Saya menemukan bahwa generasi ini adalah generasi slogan. Kita suka dengan berbagai macam kalimat, kutipan, ungkapan – slogan - yang terkesan bijak (terlepas dari sebenarnya bijak atau tidak). Pokoknya semua slogan yang sepertinya punya ‘hidden meaning’, yang sepertinya membuat kita sedikit berpikir, sepertinya bagus, langsung kita suka.
Kondisi ini menurut Dallas Willard disebabkan oleh ‘the mantle of intellectual meaninglessness’ yang menyelimuti setiap aspek kehidupan kita. Dan karena dunia kita sangat upside-down, slogan-slogan itu menjadi terlihat ‘dalam’ padahal tidak masuk akal. Dia memberi contoh: ‘Stand up for your rights’ Kelihatannya bagus? Tapi apa betul? Atau contoh lain: ‘All I ever needed to know I learned in my kindergarten’. Betulkah? Willard mengatakan bahwa slogan-slogan itu mengandung kebenaran yang sangaaatttt kecil dan kalau coba kita aplikasikan, kita akan mengalami masalah besar.
Pertanyaan lebih dalam adalah mengapa kita menyukai slogan? Mungkin masalahnya adalah kita tidak suka berpikir. Satu sisi, kita tidak bisa menjadi orang bodoh yang suka dengan hal-hal yang tidak intelek, tapi di sisi lain kita suka yang instan, praktis. Maka apa solusinya? Slogan! Singkat, praktis, mudah dihafal, mudah dicerna, tapi mengandung ‘kebenaran’ dan terkesan ‘dalam’. Itu tebakan saya.
Dan sikap ini juga membuat kita hanya berhenti pada kesukaan akan slogan itu dan tidak pernah mencoba memikirkannya lebih dalam dan mengaplikasikannya. Itu sebabnya slogan-slogan yang bodoh pun kita suka. Kita tidak berpikir! Kita sudah menjadi orang-orang yang dangkal, kita hanya suka sesuatu yang terlihat pintar. Jadi masalahnya bukan sekedar di slogan-nya, tapi di sikap kita.
Itu sebabnya ada juga slogan-slogan yang betul-betul baik, bijak, atau bahkan cuplikan dari Alkitab, yang kita suka. Dan SUKA berarti ditempel sebagai sticker, atau dicetak di kaos yang kita pakai, atau yang paling sering di zaman ini: langsung di-share di facebook. Begitu ketemu sesuatu yang kita suka, slogan, kisah singkat, video, atau apapun itu, dengan cepat kita share. Lagi-lagi, karena kita suka slogan! Tapi berapa banyak dari kita yang betul-betul memikirkannya, merenungkannya, dan mencoba mengaplikasikannya – kalau itu betul-betul baik?
Maka menyampaikan kebenaran di zaman ini menjadi makin sulit. Jikalau disampaikan dengan cara yang menuntut orang untuk berpikir, maka kebenaran itu dianggap tidak praktis, teoritis, dan dengan cepat dilewatkan. Tapi jikalau kebenaran itu disampaikan dengan sederhana, kalimat-kalimat yang menggugah (baca: seperti slogan), maka dengan cepat orang akan menangkapnya, menyukainya, tapi tidak memikirkan dan melakukannya. Lalu harus bagaimana caranya?
Saya tidak anti slogan. Saya tidak anti dengan penyampaian kebenaran secara sederhana, praktis, dan kalimat-kalimat yang mudah. Tapi saya meratapi makin dangkalnya generasi ini (mungkin juga termasuk saya). Kalimat Pemazmur menjadi sangat relevan: Berbahagialah orang yang kesukaannya ialah Taurat Tuhan dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam (Mazmur 1:1-2).