Monday, October 17, 2011

The Living Church - John Stott

Sudah lama saya punya buku ini, pemberian dari salah satu anak rohani saya, tapi baru saja sempat
membaca buku ini. Saya sangat menyukai tulisan John Stott dengan kelugasannya dan ketajaman berpikirnya.

Buku ini bukan buku yang sulit untuk dibaca. Tapi John Stott memang cenderung menulis dengan sangat padat. Dengan mudah kita bisa merasa mengerti apa yang dia sampaikan setelah membaca bukunya satu kali. Tapi coba baca lagi, ternyata ada lagi yang lebih dalam yang dia sampaikan! Saya membaca buku ini dengan cukup cepat, merasa mengerti, dan sekarang saya berpikir bahwa seharusnya buku ini tidak dibaca secepat itu. Mungkin akan lebih baik bagi saya kalau sambil membaca sambil membuat ringkasan dari buku ini.

John Stott mulai dengan menjelaskan visi Allah untuk Gereja-Nya. Lalu dia membahas satu persatu elemen dalam gereja: Ibadah, Pemberitaan, Pelayanan, Persekutuan, Berkhotbah, Persembahan, dan Dampak gereja. Satu persatu dia kupas, dan sekali lagi, dengan sangat padat. Walaupun ini buku yang bisa dibaca sekali, tapi menurut saya ini buku yang perlu dibaca berulang kali. Bacalah buku ini untuk mengerti dan memikirkan ulang tentang gereja.

Menarik bahwa di akhir bukunya ia mencantumkan tiga lampiran, dan salah satunya adalah refleksinya sebagai seorang yang berusia 80 tahun (waktu itu). Dia mengingatkan setiap pelayan untuk mempunyai “Q” yaitu Quiet atau hari tenang. Dia mulai dengan 1 hari setiap bulan. Dia pergi ke rumah seorang teman dimana sebuah ruangan disiapkan untuknya dan makanan diantar untuknya ketika waktu makan tiba. Tidak ada yang tahu dimana dia berada, kecuali sekretarisnya yang hanya akan menghubungi dia jika ada keadaan darurat. Dia menyendiri 12 jam dalam ruangan itu untuk menatap ke depan, kemana harus mengarah, berdoa, merancang khotbah, menulis, mencari pikiran Tuhan. Akhirnya dia punya “Q” untuk 1 hari setiap minggu dan bahkan ada waktu seperti itu setiap malam.

Betapa rindunya saya punya waktu seperti itu dengan lebih disiplin. Dan betapa rindunya saya tiap hamba Tuhan, bahkan tiap orang Kristen, punya “Q” itu secara rutin.