Thursday, June 19, 2008
Kepedulian Kepada Bumi
Kepedulian akan lingkungan hidup sangat ramai dibicarakan di Indonesia akhir-akhir ini. Isu ini dibicarakan baik oleh guru-guru di sekolah, kolom-kolom berita atau opini dari berbagai orang dalam majalah dan surat kabar, bahkan melalui acara-acara besar seperti Green Festival yang baru diadakan di Jakarta 18-20 April 2008 yang lalu. Seingat saya kepedulian ini baru menjadi sangat ‘panas’ di Indonesia tidak lebih dari 5 tahun yang lalu.
Di dunia, kepedulian masyakarat dunia terhadap lingkungan sudah makin besar sejak lebih dari 40 tahun yang lalu (Tahun 1970 sudah diadakan demonstrasi untuk pelestarian udara, air bersih dan alam di Amerika Serikat yang diikuti oleh jutaan orang, termasuk para siswa dan mahasiswa dari lebih dari 1.500 universitas dan 10.000 sekolah. Hari itu sampai sekarang diperingati sebagai hari bumi). Maka, sekali lagi, Indonesia sebenarnya ketinggalan!
Kalau kita melihat lebih jauh lagi ke belakang, sebetulnya kepedulian terhadap lingkungan hidup selalu ada dalam masyakat di seluruh dunia, paling tidak pada beberapa orang. Tetapi kepedulian itu baru mendapatkan momentum ledakannya beberapa puluh tahun terakhir ini.
Ada dua hal yang ingin saya soroti:
Pertama, ada yang tahu sebetulnya sejak kapan kepedulian terhadap lingkungan hidup ini ada? Sejak penciptaan bumi! Siapa yang peduli? Allah sendiri! Allah yang menciptakan bumi ini dan menjadikannya tempat tinggal manusia, maka Alkitab menegaskan bahwa Allah sangat peduli kepada lingkungan. Tetapi mengapa kepedulian itu melemah dan baru bangkit lagi belakangan ini? Tentu penyebabnya banyak sekali dan sangat kompleks. Tetapi 1 hal saja, orang Kristen yang punya Alkitab yang bercerita tentang Allah yang peduli dengan bumi, ternyata tidak belajar dan mengerti Alkitab dengan baik. Itu sebabnya kepedulian itu menghilang.
Kedua, ketika dunia sekitar sudah ramai membicarakan isu lingkungan hidup, apa yang sudah dilakukan oleh gereja? Ternyata, maaf kalau saya salah, orang Kristen lebih tertinggal lagi. Alkitab sangat mengajarkan kepedulian terhadap lingkungan hidup. Allah menciptakan bumi, manusia merusaknya di dalam dosa dan melalui perbuatan dosa, Allah lagi yang menjanjikan akan memperbaruinya dalam bentuk langit dan bumi yang baru. Tetapi mengapa orang Kristen tertinggal dalam kepedulian terhadap lingkungan hidup? Sekali lagi: orang Kristen tidak belajar dan mengerti Alkitab dengan baik.
Mungkinkah masalahnya bahkan lebih serius lagi? Bukan sekedar masalah tidak belajar dan mengerti Alkitab, tetapi tidak punya hati yang lembut untuk mencintai apa yang Tuhan cintai? It might be more serious than we think.
Friday, June 13, 2008
Final Notes (Reflection from Trip to Israel - 6)
Perjalanan ke Israel yang banyak diadakan saat ini adalah campuran antara ziarah, wisata dan belanja. Tidak semua tempat yang kami kunjungi adalah tempat ziarah. Ada beberapa tempat yang sangat kecil atau malah sama sekali tidak ada kepentingannya dengan ziarah. Selain itu, tujuan para peserta pun sering bergeser di sana, bukan lagi ziarah tetapi wisata atau belanja.
Satu pemandangan yang sangat saya ingat adalah di stasiun terakhir via dolorosa (versi gereja Roma Katolik). Kami dengan terburu-buru berbaris melihat dan menyentuh batu yang dipercaya sebagai tempat meletakkan salib Yesus. Tetapi di depan tempat itu, ada seorang wanita yang duduk bersimpuh sambil berdiam diri memandangi tempat itu. Ketika saya melihat dia, saya 'iri' ingin bisa seperti dia. Andai saja saya bisa, saya ingin melakukan itu, merenungkan tentang salib Yesus. Tetapi tidak mungkin, kami harus cepat lagi pergi ke tempat tujuan yang lain.
