Di dalam pelayanan, sebagian besar dari kita pernah berhadapan dengan orang yang kita tidak suka. Orang2 tidak tahan dengan sikapnya atau omongannya. Orang2 tidak suka dengan caranya melakukan sesuatu.
Mungkin karena pandangannya aneh, karena dia menekan, menyusahkan, atau karena dia gila hormat, gila kuasa, dsb. Istilahnya selalu ada ‘orang sulit’. Orang-orang seperti ini selalu menuai kebencian dari orang lain di sekitarnya. Orang-orang complain jika berhubungan dengan dia.
Penyebabnya bisa macam-macam. Mungkin orang itu kurang ‘dikasih tau’ (istilah kerennya: kurang di-training). Mungkin juga karena karakternya yang memang astaga buruknya. Dan mungkin juga karena kita yang salah (kita yang menyebalkan!). Tapi anggaplah kesalahannya ada pada orang itu.
Saya menemukan bahwa kalau saja kita mengamati lebih dalam kehidupan orang itu, ternyata hampir selalu orang ‘sulit’ itu adalah orang biasa. Maksud saya, dia punya keluarga, ada suami/istri yang sayang dengan dia, ada anak-anak yang kagum dengan dia, ada orang tua yang bersyukur punya anak dia. Artinya, dia adalah manusia biasa, manusia dengan segala kekurangannya tapi manusia yang juga menyayangi dan disayangi oleh keluarganya.
Maka seberapapun sebalnya kita kepada seseorang, begitu kita melihat lebih jauh ke dalam kehidupannya, kita akan lebih bisa menghargai orang itu sebagai manusia biasa. Pikiran kita yang sebal dan benci dengan dia, tiba-tiba menjadi terasa berlebihan. Ternyata dia tidak seburuk itu!
Maka saya mulai berpikir bahwa mungkin masalahnya adalah orang itu salah tempat. Dia berada pada posisi yang dia tidak cocok. Dia berada pada posisi yang menyebabkan kekurangannya terekspos. Dia berada pada posisi yang memungkinkan keburukannya menjadi makin buruk.
Ada orang yang tidak biasa mengutarakan sesuatu dengan sopan, tidak biasa untuk berempati dengan orang, jika orang seperti ini ditaruh di posisi yang berhubungan dengan orang lain banyak orang akan sebal dengan dia. Ada orang yang tidak tahu menangani kekuasaan, dia mudah terbuai jika kuasa ada di tangannya, jika orang seperti ini ditaruh di posisi untuk membawahi orang lain banyak orang akan ditindas oleh dia. Ada orang yang tidak/belum mampu menangani sesuatu, tapi karena diberikan posisi, maka dia jalankan menurut pemikirannya, dan akan ada banyak orang yang sebal dengan caranya. Ada orang yang insecure dan cenderung membuat semua orang fokus ke dia, jika orang seperti ini diberi posisi pemimpin, semua yang dianggap ‘mengancam’ bisa ditekan olehnya.
Coba bayangkan kalau orang yang anda sebal itu berada dalam posisi yang lain, masihkah anda sama sebalnya dengan dia? Jujur, seringkali perasaan kita pada dia akan sangat berbeda jika posisinya berbeda. Maka banyak orang bilang “dia berubah ya!? begitu jadi majelis/pengurus/ketua/dll dia berubah”. Mungkin karena dia memang tidak cocok di situ atau dia memang tidak mampu menangani kuasa dan prestige yang dia dapat melalui posisi itu.
Tidak berarti orang itu tidak perlu berubah. Tapi bagaimanapun harus kita akui ada karakter, sifat dan sikap tertentu yang membuat seseorang tidak cocok menduduki posisi tertentu. Dan… dengan tidak mengizinkan dia menduduki posisi tertentu, kita justru mengasihi dia. Dia mungkin tidak layak untuk disebali, dibenci, dicaci maki orang, tapi karena dia berada pada posisi yang tidak cocok lah, maka dia menjadi kebablasan, kekurangannya terekspos, dan akhirnya dia menuai segala kritik, kesebalan dan kebencian dari orang lain yang tidak seharusnya.
Paulus pernah memperingatkan hal yang serupa pada waktu ia bicara tentang penilik jemaat: Janganlah ia seorang yang baru bertobat, agar jangan ia menjadi sombong dan kena hukuman Iblis. (1 Tim 3:6). Pesannya adalah ada orang yang belum sanggup menduduki posisi tertentu. Concern Paulus adalah setan bisa hancurkan dia melalui kelemahannya.
Salahnya kita adalah sering mendorong atau membiarkan orang menduduki posisi yang salah (salahnya kadang orang itu juga memang menginginkan posisi yang salah). Kita berpikir “daripada nggak ada yang mau?”, atau “namanya juga pelayanan, masak dilarang?”, atau “bagus juga kok ada orang yang pendapatnya lain”, atau “ah, nanti juga bisa berubah”. Dan akhirnya… cerita lama terulang. Saya sudah banyak menyaksikannya.