Saya baru saja kembali dari rumah doa di Lembang. Saya pergi kesana
to iron out the wrinkles in my heart. Setibanya di sana saya
langsung masuk ke kamar doa. Setelah sekitar satu setengah jam, saya memutuskan untuk berjalan-jalan di taman.
Seorang tukang kebun yang sudah lama bekerja di situ mengenali dan menyapa
saya dengan ramah. Tiba-tiba dia bertanya, “Bapak tahu kalau Ibu sudah
meninggal?”
Pikiran saya langsung teringat pada seorang ibu pengelola rumah doa ini. Saya
mengenalnya karena dulu sering telpon untuk book tempat lalu beberapa
kali bertemu dengannya di rumah doa. Walaupun tidak terlalu kenal, tapi dia
selalu menyambut saya seperti sudah lama kenal. Belakangan melalui berbagai
peristiwa saya jadi tahu sekelumit kisah hidupnya. Dia seorang wanita yang
hidupnya penuh kesulitan tapi tegar, beriman, dan hidupnya sangat menjadi berkat
bagi banyak orang. Rumah doa itu pun lahir dari kerinduan dan beban dia. Lalu
akhirnya saya mendengar berita dia sakit dan akhirnya meninggal.
Maka saya menjawab “ya, saya tahu” kepada tukang kebun itu. Lalu dia
menghampiri saya dan sambil berjongkok dia bercerita bahwa waktu itu si Ibu
sempat bilang mau ke Singapore. Bagi dia, waktu itu, si Ibu tampaknya baik-baik
saja. Tiba-tiba berita itu tiba dan dia sempat tidak percaya. Lalu dengan muka
muram dia bilang, “Kita kehilangan pak… dia orang baek banget… susah cari orang
baek begitu. Dia sangat sosial, dia pernah minta saya bikin daftar penduduk di
kampung di atas yang perlu dibantu. Dan dia terus bantu”.
Lalu dia berkata bahwa dia senang waktu mendengar jenazah si Ibu akan dibawa
pulang ke tanah air. “Dulu Ibu pernah bilang kalau dia meninggal, dia mau
jenazahnya dipikul sama anak-anak rumah doa (karyawan). Saya pengen penuhin
pesannya”. Kemudian dia bercerita bahwa waktu pemakaman, di kuburan sangatlah
ramai. Dengan wajah berduka dan dengan lirih dia berkata, “saya nggak percaya…
cepet banget… Ibu orang baek.”
Di tengah rumitnya dan berbelit-belitnya pikiran saya, percakapan singkat itu
memberikan kesegaran tersendiri. Saya jadi diingatkan kembali what kind of
life do I want to live?
James Dobson pernah mengumpamakan hidup seperti permainan monopoli. Waktu
bermain, semua bisa serakah, berebut uang, berusaha mengalahkan lawan, bersaing
membeli rumah dan tanah, sambil tertawa-tawa puas ketika menang. Tapi setelah
permainan selesai, semua harus kembali masuk ke kotak. Semua yang tadinya begitu
berharga, tidak ada lagi artinya. Kesenangan karena menang pun tidak ada lagi
nilainya. Tapi bagaimana menjalani permainan tadi bersama orang-orang lain,
itulah yang bernilai.
Sebelum berangkat ke rumah doa, saya secara acak membawa satu buku dari
perpustakaan untuk dibaca di sana. Mau tahu judulnya? Our Greatest Gift: A Meditation on Dying
and Caring (Henri J. M. Nouwen). Pas banget!
Nouwen melayani di komunitas penyandang cacat mental dan dia berkata ada
banyak hal yang tidak bisa dilakukan mereka seperti orang di luar komunitas
mereka. Ada yang tidak bisa mendengar, tidak bisa berhitung, tidak bisa membaca,
ada yang tidak bisa makan atau mandi sendiri, dan ada yang sama sekali tidak
bisa apa-apa. Mereka sadar bahwa hidup akan semakin berat seiring dengan
bertambahnya usia. Tetapi bukankah semua itu juga dialami oleh orang-orang yang
“sehat” ketika menjadi tua? Pada waktu muda kita mungkin berbeda, ada yang bisa
ini dan itu, ada yang dapat ini dan itu, dan ada yang tidak bisa dan dapat
apa-apa. Tetapi ketika tua, kita semua akan semakin mirip. Kita sama-sama akan
bergantung kepada orang lain. Sama-sama tidak bisa ini dan itu. Hidup kita
adalah dari dependence (masa kecil) ke dependence (masa tua).
Sampai akhirnya kita akan persis sama: Meninggal! Maka bagaimana kita hidup, di
dalam keterbatasan masing-masing, itulah yang bernilai.
Hidup memang penuh dengan kesulitan. Maka kita berjuang - kita berusaha dengan
segala cara untuk mengatasi kesulitan. Ditambah lagi manusia lapar untuk
menjadi signifikan (hunger for significance). Maka dalam usaha
mengatasi kesulitan, kadang kita menyusun strategi untuk mengalahkan orang lain
dan tertawa puas ketika menang. Sebaliknya kadang kita merasa terpukul ketika
kalah. Akhirnya kita lupa apa yang bernilai di dalam hidup kita dan apa yang
sebetulnya harus kita kejar. Kita hanya sibuk memuaskan kelaparan ego kita.
Saya teringat sebuah film seri televisi “Bu Bu Jing Xin” (步步惊心) yang saya
tonton dulu di Singapore. Ceritanya adalah tentang perebutan kekuasaan di antara
anak-anak kaisar Kangxi. Belasan pangeran itu sejak kecil bersama-sama, main
kuda bersama, berbincang bersama, sampai akhirnya mereka makin dewasa dan berebut
kekuasaan. Pangeran yang ke-4, dengan segala cara, akhirnya berhasil menjadi
kaisar. Saudaranya yang setia kepadanya sudah meninggal. Saudara-saudaranya yang
melawan dia sudah disingkirkan dan meninggal. Satu persatu saudaranya sudah
tiada. Dia sudah “menang”.
Lalu ada satu adegan dimana dia berdiri sendirian di istana sambil memandang
halaman yang luas. Kemudian dengan wajah yang datar dia berkata, “mereka semua
sudah tidak ada, hanya tinggal aku sendirian”. Saya kira sutradara film itu
sengaja menghadirkan adegan itu dengan setting seperti itu, istana yang kosong, tidak ada lagi keramaian masa lalu, dan dia sendirian. Seakan
bertanya kepada kita: “Lalu apa?”
Suatu kali nanti kita akan memandang ke belakang dan melihat semua yang
pernah kita dapatkan atau menangkan dan bertanya, “Lalu apa?” Bahkan pertanyaan
itu pun sudah tidak relevan ketika kita meninggal.
Ada banyak doa yang saya panjatkan di sana. Tapi, somehow,
perenungan akan kematian dan kehidupan itu menyegarkan hati saya kembali.
What kind of life do I want to live?