Memang banyak tempat yang bisa dikunjungi di sana. Kalau kami berlama-lama di setiap tempat, maka pasti banyak tempat yang terlewatkan atau waktu tour menjadi sangat panjang. Tetapi sekali lagi, kalau tujuannya adalah ziarah, ada tempat-tempat yang memang sangat kecil atau bahkan tidak ada kepentingannya. Kalau saja tempat-tempat itu dilewatkan, kami akan punya lebih banyak waktu di tempat-tempat yang penting. Tetapi mungkin banyak orang akan merasa "sayang kalau tidak melihat tempat ini atau itu, karena sudah di Israel". Apa boleh buat...
Demikian pula sikap peserta pada waktu mengunjungi suatu tempat. Ada kalanya kami tidak sungguh bersikap seperti pe-ziarah. Pada waktu di via dolorosa, saya berusaha banyak berdiam dan berdoa sambil berjalan sambil kadang-kadang mengambil foto. Saya terganggu melihat beberapa orang yang masih banyak tertawa-tawa, berbelanja atau berfoto dengan gaya memikul salib! Sementara itu di tengah jalan kami bertemu dengan rombongan lain. Mereka melakukan prosesi memikul salib secara bergantian sambil menjalani via dolorosa, dan mereka lakukan sambil mengucapkan doa-doa. Saya kira mereka lebih punya sikap pe-ziarah.
Saya pikir sebelum pergi ke Israel, anggota rombongan harus dipersiapkan dengan lebih baik. Mereka harus mengerti apa yang akan mereka lihat di sana supaya mereka mampu mengaitkannya dengan apa yang diceritakan dalam Alkitab dan bukan sekedar melihat atau berfoto. Rencana perjalanan pun harus diatur dengan lebih baik, memungkinkan peserta untuk lebih banyak bersama dengan Tuhan. Dan pada waktu di sana, bimbingan rohani sangat diperlukan untuk menolong mereka membuka hati kepada Tuhan. Kadang-kadang di sana saya merasa kalau saja saya sudah pernah ke sana sebelumnya, saya bisa mempersiapkan diri dengan lebih baik. Tetapi dengan segala kekurangan yang ada, Tuhan sudah bekerja. Puji Tuhan!
Satu pemandangan yang sangat saya ingat adalah di stasiun terakhir via dolorosa (versi gereja Roma Katolik). Kami dengan terburu-buru berbaris melihat dan menyentuh batu yang dipercaya sebagai tempat meletakkan salib Yesus. Tetapi di depan tempat itu, ada seorang wanita yang duduk bersimpuh sambil berdiam diri memandangi tempat itu. Ketika saya melihat dia, saya 'iri' ingin bisa seperti dia. Andai saja saya bisa, saya ingin melakukan itu, merenungkan tentang salib Yesus. Tetapi tidak mungkin, kami harus cepat lagi pergi ke tempat tujuan yang lain.
Memang banyak tempat yang bisa dikunjungi di sana. Kalau kami berlama-lama di setiap tempat, maka pasti banyak tempat yang terlewatkan atau waktu tour menjadi sangat panjang. Tetapi sekali lagi, kalau tujuannya adalah ziarah, ada tempat-tempat yang memang sangat kecil atau bahkan tidak ada kepentingannya. Kalau saja tempat-tempat itu dilewatkan, kami akan punya lebih banyak waktu di tempat-tempat yang penting. Tetapi mungkin banyak orang akan merasa "sayang kalau tidak melihat tempat ini atau itu, karena sudah di Israel". Apa boleh buat...
Demikian pula sikap peserta pada waktu mengunjungi suatu tempat. Ada kalanya kami tidak sungguh bersikap seperti pe-ziarah. Pada waktu di via dolorosa, saya berusaha banyak berdiam dan berdoa sambil berjalan sambil kadang-kadang mengambil foto. Saya terganggu melihat beberapa orang yang masih banyak tertawa-tawa, berbelanja atau berfoto dengan gaya memikul salib! Sementara itu di tengah jalan kami bertemu dengan rombongan lain. Mereka melakukan prosesi memikul salib secara bergantian sambil menjalani via dolorosa, dan mereka lakukan sambil mengucapkan doa-doa. Saya kira mereka lebih punya sikap pe-ziarah.
