Monday, October 31, 2011
My Thesis Writing - 2
Pemilihan judul thesis saya – Paul’s Missionary Expectations of His Churches: An Ecclesiological Approach to Resolving a Recent Debate – adalah pimpinan Tuhan yang luar biasa. Ada kisah panjang di balik itu.
Sejak masih kuliah saya sering mendengar orang berkhotbah tentang penginjilan. Kurang lebih arahnya selalu adalah: “Penginjilan adalah tugas setiap kita. Penginjilan adalah kemana-mana membagikan berita Injil – lewat traktat, lewat perbincangan, lewat apa saja. Penginjilan dilakukan kapan saja dan kepada siapa saja – kepada teman, kepada orang yang duduk di samping kita di kereta, kepada supir taksi. Berita Injil adalah Yesus mati bagi dosamu, bangkit pada hari yang ketiga, maukah engkau percaya dan mengikut Dia?” Kurang lebih selalu begitu.
Uniknya, saya menemukan bahwa kurang lebih responnya selalu dua macam: Mereka yang menjadi tertantang untuk melakukannya dan Tuhan berkati dan mereka yang menjadi merasa bersalah karena merasa tidak bisa. Something wrong?
Waktu saya kuliah teologi, di sebuah kesempatan saya berdebat dengan seorang dosen tentang masalah ini. Dia sangat marah sampai mengeluarkan saya dari kelas! (Sekarang saya tersenyum mengingat peristiwa itu, dulu sih tidak). Pendek cerita, pengalaman itu membekas bagi saya. Saya makin berpikir dengan dalam, something wrong dalam konsep orang Kristen tentang penginjilan, paling tidak dalam level populer. Beberapa ayat Alkitab yang sering dipakai untuk mengkhotbahkan tentang penginjilan menurut saya tidak pernah dibahas dengan benar. Pengutipan ayatnya salah dan pembahasannya pun salah.
Kesibukan membuat saya kemudian tidak terlalu mengingatnya lagi.
Selama kuliah di TTC, saya mengambil kuliah Ancient Texts for NT Studies. Setahu saya, dalam waktu beberapa tahun ini saya adalah satu-satunya mahasiswa yang mengambil kuliah itu sebagai kredit. Kemudian karena teman saya ingin membuat thesis mengenai Kisah Para Rasul, maka profesor kami merancang mata kuliah baru yang belum pernah dia ajarkan: Paul as Missionary in Acts. Saya ikut kuliah itu.
Saya pernah berpikir bahwa saya akan membuat thesis mengenai Yohanes. Tapi ketika saya berpikir keras akan judul thesis saya, tiba-tiba ingatan tentang pergumulan masa lalu muncul kembali. Mengapa saya tidak membuat sesuatu mengenai penginjilan? Saya ingin belajar tentang penginjilan, apa sebenarnya yang diajarkan Alkitab tentang penginjilan?
Tiba-tiba semua menjadi make sense untuk saya. Kuliah Ancient Texts for NT Studies menolong saya untuk familiar dengan berbagai teks kuno yang sering dikutip studi Paulus. Kuliah Paul as Missionary in Acts merangsang kembali pemikiran saya akan konsep Paulus tentang misi. Maka saya memutuskan, mengapa saya tidak menyelidiki konsep Paulus tentang misi?
Itu sebabnya semester lalu, supervisor saya meminta untuk saya membuat paper: Was Second Temple Judaism a Missionary Religion? Studi itu memberi saya gambaran tentang apa yang akan saya buat.
And here I am, merenung, berpikir - kadang hampir frustasi – tentang Paul’s Missionary Expectations of His Churches. Concern saya adalah pastoral. Bagaimana gereja harus bermisi – atau lebih tepat mendorong jemaat bermisi? Bermisi seperti apa? Saya berharap concern itu membakar lagi hati saya tiap kali saya hampir frustasi.
Thursday, October 27, 2011
The Bible in Translation - Bruce Metzger
Alkitab. Beberapa bukunya menjadi standar dalam bidang itu. Dia juga menjadi anggota komite penerjemahan Revised Standard Version (RSV) dan New Revised Standard Version (NRSV).
