Orang Kristen umumnya setuju bahwa gereja harus bermisi. Bagi mereka yang tinggal di kota besar sekalipun, mereka tahu bahwa ada banyak sekali ladang misi di luar sana, orang-orang yang miskin, daerah-daerah yang tertinggal, tempat-tempat dimana Injil masih sangat sulit untuk masuk, mereka semua tahu - paling tidak pernah dengar-dengar sedikit.
Dan orang Kristen umumnya setuju bahwa gereja harus melakukan sesuatu, ambil bagian dalam pekerjaan misi. Tapi dalam prakteknya, pekerjaan misi seringkali tidak begitu lancar, agak seret, untuk dijalankan.
Sekalipun gereja-gereja kota itu tahu dan mau untuk bermisi, tapi begitu kesempatan itu tiba, mereka sulit sekali mengambil keputusan yang tepat. Ada banyak kekhawatiran – jangan-jangan nanti begini.. begitu.. dst. Ada banyak keraguan – lebih baik yang ini atau yang itu, dan akhirnya… tidak dua-duanya. Ada banyak faktor yang membuat salah mengambil keputusan karena tidak tahu pergumulan di ladang misi, masalah yang dihadapi, cara kerja lembaga misi, dst.
Ini sangat disayangkan karena ‘gereja2 kota’ punya potensi yang sangat besar untuk melakukan misi, baik dari sisi dana, tenaga, maupun pemikiran. Orang-orang yang mengerjakan pekerjaan di ladang misi membutuhkan dukungan tapi ‘gereja-gereja kota’ yang mampu mendukung tetap tidak tahu bagaimana mendukung.
Saya menemukan beberapa penyebab:
1. Kurangnya informasi tentang ladang misi yang diterima oleh orang Kristen di kota. Beberapa lembaga misi memang membuat buletin tentang kegiatan mereka, beberapa misionaris membuat buletin doa pribadi tentang pergumulan dan pelayanan mereka, tapi saya merasa buletin-buletin itu kurang dibuat informatif dan penyebarannya pun sangat sempit. Saya mengerti dalam konteks Indonesia berita-berita seperti ini seringkali sensitif, maka memang perlu berhati2 demi pekerjaan misi tersebut. Tapi kita harus pikirkan bersama masalah ini. Kurangnya informasi ini membuat banyak orang Kristen hanya dengar ‘kabar burung’ tentang ladang misi dan dengan kondisi ini, adalah loncatan besar untuk mengharapkan mereka terlibat dalam ladang misi.
2. Kurangnya exposure dengan pekerjaan misi. Kalau informasi saja kurang apalagi exposure. Beberapa gereja kadang mengundang misionaris atau lembaga misi untuk kesaksian. Itu bagus, tapi informasi sekali-kali itu tidak cukup. Hanya dengar2 saja tentang ladang misi tidak akan menimbulkan kesan yang mendalam seperti jika kita terlibat langsung. Kesempatan untuk exposure dengan pekerjaan misi ini harus dibuka dan dialami oleh sebanyak mungkin orang Kristen. Tentunya harus dengan koordinasi yang baik dan tidak merugikan pekerjaan misi yang berjalan. Berkenalan dengan misionaris, melihat apa yang mereka lakukan di ladang misi, mengerti kesulitan dan pergumulan mereka, akan membuka banyak hal bagi orang Kristen ‘kota’ yang jauh dari ladang misi. Kebanyakan lembaga misi tidak pernah membuka kesempatan untuk exposure ini selain hanya untuk short term mission trip.
3. Kurangnya seimbangnya pengertian akan misi. Pertama, antara long term dan short term mission. Short term mission trip dibutuhkan untuk exposure jemaat, tapi misi yang harus dilakukan adalah long term. Banyak gereja terjebak hanya melakukan short term mission trip, lalu puas. Tapi sejujurnya, mereka tidak tahu bagaimana harus melakukan long term mission! Kedua, antara misi di kota dan misi di desa. Sebagian orang hanya melihat desa, sebagian lagi hanya melihat kota. Sebagian lagi bilang, harus dua-duanya. Saya rasa semua tidak tepat. Pertanyaannya adalah apakah sudah dipikirkan, didoakan, kemana saat ini Tuhan memimpin gereja untuk melangkah? Pandangan harus luas bahwa ada banyak ladang misi, ada kota, ada desa, tapi seperti meletakkan semuanya di meja dan bertanya kemana Tuhan mau pimpin untuk waktu ini. Kesalahan konsep seperti ini membuat banyak gereja melakukan misi “asal tembak dan lari.”
4. Kurang lancarnya hubungan antara lembaga misi dan gereja. Orang-orang yang terlibat dalam pekerjaan misi hampir pasti adalah anggota sebuah gereja, Tapi entah mengapa, gereja tidak banyak mendukung mereka dan tidak bertanya tentang pelayanan mereka, sementara mereka juga tidak banyak berusaha menjalin hubungan dengan gerejanya. Ketidak lancaran hubungan ini membuat gereja mendukung ‘ala kadarnya’ dan lembaga misi berjalan sendirian. Dan sebenarnya yang lebih buruk adalah orang Kristen akhirnya tetap tidak didorong untuk melakukan pekerjaan misi. Bagi banyak orang Kristen pekerjaan misi seperti “hutan belantara yang gelap, jauh, mengerikan, dan tentunya bukan bagian saya”.
Kita perlu memikirkan ulang bagaimana memperbaiki semuanya. Ada pekerjaan lebih banyak dan lebih besar yang bisa kita lakukan bersama-sama. Dan bukankah Tuhan memang mau kita melakukannya bersama-sama?