Saya pikir sebelum pergi ke Israel, anggota rombongan harus dipersiapkan dengan lebih baik. Mereka harus mengerti apa yang akan mereka lihat di sana supaya mereka mampu mengaitkannya dengan apa yang diceritakan dalam Alkitab dan bukan sekedar melihat atau berfoto. Rencana perjalanan pun harus diatur dengan lebih baik, memungkinkan peserta untuk lebih banyak bersama dengan Tuhan. Dan pada waktu di sana, bimbingan rohani sangat diperlukan untuk menolong mereka membuka hati kepada Tuhan. Kadang-kadang di sana saya merasa kalau saja saya sudah pernah ke sana sebelumnya, saya bisa mempersiapkan diri dengan lebih baik. Tetapi dengan segala kekurangan yang ada, Tuhan sudah bekerja. Puji Tuhan!
Thursday, June 12, 2008
God's Chosen People (Reflection from Trip to Israel - 5)
Kitab Kejadian pasal 1-11 mengisahkan awal segala sesuatu di dalam dunia ini. Dimulai dengan indahnya Tuhan menjadikan dunia ini, dari tidak ada dibuat menjadi ada, dari tidak teratur menjadi teratur, dari kosong menjadi penuh keindahan. Tuhan menciptakan manusia dengan luar biasa dan dikaruniakanNya segala sesuatu yang perlu kepada manusia. Tetapi kisah menjadi kelabu ketika manusia jatuh ke dalam dosa. Adam dan Hawa berdosa, Kain membunuh Habel, Lamekh menjadi sangat jahat, dan akhirnya seluruh dunia dipenuhi manusia yang “kejahatannya besar di bumi dan segala kecenderungan hatinya membuahkan kejahatan semata” (Kej 6:5). Maka Tuhan menurunkan air bah dan menyelamatkan 1 keluarga, Nuh dan keluarganya, untuk memulai umat manusia yang baru. Tetapi keturunan Nuh pun berdosa lagi dan akhirnya memberontak di menara Babel (Kej 11). Tidak ada harapan bagi manusia, tidak ada jalan manusia bisa selamat. Maka Tuhan campur tangan! Dia memilih 1 orang, Abraham, untuk menjadi umatNya. Dari Abraham lahir Ishak, dari Ishak lahir Yakub, dan dari Yakub lahir bangsa Israel.
Bangsa Israel adalah bangsa yang mengalami sentuhan dengan Tuhan secara luar biasa. Tuhan berkarya secara luar biasa dalam kehidupan mereka. Dia memberikan FirmanNya melalui mereka. Bahkan Yesus lahir dari antara mereka. Israel memang pernah menjadi bangsa yang dipilih Tuhan secara khusus untuk menjadi umatNya.
Posisi Israel sebagai bangsa pilihan Tuhan bukanlah untuk selama-lamanya. Seperti yang dikatakan Paulus: “…Sebab tidak semua orang yang berasal dari Israel adalah orang Israel, dan juga tidak semua yang terhitung keturunan Abraham adalah anak Abraham, tetapi: “Yang berasal dari Ishak yang akan disebut keturunanMu,” Artinya: bukan anak-anak menurut daging adalah anak-anak Allah, tetapi anak-anak perjanjian yang disebut keturunan yang benar” (Rom 9:6-8). Umat Allah, anak-anak Allah, anak-anak Abraham, bukanlah Israel secara keturunan tetapi anak-anak perjanjian, umat pilihan Allah dari segala bangsa. Konsep ini dijelaskan berulang kali di dalam Alkitab.
Maka sangat salah kalau ada orang yang ke Israel karena ingin seperti mereka, ingin diberkati seperti orang Israel yang adalah umat pilihan Allah. Karena siapakah umat Allah? Kita yang percaya kepada Yesus. Bahkan bisa kita katakan, orang Israel yang tidak percaya kepada Yesus, bukanlah umat Allah! Juga salah kalau kita ke sana karena ingin diberkati dengan menyentuh tanah Israel yang disebut sebagai holy land. Israel boleh disebut holy land dalam arti tanah di mana kisah-kisah dalam Alkitab terjadi. Tapi dalam arti yang sesungguhnya, Israel hanyalah used to be holy land. Dimana holy land? Holy land adalah tempat yang dipilih Allah untuk menyatakan kehadiranNya, dan itu di dalam hati orang percaya.