Dalam buku ini dia menceritakan latar belakang dari berbagai versi Alkitab kuno seperti Septuaginta, Targum, Syria, Latin, Coptic, dan sebagainya. Kemudian dia juga menceritakan kisah di balik pembuatan berbagai versi Alkitab dalam bahasa Inggris, lebih dari 40 versi yang dia bahas.
Kalau anda pernah menggunakan berbagai versi Alkitab bahasa Inggris dan sering bertanya-tanya apa bedanya, maka buku ini akan menarik. Atau kalau anda tertarik dengan kritik teks Alkitab, atau sejarah penerjemahan Alkitab ke dalam berbagai versi kuno, maka buku ini akan menarik. Tapi kalau tidak, mungkin anda hanya akan menguap sambil membaca buku ini :-)
Buku ini terbit tahun 2001, artinya dia pasti tidak memasukkan versi Akitab yang terbit setelah tahun 2001 seperti Today’s New International Version (TNIV), New English Translation (NET), dan English Standard Version (ESV). Ada buku lain yang serupa dengan buku ini dan fokusnya hanya pada Alkitab versi bahasa Inggris: How to Choose a Translation for All Its Worth (Gordon Fee & Mark Strauss). Buku ini terbit tahun 2007 maka bisa memasukkan beberapa versi yang lebih baru dalam pembahasannya. Saya ingin membaca juga buku itu.
Buku Metzger ini seharusnya menjadi buku referensi. Bagaimana mungkin saya bisa hafal apa yang dia tuliskan, versi ini seperti apa, versi itu cerita di baliknya bagaimana, dan seterusnya. Saya perlu melihat lagi dan melihat lagi buku ini ketika diperlukan.
Tuesday, October 25, 2011
Jemaat Milik Siapa?
Ada satu istilah yang saya tidak suka: CURI DOMBA. Istilah ini begitu populernya di antara orang Kristen. Pokoknya kalau ada anggota gerejanya yang pindah ke gereja lain, maka dia akan bilang itu curi domba. Sepintas saja kita tahu istilah ini tidak benar.
Pertama, domba bukan punya dia, tapi dombanya Tuhan. Sama seperti gereja bukan punya dia, tapi punyanya Tuhan. Maka domba punya Tuhan, ditempatkan di gereja punya Tuhan, siapa yang boleh protes?
Kedua, kalau orang itu pindah, kita perlu tanya kenapa. Mungkin karena memang dia lebih baik dilayani di gereja itu. Mungkin karena kita tidak sanggup melayani semua orang dan kebutuhan orang ini terabaikan. Atau mungkin sederhana saja karena dia lebih bisa bertumbuh disitu. Tiap orang dan tiap gereja punya keunikannya karena isinya adalah orang-orang yang berbeda. Maka kondisi gereja yang satu mungkin lebih kondusif, lebih cocok, untuk dirinya daripada gereja yang lain.
Saya tahu istilah curi domba muncul cenderung dari keegoisan kita. Kita ingin jemaat kita banyak, kita ingin gereja kita paling hebat, dan banyak contoh gereja berbuat ‘curang’ dalam hal ini:
Satu kali saya diberitahu ada gereja yang kalau tahu di gereja lain ada pemain musik yang bagus, maka gereja itu kemudian mengimingi2 orang itu untuk main musik di gerejanya dengan diberikan uang.
Ada juga gereja yang sengaja mengunjungi jemaat gereja lain, mengajaknya datang ke berbagai acara di gereja itu dan membujuknya untuk pindah. Tidak apa mengajak orang datang ke acara gereja kita kalau dengan demikian orang itu mendapat berkat. Tapi anehnya seringkali kita mengadakan KKR tapi yang diajak datang adalah jemaat gereja lain. Tidak apa juga mengunjungi jemaat gereja lain, tapi coba tanya untuk apa?
