Saya baru menerima berita dari School of Postgraduate Studies - TTC bahwa proposal saya diterima tanpa perlu direvisi lagi.
Pemilihan judul thesis saya – Paul’s Missionary Expectations of His Churches: An Ecclesiological Approach to Resolving a Recent Debate – adalah pimpinan Tuhan yang luar biasa. Ada kisah panjang di balik itu.
Sejak masih kuliah saya sering mendengar orang berkhotbah tentang penginjilan. Kurang lebih arahnya selalu adalah: “Penginjilan adalah tugas setiap kita. Penginjilan adalah kemana-mana membagikan berita Injil – lewat traktat, lewat perbincangan, lewat apa saja. Penginjilan dilakukan kapan saja dan kepada siapa saja – kepada teman, kepada orang yang duduk di samping kita di kereta, kepada supir taksi. Berita Injil adalah Yesus mati bagi dosamu, bangkit pada hari yang ketiga, maukah engkau percaya dan mengikut Dia?” Kurang lebih selalu begitu.
Uniknya, saya menemukan bahwa kurang lebih responnya selalu dua macam: Mereka yang menjadi tertantang untuk melakukannya dan Tuhan berkati dan mereka yang menjadi merasa bersalah karena merasa tidak bisa. Something wrong?
Waktu saya kuliah teologi, di sebuah kesempatan saya berdebat dengan seorang dosen tentang masalah ini. Dia sangat marah sampai mengeluarkan saya dari kelas! (Sekarang saya tersenyum mengingat peristiwa itu, dulu sih tidak). Pendek cerita, pengalaman itu membekas bagi saya. Saya makin berpikir dengan dalam, something wrong dalam konsep orang Kristen tentang penginjilan, paling tidak dalam level populer. Beberapa ayat Alkitab yang sering dipakai untuk mengkhotbahkan tentang penginjilan menurut saya tidak pernah dibahas dengan benar. Pengutipan ayatnya salah dan pembahasannya pun salah.
Kesibukan membuat saya kemudian tidak terlalu mengingatnya lagi.
Selama kuliah di TTC, saya mengambil kuliah Ancient Texts for NT Studies. Setahu saya, dalam waktu beberapa tahun ini saya adalah satu-satunya mahasiswa yang mengambil kuliah itu sebagai kredit. Kemudian karena teman saya ingin membuat thesis mengenai Kisah Para Rasul, maka profesor kami merancang mata kuliah baru yang belum pernah dia ajarkan: Paul as Missionary in Acts. Saya ikut kuliah itu.
Saya pernah berpikir bahwa saya akan membuat thesis mengenai Yohanes. Tapi ketika saya berpikir keras akan judul thesis saya, tiba-tiba ingatan tentang pergumulan masa lalu muncul kembali. Mengapa saya tidak membuat sesuatu mengenai penginjilan? Saya ingin belajar tentang penginjilan, apa sebenarnya yang diajarkan Alkitab tentang penginjilan?
Tiba-tiba semua menjadi make sense untuk saya. Kuliah Ancient Texts for NT Studies menolong saya untuk familiar dengan berbagai teks kuno yang sering dikutip studi Paulus. Kuliah Paul as Missionary in Acts merangsang kembali pemikiran saya akan konsep Paulus tentang misi. Maka saya memutuskan, mengapa saya tidak menyelidiki konsep Paulus tentang misi?
Itu sebabnya semester lalu, supervisor saya meminta untuk saya membuat paper: Was Second Temple Judaism a Missionary Religion? Studi itu memberi saya gambaran tentang apa yang akan saya buat.
And here I am, merenung, berpikir - kadang hampir frustasi – tentang Paul’s Missionary Expectations of His Churches. Concern saya adalah pastoral. Bagaimana gereja harus bermisi – atau lebih tepat mendorong jemaat bermisi? Bermisi seperti apa? Saya berharap concern itu membakar lagi hati saya tiap kali saya hampir frustasi.