Salah satu misteri besar dalam kehidupan kita sebagai orang Kristen adalah bagaimana kita harus berdoa.
Di satu sisi, kita tahu bahwa kita tidak boleh khawatir karena kita harus percaya pada Allah yang pasti memelihara. Kita juga tidak boleh takut karena kita harus percaya bahwa Allah itu baik. Kita juga harus yakin bahwa apapun yang terjadi tidak pernah lepas dari kontrol Allah. Kita tahu bahwa apapun yang Allah akan berikan, sekalipun awalnya terasa tidak enak bagi kita, bisa menjadi kebaikan bagi kita. Karena itu kita harus belajar mengatakan: “jadilah kehendak-Mu”.
Tetapi, di sisi lain, bukankah Tuhan mengajarkan kita untuk berseru kepada-Nya siang dan malam? Kita harus terus menerus meminta kepada-Nya seperti yang diajarkan dalam perumpamaan tentang hakim yang lalim (Luk 18:1-7). Atau seperti yang juga diajarkan oleh Yesus supaya kita terus meminta, mencari, mengetok pintu, sampai diberikan, ditemukan dan dibukakan pintu (Luk 11:5-10).
Kadang dengan mudah kita bisa berkata “jadilah kehendak-Mu” ketika permohonan doa itu tidak menyangkut diri kita tetapi orang lain, mungkin mereka yang sedang sakit atau kesusahan. Kita berkata “jadilah kehendak-Mu” karena mungkin di dalam hati kita tidak terlalu peduli dengan apapun yang akan terjadi! Tetapi ketika permohonan doa itu sangat menyangkut diri kita atau orang yang kita kasihi, masihkah kita berdoa dengan sikap "terserah Tuhan"?
Kita pasti akan memohon dengan sangat dan ngotot kepada Tuhan. Berkali-kali kita akan minta lagi dan minta lagi. Bahkan mungkin sambil menangis dan berduka. Tetapi di saat seperti itu, seringkali kita diingatkan, bukankah Tuhan tahu yang terbaik dan kehendak Tuhan adalah yang terbaik?
Maka di satu sisi kita ingin ngotot, di sisi lain kita tahu bahwa harusnya kita berserah. Lalu bagaimana seharusnya kita berdoa? Itulah paradoks doa. Seperti Yesus berdoa di taman Getsemani. Dia tahu persis bahwa Dia harus minum cawan itu. Tapi Dia tetap berdoa dengan sungguh-sungguh, bukan 1X tapi 3X! Artinya Dia berdoa terus, meminta, mencari, mengetok, dengan sungguh-sungguh. Tapi, setiap kali, Dia berdoa dengan sikap “jadilah kehendak-Mu”. Paradoks!
Paradoks doa ini yang harusnya kita alami dan lakukan waktu berdoa. Kita meminta dengan sungguh, terus menerus, memohon kepada Tuhan, dan sekaligus berserah kepada kehendak Tuhan. Kita tidak boleh hanya meminta dengan ngotot tanpa percaya bahwa Tuhan tahu yang terbaik dan kehendak Tuhan adalah yang terbaik. Kita juga tidak boleh hanya "berserah" tanpa meminta dengan sungguh-sungguh, karena mungkin itu hanya tanda ketidakpedulian kita. Meminta dengan sungguh-sungguh dan berserah. Sangat sulit!
Saya percaya bahwa kehidupan doa adalah bagian dari perjalanan iman kita. Seperti tidak ada orang yang sempurna imannya, demikian pula tidak ada orang yang sempurna dalam berdoa. Mari terus belajar berdoa, dengan sungguh dan berserah kepada Tuhan.