Bagi saya hal-hal seperti di atas bukan curi domba. Itu adalah perpecahan gereja! Ketika sesama gereja Tuhan saling mementingkan diri sendiri, bersaing, memusuhi saudaranya, dan merusak saudaranya dengan uang, itulah perpecahan! Kita patut marah (dan berduka) dengan adanya perpecahan tapi bukan karena ‘curi domba’.
Sedikit menyimpang dulu. Jangan salah mengerti, saya tidak mengatakan semua gereja sama. Ada ‘gereja’ yang sangat ngaco sehingga sebenarnya dia bukan gereja, seperti ‘gereja’ saksi Yehova, ‘gereja’ Mormon, dst. Dalam kasus seperti itu, adalah tugas kita untuk merebut kembali domba Tuhan! Ada juga gereja yang sungguh percaya kepada Allah Tritunggal, keselamatan dalam Kristus, dan semua pengakuan iman orthodoks, tapi dalam beberapa bagian salah mengerti Alkitab, malas belajar, menekankan hal-hal yang salah, bagi saya mereka tetaplah gereja Tuhan. Kesalahan mereka perlu dikoreksi tapi mereka tetaplah saudara kita, jangan perlakukan mereka seperti musuh!
Kembali ke topik curi domba, jangan cepat mengatakan gereja ini atau itu mencuri domba. Tapi coba lihat apakah gereja kita melayani dengan baik? Apakah gereja kita mengajarkan Firman Tuhan dengan baik? Apakah gereja kita menjadi tempat persekutuan yang baik? Apakah orang itu bertumbuh di gereja kita? Dan akhirnya, apakah orang itu lebih bertumbuh di gereja lain?
Tuhan mau tiap orang Kristen bertumbuh, makin mengenal Dia, mengasihi Dia, hidup bagi Dia. Fokuslah pada itu! Asalkan orang itu bisa bertumbuh, mengenal Tuhan, mengasihi Tuhan, hidup bagi Tuhan, kemanapun dia pergi, bersukacitalah! Ikut bersukacitalah dengan Tuhan karena domba itu milik Tuhan.
Sebaliknya, berdukalah kalau jemaat gereja kita pindah ke gereja lain karena gereja kita tidak baik! Berdukalah kalau jemaat kita pindah ke gereja yang akan makin membuat mereka tidak bertumbuh! Ikut berdukalah dengan Tuhan karena sekali lagi, domba itu milik Tuhan.
Monday, October 24, 2011
Pelayan Milik Siapa?
Saya sangat tidak setuju dengan teman saya. Dengan darah anak muda waktu itu, saya berargumen dengan sangat keras. “Kalau saya bicara dengan si ketua persekutuan, lalu tidak diizinkan, apakah saya tidak boleh menawarkan pelayanan kepada orang itu? Bagaimana kalau sebenarnya orang itu mau pelayanan di bidang yang saya tawarkan, tidak bolehkah? Siapa yang memberi hak kepada si ketua untuk mengatur hidup dan pelayanan orang itu? Dia bukan Tuhan! Apakah dengan menjadi anggota sebuah persekutuan, maka hidup dan pelayanan orang itu diserahkan kepada pengurus persekutuan? Milik siapa sebetulnya dia itu?” – Ya, saya sekeras itu dulu, sekarang lebih lumayan lah :-)
Sampai hari ini, saya yakin argumen saya benar. Dan saya kaget menemukan bahwa hari ini di gerejapun terjadi hal yang sama seperti di persekutuan mahasiswa itu.
Ada sebagian orang berpendapat: “Tidak etis kalau kita menawarkan seorang hamba Tuhan untuk pindah tempat pelayanan sementara dia masih baik-baik disitu. Tunggu sampai dia mau keluar, baru tawarkan, maka jelas bukan salah kita”. Pendapat ini diterima, dijalankan, bahkan oleh para pendeta dan institusi terkenal di Indonesia. Sepertinya takut kalau dianggap mengiming-imingi orang itu atau dianggap ‘membajak’ orang itu. Saya sangaaattt heraaann… dan saya sangat tidak setuju! (Saya yakin alasannya adalah cari aman, supaya institusi yang bersangkutan tidak marah).
