalu memaklumi mengapa saya memerlukannya! Persis seperti anak kecil yang marah, nangis, teriak, ketika tidak dibiarkan makan permen terlalu banyak. Maka spiritualitas dan etika terpisah: “Saya mengasihi dan dikasihi Tuhan” dengan “Saya mentaati Tuhan yang memerintah saya”.
Kedua, banyak gerakan spiritualitas memberikan penekanan terlalu berlebihan pada sisi perasaan – peromantisan hubungan dengan Tuhan. Tulang pengajaran yang kuat diabaikan sementara perasaan akan kehadiran Tuhan ditekankan. Saya percaya Tuhan adalah Tuhan yang hidup yang harusnya kita alami. Ketika kita ‘tahu’ tentang Dia, pengetahuan itu harus berubah menjadi pengenalan akan Dia dan pengalaman dengan Dia. Masalahnya celaka sekali kalau kita tidak ‘tahu’ tentang Dia, siapa yang mau kita kenal? Tanpa sadar akhirnya konsep kita tentang Tuhan adalah berhala buatan kita sendiri. Marva Dawn berkata ketika gereja gagal mengembangkan tulang doktrin, sangat mungkin terjadi pemisahan antara spiritualitas dan etika (kelakuan, moralitas): “Saya dekat dengan Tuhan” dan “Saya harus mentaati Dia”.
Maka betul kata Paulus kepada Timotius: Akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng (2 Tim. 4:3-4). Mereka bukan tidak mau mendengar khotbah yang keras. Silakan khotbah yang keras, menegur dosa, atau apapun juga, tapi semua akan lewat di atas kepala. Tapi silakan khotbah yang ‘mengena’, tentang Allah yang peduli, mengasihi, maka telinga mereka dengan gatal menerima perkataan itu.
Saya tahu sulit untuk berdiri di tengah-tengah, jangan terlalu ke kiri atau ke kanan. Kita bisa jatuh ke ekstrim kiri atau kanan. Tapi bukankah itu tugas kita untuk selalu memeriksa kekurangan dan kesalahan ajaran kita, lengkap dengan segala bahaya di dalamnya?