Iman orang Israel adalah iman yang ‘terputus’ di tengah jalan. Semua ritual agama yang diberikan Tuhan kepada mereka sebenarnya menunjuk kepada Yesus. Seperti layang-layang, ujungnya seharusnya bukanlah di tali tapi di tangan si pemain. Tetapi iman orang Israel seperti layang-layang putus, ujungnya hanyalah di tali, yang mereka perhatikan adalah ritualnya, tetapi tidak sampai kepada Yesus.
Maka saya sendiri tidak bisa menghayati kesedihan mereka di tembok ratapan atau di kubur raja Daud. Memang ada kesinambungan antara iman mereka dan saya, tetapi tidak sama. Kesedihan mereka salah alamat. Yang membuat saya sedih bukanlah karena sekarang tidak ada bait Allah atau karena Israel tidak mengalami masa keemasan seperti zaman Daud, apalagi karena Mesias belum datang! Yang membuat saya sedih adalah mengapa mereka “yang telah diangkat menjadi anak, telah menerima kemuliaan, dan perjanjian-perjanjian, dan hukum Taurat, dan ibadah, dan janji-janji, keturunan bapa-bapa leluhur, yang menurunkan Mesias dalam keadaanNya sebagai manusia” (Rom 9:4-5), dengan setia masih berpegang kepada semua ritual ibadah tetapi tidak melihat Yesus di balik semuanya.
Bangsa Israel adalah bangsa yang mengalami sentuhan dengan Tuhan secara luar biasa. Tuhan berkarya secara luar biasa dalam kehidupan mereka. Dia memberikan FirmanNya melalui mereka. Bahkan Yesus lahir dari antara mereka. Israel memang pernah menjadi bangsa yang dipilih Tuhan secara khusus untuk menjadi umatNya.
Posisi Israel sebagai bangsa pilihan Tuhan bukanlah untuk selama-lamanya. Seperti yang dikatakan Paulus: “…Sebab tidak semua orang yang berasal dari Israel adalah orang Israel, dan juga tidak semua yang terhitung keturunan Abraham adalah anak Abraham, tetapi: “Yang berasal dari Ishak yang akan disebut keturunanMu,” Artinya: bukan anak-anak menurut daging adalah anak-anak Allah, tetapi anak-anak perjanjian yang disebut keturunan yang benar” (Rom 9:6-8). Umat Allah, anak-anak Allah, anak-anak Abraham, bukanlah Israel secara keturunan tetapi anak-anak perjanjian, umat pilihan Allah dari segala bangsa. Konsep ini dijelaskan berulang kali di dalam Alkitab.
Maka sangat salah kalau ada orang yang ke Israel karena ingin seperti mereka, ingin diberkati seperti orang Israel yang adalah umat pilihan Allah. Karena siapakah umat Allah? Kita yang percaya kepada Yesus. Bahkan bisa kita katakan, orang Israel yang tidak percaya kepada Yesus, bukanlah umat Allah! Juga salah kalau kita ke sana karena ingin diberkati dengan menyentuh tanah Israel yang disebut sebagai holy land. Israel boleh disebut holy land dalam arti tanah di mana kisah-kisah dalam Alkitab terjadi. Tapi dalam arti yang sesungguhnya, Israel hanyalah used to be holy land. Dimana holy land? Holy land adalah tempat yang dipilih Allah untuk menyatakan kehadiranNya, dan itu di dalam hati orang percaya.
Iman orang Israel adalah iman yang ‘terputus’ di tengah jalan. Semua ritual agama yang diberikan Tuhan kepada mereka sebenarnya menunjuk kepada Yesus. Seperti layang-layang, ujungnya seharusnya bukanlah di tali tapi di tangan si pemain. Tetapi iman orang Israel seperti layang-layang putus, ujungnya hanyalah di tali, yang mereka perhatikan adalah ritualnya, tetapi tidak sampai kepada Yesus.
Maka saya sendiri tidak bisa menghayati kesedihan mereka di tembok ratapan atau di kubur raja Daud. Memang ada kesinambungan antara iman mereka dan saya, tetapi tidak sama. Kesedihan mereka salah alamat. Yang membuat saya sedih bukanlah karena sekarang tidak ada bait Allah atau karena Israel tidak mengalami masa keemasan seperti zaman Daud, apalagi karena Mesias belum datang! Yang membuat saya sedih adalah mengapa mereka “yang telah diangkat menjadi anak, telah menerima kemuliaan, dan perjanjian-perjanjian, dan hukum Taurat, dan ibadah, dan janji-janji, keturunan bapa-bapa leluhur, yang menurunkan Mesias dalam keadaanNya sebagai manusia” (Rom 9:4-5), dengan setia masih berpegang kepada semua ritual ibadah tetapi tidak melihat Yesus di balik semuanya.