Ada juga gembala yang marah ketika tahu hamba Tuhan di bawahnya ada yang ditawari/didekati untuk melayani di tempat lain. Dia yakin adalah haknya untuk diberi tahu terlebih dahulu. Harus bicara dulu dengan dia (baca: minta izin) baru boleh dekati. Saya sangat tidak setuju!
Saya tidak perlu mengulang lagi, argumen saya masih sama seperti di atas. Bahkan dengan menjadi hamba Tuhan di sebuah gereja, tidak pernah berarti orang itu menyerahkan hidupnya untuk diatur oleh gereja tersebut. Dia boleh diatur dalam rangka tugas, dipindahkan, ditugasi kemana, dst. Tapi dia tidak menyerahkan hidupnya seumur hidup untuk diatur kemana dia boleh melayani. Selama dia melayani disitu dia boleh diatur, tapi dia tidak bisa diatur untuk selamanya melayani disitu.
Tiap orang dan institusi berhak mendekati, sharing beban, menawarkan pelayanan kepada tiap orang, siapa saja, apakah dia terikat atau tidak terikat dengan institusi lain, apakah dia ‘baik-baik’ atau ‘kurang baik’ di institusinya. Selama bukan uang dan kuasa yang ditawarkan, maka itu bukanlah iming-iming. Yang ditawarkan adalah kemungkinan pelayanan! Maka biarkanlah tiap orang bergumul sesuai dengan panggilan Tuhan untuk dirinya. Kalau dia yakin Tuhan panggil dia untuk tetap di tempatnya yang sekarang, dia akan tetap disitu. Tapi kalau Tuhan memang pimpin dia untuk pindah, dia akan pindah.Tapi kalau tidak ditawari, maka bagaimana dia melihat kemungkinan itu? Lewat mimpikah???
Kita harus ingat kembali, tiap pelayan milik siapa? Kita ini milik siapa? Pelayanan kita milik siapa? Gereja kita milik siapa? Institusi kita milik siapa? Milik Tuhan!!!
Monday, October 17, 2011
The Living Church - John Stott
membaca buku ini. Saya sangat menyukai tulisan John Stott dengan kelugasannya dan ketajaman berpikirnya.
Buku ini bukan buku yang sulit untuk dibaca. Tapi John Stott memang cenderung menulis dengan sangat padat. Dengan mudah kita bisa merasa mengerti apa yang dia sampaikan setelah membaca bukunya satu kali. Tapi coba baca lagi, ternyata ada lagi yang lebih dalam yang dia sampaikan! Saya membaca buku ini dengan cukup cepat, merasa mengerti, dan sekarang saya berpikir bahwa seharusnya buku ini tidak dibaca secepat itu. Mungkin akan lebih baik bagi saya kalau sambil membaca sambil membuat ringkasan dari buku ini.
John Stott mulai dengan menjelaskan visi Allah untuk Gereja-Nya. Lalu dia membahas satu persatu elemen dalam gereja: Ibadah, Pemberitaan, Pelayanan, Persekutuan, Berkhotbah, Persembahan, dan Dampak gereja. Satu persatu dia kupas, dan sekali lagi, dengan sangat padat. Walaupun ini buku yang bisa dibaca sekali, tapi menurut saya ini buku yang perlu dibaca berulang kali. Bacalah buku ini untuk mengerti dan memikirkan ulang tentang gereja.
Menarik bahwa di akhir bukunya ia mencantumkan tiga lampiran, dan salah satunya adalah refleksinya sebagai seorang yang berusia 80 tahun (waktu itu). Dia mengingatkan setiap pelayan untuk mempunyai “Q” yaitu Quiet atau hari tenang. Dia mulai dengan 1 hari setiap bulan. Dia pergi ke rumah seorang teman dimana sebuah ruangan disiapkan untuknya dan makanan diantar untuknya ketika waktu makan tiba. Tidak ada yang tahu dimana dia berada, kecuali sekretarisnya yang hanya akan menghubungi dia jika ada keadaan darurat. Dia menyendiri 12 jam dalam ruangan itu untuk menatap ke depan, kemana harus mengarah, berdoa, merancang khotbah, menulis, mencari pikiran Tuhan. Akhirnya dia punya “Q” untuk 1 hari setiap minggu dan bahkan ada waktu seperti itu setiap malam.
