Monday, October 24, 2011

Pelayan Milik Siapa?

Waktu saya masih kuliah melayani di persekutuan mahasiswa, saya ingat saya pernah berdebat dengan seorang teman. Masalahnya sederhana, saya mendekati seorang rekan mahasiswa lain dan menawarkan kepadanya untuk terlibat dalam sebuah pelayanan. Apa masalahnya? Teman saya mencoba meyakinkan saya bahwa tindakan itu tidak benar. Orang yang saya dekati itu adalah anggota sebuah persekutuan, dimana ada ketua dan pengurusnya. Maka teman saya berkata seharusnya saya bicara dulu dengan ketua dan pengurus persekutuan tempat orang itu berada sebelum menawarkan pelayanan kepada dia. Alasannya? Supaya mereka bisa memutuskan apakah mereka mengizinkan orang itu untuk terlibat dalam pelayanan yang saya tawarkan atau tidak (karena jangan-jangan mereka merencanakan supaya orang tersebut melayani di bidang lain).

Saya sangat tidak setuju dengan teman saya. Dengan darah anak muda waktu itu, saya berargumen dengan sangat keras. “Kalau saya bicara dengan si ketua persekutuan, lalu tidak diizinkan, apakah saya tidak boleh menawarkan pelayanan kepada orang itu? Bagaimana kalau sebenarnya orang itu mau pelayanan di bidang yang saya tawarkan, tidak bolehkah? Siapa yang memberi hak kepada si ketua untuk mengatur hidup dan pelayanan orang itu? Dia bukan Tuhan! Apakah dengan menjadi anggota sebuah persekutuan, maka hidup dan pelayanan orang itu diserahkan kepada pengurus persekutuan? Milik siapa sebetulnya dia itu?” – Ya, saya sekeras itu dulu, sekarang lebih lumayan lah  :-)

Sampai hari ini, saya yakin argumen saya benar. Dan saya kaget menemukan bahwa hari ini di gerejapun terjadi hal yang sama seperti di persekutuan mahasiswa itu.

Ada sebagian orang berpendapat: “Tidak etis kalau kita menawarkan seorang hamba Tuhan untuk pindah tempat pelayanan sementara dia masih baik-baik disitu. Tunggu sampai dia mau keluar, baru tawarkan, maka jelas bukan salah kita”. Pendapat ini diterima, dijalankan, bahkan oleh para pendeta dan institusi terkenal di Indonesia. Sepertinya takut kalau dianggap mengiming-imingi orang itu atau dianggap ‘membajak’ orang itu. Saya sangaaattt heraaann… dan saya sangat tidak setuju! (Saya yakin alasannya adalah cari aman, supaya institusi yang bersangkutan tidak marah).

Ada juga gembala yang marah ketika tahu hamba Tuhan di bawahnya ada yang ditawari/didekati untuk melayani di tempat lain. Dia yakin adalah haknya untuk diberi tahu terlebih dahulu. Harus bicara dulu dengan dia (baca: minta izin) baru boleh dekati. Saya sangat tidak setuju!

Saya tidak perlu mengulang lagi, argumen saya masih sama seperti di atas. Bahkan dengan menjadi hamba Tuhan di sebuah gereja, tidak pernah berarti orang itu menyerahkan hidupnya untuk diatur oleh gereja tersebut. Dia boleh diatur dalam rangka tugas, dipindahkan, ditugasi kemana, dst. Tapi dia tidak menyerahkan hidupnya seumur hidup untuk diatur kemana dia boleh melayani. Selama dia melayani disitu dia boleh diatur, tapi dia tidak bisa diatur untuk selamanya melayani disitu.

Tiap orang dan institusi berhak mendekati, sharing beban, menawarkan pelayanan kepada tiap orang, siapa saja, apakah dia terikat atau tidak terikat dengan institusi lain, apakah dia ‘baik-baik’ atau ‘kurang baik’ di institusinya. Selama bukan uang dan kuasa yang ditawarkan, maka itu bukanlah iming-iming. Yang ditawarkan adalah kemungkinan pelayanan! Maka biarkanlah tiap orang bergumul sesuai dengan panggilan Tuhan untuk dirinya. Kalau dia yakin Tuhan panggil dia untuk tetap di tempatnya yang sekarang, dia akan tetap disitu. Tapi kalau Tuhan memang pimpin dia untuk pindah, dia akan pindah.Tapi kalau tidak ditawari, maka bagaimana dia melihat kemungkinan itu? Lewat mimpikah???

Kita harus ingat kembali, tiap pelayan milik siapa? Kita ini milik siapa? Pelayanan kita milik siapa? Gereja kita milik siapa? Institusi kita milik siapa? Milik Tuhan!!!