Friday, June 06, 2008
Places, Atmosphere & God's Blessing (Reflection from Trip to Israel - 4)
Di Israel, ada tempat-tempat yang entah bagaimana membuat saya mudah terharu. Bahkan begitu berada di sana saya langsung terharu. Bukan cuma tempatnya tetapi juga suasananya yang sangat indah bagi saya.
Saya tahu Tuhan tidak terbatas oleh tempat dan suasana. Dia ada di Israel dan juga ada di Indonesia. Dia bisa bekerja dalam suasana apapun. Tetapi seringkali orang memakai kalimat ini secara berlebihan. Mereka mengkritik orang Kristen yang mengusahakan tempat dan suasana. Misalnya: Jika dalam suatu kebaktian, pada waktu berdoa diiringi dengan musik supaya suasana baik, maka mereka akan mengatakan Tuhan tidak terbatas dengan suasana. Artinya kalau Tuhan mau bekerja, pasti bisa tanpa bantuan musik. Musik malah mempermainkan emosi saja. Kadang-kadang saya mengelus dada (saya tahu seharusnya saya belajar jauh lebih bersabar) mendengar kritikan seperti itu. Mungkin ada baiknya saya menjawab dengan pertanyaan juga: “Mengapa harus berkhotbah 1 jam? Tuhan juga bisa bekerja dalam khotbah 5 menit atau bahkan tanpa khotbah, cukup dengan membacakan Firman Tuhan. Mengapa pengkhotbah harus berusaha memakai retorik dan intonasi yang baik, mengapa tidak datar saja sekaligus ditambah “eh.. ah.. eh..” dan salah-salah ngomong? Tuhan tokh tetap bisa bekerja. Mengapa pakai musik dikatakan mempermainkan emosi, sementara pakai retorik tidak dianggap mempermainkan emosi, atau mempermainkan logika?” Atau pertanyaan yang lebih ekstrim, “Kalau Tuhan bisa bekerja tanpa terikat dengan tempat dan suasana lalu mengapa kita perlu kerjakan sesuatu? Gereja tidak perlu dibuat bagus, tidak perlu pakai AC, musik tidak perlu yang baik, liturgis tidak perlu latihan, pengkhotbah tidak perlu persiapan, dst, dst.”
Jangan salah mengerti, saya sangat percaya Tuhan tidak terbatas tempat dan suasana. Saya hanya tidak setuju kalau konsep itu ditarik secara ekstrim.
Sebagai anak Tuhan kita punya hak istimewa untuk datang kepada Tuhan dengan leluasa. Bahkan Tuhan senang ketika kita datang untuk menyembah Dia dan bersekutu dengan Dia. Kita bisa lakukan itu dimana saja, kapan saja, dalam keadaan apa saja. Syarat satu-satunya adalah hati yang mau datang kepada Dia. Tetapi dunia memberikan penghalang yang begitu banyak. Kesibukan kita membuat kita tidak bisa tenang datang kepada Tuhan, sedikit gangguan membuat emosi kita yang hampir meledak jadi meledak sungguhan dan kita tidak bisa menyembah Tuhan, bapak di sebelah kita yang menyanyi dengan keras tapi false membuat kita tidak bisa bernyanyi, ibu-ibu yang cekikikan di samping kita membuat kita tidak bisa mendengar Firman Tuhan, liturgis yang gayanya aneh atau terlihat kurang persiapan membuat kita terganggu, dst, dst. Dengan banyaknya halangan-halangan itu, kita harus susah payah berjuang untuk datang kepada Tuhan.
Kadang-kadang Tuhan memang menerobos semua halangan, keadaan yang kacau, suasana yang buruk, semua yang serba tidak baik, Tuhan lewati semua itu dan terobos langsung untuk menyentuh hati orang. Tetapi tidak selalu demikian. Lebih sering kita mendengar orang yang terhalang datang kepada Tuhan karena halangan-halangan yang disebabkan kelalaian atau kemalasan (atau kenaifan) pelayan Tuhan.
Bagi saya, tempat-tempat tertentu di Israel yang membuat saya mudah terharu adalah tempat dimana penghalang itu begitu minim. Dengan begitu mudah saya datang kepada Tuhan. Tetapi saya juga belajar bahwa tempat yang sangat baik bagi saya tidak tentu sama baiknya bagi orang lain.