Betapa rindunya saya punya waktu seperti itu dengan lebih disiplin. Dan betapa rindunya saya tiap hamba Tuhan, bahkan tiap orang Kristen, punya “Q” itu secara rutin.
Saturday, October 15, 2011
Mayoritas: Waras?
Ada ungkapan “ketika satu orang waras berada di tengah banyak orang gila, maka yang gila menjadi seperti waras dan yang waras menjadi seperti gila”. Mengapa begitu? Mayoritas! Yang waras menjadi berbeda sendiri di tengah orang gila dan akhirnya dialah satu-satunya yang ‘aneh’ disitu.
Saya melihat ada sebuah trend yang sangat buruk di dalam dunia dan yang juga masuk ke dalam gereja. Trend ini dipelajari dari dunia, dihasilkan oleh dosa dan diterima sebagai sesuatu yang lumrah. Saya sebut saja trend ini: Kuasa!
Semua orang mencari kuasa. Semua orang mencari gengsi. Di kantor semua saling sikut untuk posisi. Di pemerintahan jangan tanya lagi. Di mana-mana orang ingin dihargai karena posisinya, diperlakukan lebih istimewa, dipandang lebih tinggi. Dan trend ini juga masuk ke dalam gereja. Maka di gereja pun saya menemukan ada dua hal aneh yang terjadi:
1.Orang yang mengingini jabatan langsung dicurigai motivasinya pasti kuasa.
Alkitab berkata ‘orang yang menghendaki jabatan penilik jemaat menginginkan pekerjaan yang indah’. Artinya kita bisa mengingini jabatan tertentu bukan untuk kuasa tapi untuk mengerjakan pekerjaan yang indah – fungsi! Ketika seseorang ingin menjadi majelis, ingin menjadi gembala, ingin menduduki jabatan tertentu, pertanyaannya adalah apa motivasinya? Kuasa? Atau untuk mengerjakan fungsi yang indah? Masalahnya di zaman seperti ini, kita sulit untuk percaya ada orang yang mengingini jabatan dengan motivasi mulia. Semua orang mengingini kuasa. Maka aneh, tidak waras, ada orang yang mengingini jabatan tanpa menginginkan kuasa dan hanya menginginkan fungsi.
2. Orang yang tidak mengingini jabatan langsung dianggap pura-pura.
Sebaliknya saya menemukan orang sulit percaya kalau ada yang berkata bahwa dia tidak ingin jabatan. Dia tidak ingin mendapatkan kuasa. Kita langsung curiga bahwa orang ini sedang pura-pura rendah hati. Atau kita curiga bahwa dia punya inferiority complex. Padahal dia mungkin tidak mau karena dia sadar karunianya, dia sadar panggilannya, dia sadar ada orang lain yang lebih cocok, dan seterusnya.
Ketika kita berlaku waras dan semua menganggap kita tidak waras, masihkah kita menjaga kewarasan kita?
Thursday, October 13, 2011
Perbedaan Pendapat
Saya setuju! Kita perlu perbedaan pendapat. Orang yang maunya semua orang sama dengan dia bukanlah pemimpin yang baik. Tetapi saya merasa ada yang salah ketika orang sengaja membiarkan orang-orang yang akan berbeda pendapat masuk dalam satu tim tanpa berpikir apakah itu baik atau tidak. Biasanya alasannya: “Kita perlu orang yang kritis”, “Kita perlu orang yang berani bicara”, “Kita perlu orang yang bukan ‘Yes man’, “Justru bagus kalau ada orang-orang yang berani beda”.
