Ini bagian yang keempat dalam tulisan seri “Cara Berpikir”. Saya pernah
menulis di blog ini tentang
cara berpikir:
Cara
Berpikir – Part 1: Apa sih Masalahnya?
Cara
Berpikir – Part 2: Benarkah Begitu?
Cara Berpikir - Part 3: Seeing Both the Forest and Tress
Semua masalah selalu ada “penyebab”nya di belakangnya. Kadang “penyebab”nya
ada satu , dua, tiga, atau bahkan lebih. Setiap “penyebab” itu juga ada lagi
“penyebab” di belakangnya. Demikian seterusnya… Kalau ditarik terus ke
belakang…terussss ke belakang…lama-lama penyebabnya adalah dosa Adam. Artinya
nariknya udah kejauhan!
Sederhananya begini, ada penyebab yang masih bisa kita rubah, ada penyebab
yang tidak bisa kita rubah lagi alias harus diterima. Maka kita perlu mencari ke
belakang dan bertanya terus “apa penyebabnya” sejauh ke penyebab yang masih
dalam batas kemampuan kita untuk merubah.
Saya menggunakan dua istilah untuk menolong kita berpikir:
“Symptoms” dan “Cause.”
“Symptoms” (gejala, keluhan, sesuatu yang muncul dan kelihatan)
adalah sesuatu yang muncul ke permukaan yang diakibatkan oleh “cause”
(penyebab). Ketika seorang pasien datang ke dokter, seringkali dia tidak tahu
apa penyakitnya. Dia hanya akan datang dengan menceritakan symptoms
yang dialami dan dokter juga menggali data dari symptoms yang
diceritakan. Misalnya kalau dia demam, sudah berapa lama, sampai berapa suhunya.
Lalu apakah perutnya sakit ketika ditekan, apakah lidahnya berwarna putih,
apakah ada bintik merah di tangan, dst. Yang dilakukan seorang dokter adalah
mencari sebanyak mungkin symptoms, lalu menebak apa cause nya.
Dia tidak boleh hanya menangani symptoms; demam dikasih pereda panas,
sakit perut dikasih panadol, dst. Itu dokter ngaco! Dia harus mencari
cause-nya dan menyelesaikan akar masalahnya.
Kesulitannya adalah masalah selalu muncul dalam bentuk symptoms dan
kecenderungan kita adalah mencoba menyelesaikan symptoms itu. Praktis.
Cepat. Ada masalah ada jawaban. Tapi celakanya, kalau cause nya tidak
dibereskan, maka masalah akan terus muncul. Bahkan kadang muncul dalam bentuk
symptoms yang lain.
Di dalam pelayanan, berkali-kali saya melihat ini terjadi.
Jemaat mengeluh khotbah membosankan (symptoms). Kalau ditanya apa
masalahnya, maka jawabannya adalah terlalu dalam, tidak praktis, terlalu
“doktrinal” (analisa symptoms yang salah). Maka dicarilah tema yang
lebih praktis, lalu pengkhotbah dipesankan untuk tidak membawakan yang dalam
tapi yang ringan-dan-lucu saja. Padahal masalahnya bukan itu! Masalahnya
justru mungkin karena pengkhotbah tidak membawakan dengan mendalam dan relevan
(cause)! Justru Alkitab perlu diajarkan dengan sangat mendalam (jauh
lebih mendalam dari yang kebanyakan hari ini terjadi di banyak gereja), tetapi
tetap harus relevan.
Di beberapa gereja diterapkan jam kantor “9 to 5” untuk hamba Tuhan.
Seringkali alasannya adalah: Jemaat aja ngantor.. ngapain aja hamba Tuhan
kerjanya? Supaya yakin hamba Tuhan juga kerja, maka buat jam kantor
(symptoms). Padahal di kebanyakan kasus, cause-nya adalah
karena jemaat merasa tidak puas dengan pelayanan hamba Tuhan di gerejanya.
Mungkin itu masalah relasi, leadership, khotbah, arah gereja, macam-macam. Kalau
symptoms dibereskan dengan dibuatkan jam kantor, apakah masalah beres?
Tidak, akan muncul symptoms yang lain.
Demikian pula dengan seruan beberapa orang untuk membuat program ini dan itu,
untuk membuat perubahan di sini dan situ, dst. Alasannya? Jemaat perlu! Ini
bagus untuk pertumbuhan gereja! Macam-macam sih alasannya. Jangan cepat-cepat!
Karena kalau ditelusuri, seringkali bukan itu yang diinginkan dan dibutuhkan.
Maka perlu discernment untuk melihat apa sebetulnya yang terjadi, apa
penyebabnya, lalu apa yang betul-betul harus dilakukan.
Saya juga melihat ini terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Anak yang selalu menangis, ngambek, ngotot, minta untuk dibelikan mainan
(symptoms), belum tentu sebetulnya menginginkan mainan itu. Mungkin
yang dia inginkan adalah perhatian orang tuanya (cause). Satu-satunya
yang dia bisa adalah menangis dan minta dibelikan mainan karena saat itulah,
untuk sesaat, dia merasa diperhatikan. Tapi apakah masalahnya selesai? Tidak.
Dia tetap butuh perhatian. Maka dia akan menangis lagi minta dibelikan mainan.
Beberapa anak menunjukkan prestasi yang buruk di sekolah. Sebagian orang tua
berpikir sederhana, prestasi buruk, kurang rajin belajar, maka solusinya
diberikan les tambahan. Padahal mungkin bukan itu masalahnya. Mungkin dia punya
masalah dengan teman-teman atau guru di sekolah? Mungkin dia tidak cocok dengan
cara belajar seperti itu? Mungkin dia tidak tertarik dengan pelajarannya?
Demikian pula dalam kehidupan kita. Ketika kita kesepian, kita memikirkan
segala cara untuk mengisi kesepian dan kekosongan itu, dari mulai
shopping, nonton, jalan-jalan, dugem, apa saja. Tapi ujungnya tetap
sepi. What’s wrong? Karena kita fokus hanya di symptoms:
kesepian. Kita tidak addressing the cause: hati kita yang membutuhkan
Tuhan.
Maka pola pikir ini bisa menolong kita dalam banyak hal. Jangan melihat
sesuatu hanya di permukaan. Jangan melihat masalah hanya dari symptoms-nya
dan jangan fokus memberekan hanya symptoms karena tidak akan beres.
Address the cause!