Saya percaya perbedaan pendapat BISA baik, tapi tidak boleh ‘diagung-agungkan’ karena sebenarnya BELUM TENTU baik.
Ada perbedaan pendapat yang disebabkan oleh karakter yang buruk. Ada orang-orang tertentu, yang entah kenapa, memang suka dengan polemik. Selalu ada saja yang dia permasalahkan dan dia tidak ragu untuk mendamprat siapa saja. Ada orang yang berpikir dengan ‘aneh’, dan cara berpikirnya itu membuat dia melihat masalah dari sudut pandang yang salah. Celakanya biasanya orang seperti ini ngotot dengan pandangannya! Ada orang yang tidak pernah mau belajar melihat sudut pandang orang lain karena baginya selalu dirinya yang benar. Bagi saya perbedaan pendapat yang disebabkan oleh karakter yang buruk ini sama sekali tidak baik.
Ada perbedaan pendapat yang disebabkan oleh value atau konsep yang berbeda. Misalnya: Kalau yang satu berpikir “asal jemaat datang, ikut kegiatan, aktif pelayanan, that’s good, itulah pertumbuhan”, sementara yang satu lagi berpikir “that’s not good enough, pertumbuhan harus lebih dalam dari itu”. Maka keputusan dalam pelayanan pasti beda. Kalau perbedaan value-nya berkaitan dengan integritas, itu sangat.. sangat.. serius. Kalau perbedaannya dalam hal konsep, maka tergantung konsep apa yang menjadi perbedaan dan seberapa serius perbedaannya. Tapi percayalah, tidak gampang merubah value atau konsep seseorang, apalagi jika usia sudah lebih tua.
Ada perbedaan pendapat yang disebabkan oleh informasi dan pengalaman yang berbeda. Misalnya: Orang yang pernah mengalami kesulitan keuangan yang parah dengan orang yang tidak pernah mengalami kesulitan keuangan pasti akan mengambil keputusan yang berbeda ketika berhadapan dengan bagaimana melakukan pelayanan diakonia. Orang yang banyak terjun ke ladang misi dengan orang yang tidak pernah tahu ladang misi pasti akan mengambil keputusan yang berbeda dalam mendukung pelayanan misi.
Silakan berbeda pendapat, tapi menurut saya syarat mutlak yang harus ada pada tiap anggota tim/pengurus/panitia/apa saja, adalah mereka harus teachable, humble dan loving each other.
Teachable – Betapa pentingnya ini. Kita tidak tahu segala hal. Apa yang menurut kita baik belum tentu selalu baik. Maka selalu mau belajar, mau mendengar, sangat penting.
Humble – Bagaimana mungkin kita bisa bekerja sama tanpa kerendahan hati? Kalau kita selalu punya agenda sendiri dan semua orang yang berbeda kita anggap menghalangi jalan kita, maka tidak ada kerja sama.
Loving each other – Bagi saya ini mungkin yang paling penting. Kita boleh berbeda pendapat tapi kalau kita tidak mengasihi satu sama lain, tidak menghargai, tidak berusaha menghindari pertengkaran, melihat orang lain sebagai ‘yang bisa dipakai’, maka semua bisa hancur. Seringkali orang sebut ini ‘spirit menjaga kesatuan’, tapi saya kira lebih dalam dari itu.
Saya simpulkan: Perbedaan pendapat BISA baik asalkan KARAKTER (teachable, humble, loving each other) orang-orang yang berbeda pendapat itu baik. Di luar itu, mencari orang-orang yang berbeda pendapat untuk dimasukkan dalam satu tim, akan menghancurkan tim itu.
Sebelum kita berkata perbedaan pendapat adalah hal yang baik, coba pikir dulu apa yang menyebabkan perbedaan pendapat itu? Sungguh, perbedaan pendapat BELUM TENTU baik! Adanya orang-orang yang ‘berani bicara’. ‘berani beda pendapat’, ‘kritis’, dalam tim BELUM TENTU baik! Lihat dulu apa yang menyebabkan dia berbeda.