Pada waktu saya pergi, ada yang bercerita betapa terkesannya dia ketika berada di tempat-tempat tertentu. Tetapi pada waktu berada di sana, tempat yang dia sebutkan justru tidak berkesan apa-apa bagi saya. Malah tempat yang tidak berkesan bagi dia, justru berkesan bagi saya. Pada waktu naik ke gunung Sinai dengan mengendarai unta, saya sibuk memperhatikan langkah si unta dan itu menjadi penghalang bagi saya untuk tenang. Sementara ada seorang anggota rombongan kami yang bercerita dia justru menangis waktu mengendarai unta, karena saat itu dia merasa Tuhan begitu besar dan dia begitu kecil.
Maka saya menyimpulkan: Kapanpun dan dimanapun kita berada selalu usahakan singkirkan penghalang yang menghalangi kita untuk datang kepada Tuhan. Mungkin itu suasana hati kita, mungkin itu dosa, mungkin itu kesibukan kita yang berlebihan, dll. Ketika kita melayani, kita berusaha tidak menciptakan penghalang bagi orang lain datang kepada Tuhan, dengan sikap kita, kata-kata kita atau persiapan lainnya. Itu usaha kita. Sisanya? Terserah bagaimana Tuhan bekerja. Kita tidak bisa katakan “Kalau semua beres, tempat baik, suasana dibuat baik, maka pasti ada berkat Tuhan”. Lakukan bagian kita, lakukan yang terbaik, harapkan berkat Tuhan dan biar Tuhan memberkati menurut kehendakNya.
Saya tahu Tuhan tidak terbatas oleh tempat dan suasana. Dia ada di Israel dan juga ada di Indonesia. Dia bisa bekerja dalam suasana apapun. Tetapi seringkali orang memakai kalimat ini secara berlebihan. Mereka mengkritik orang Kristen yang mengusahakan tempat dan suasana. Misalnya: Jika dalam suatu kebaktian, pada waktu berdoa diiringi dengan musik supaya suasana baik, maka mereka akan mengatakan Tuhan tidak terbatas dengan suasana. Artinya kalau Tuhan mau bekerja, pasti bisa tanpa bantuan musik. Musik malah mempermainkan emosi saja. Kadang-kadang saya mengelus dada (saya tahu seharusnya saya belajar jauh lebih bersabar) mendengar kritikan seperti itu. Mungkin ada baiknya saya menjawab dengan pertanyaan juga: “Mengapa harus berkhotbah 1 jam? Tuhan juga bisa bekerja dalam khotbah 5 menit atau bahkan tanpa khotbah, cukup dengan membacakan Firman Tuhan. Mengapa pengkhotbah harus berusaha memakai retorik dan intonasi yang baik, mengapa tidak datar saja sekaligus ditambah “eh.. ah.. eh..” dan salah-salah ngomong? Tuhan tokh tetap bisa bekerja. Mengapa pakai musik dikatakan mempermainkan emosi, sementara pakai retorik tidak dianggap mempermainkan emosi, atau mempermainkan logika?” Atau pertanyaan yang lebih ekstrim, “Kalau Tuhan bisa bekerja tanpa terikat dengan tempat dan suasana lalu mengapa kita perlu kerjakan sesuatu? Gereja tidak perlu dibuat bagus, tidak perlu pakai AC, musik tidak perlu yang baik, liturgis tidak perlu latihan, pengkhotbah tidak perlu persiapan, dst, dst.”
Jangan salah mengerti, saya sangat percaya Tuhan tidak terbatas tempat dan suasana. Saya hanya tidak setuju kalau konsep itu ditarik secara ekstrim.
Sebagai anak Tuhan kita punya hak istimewa untuk datang kepada Tuhan dengan leluasa. Bahkan Tuhan senang ketika kita datang untuk menyembah Dia dan bersekutu dengan Dia. Kita bisa lakukan itu dimana saja, kapan saja, dalam keadaan apa saja. Syarat satu-satunya adalah hati yang mau datang kepada Dia. Tetapi dunia memberikan penghalang yang begitu banyak. Kesibukan kita membuat kita tidak bisa tenang datang kepada Tuhan, sedikit gangguan membuat emosi kita yang hampir meledak jadi meledak sungguhan dan kita tidak bisa menyembah Tuhan, bapak di sebelah kita yang menyanyi dengan keras tapi false membuat kita tidak bisa bernyanyi, ibu-ibu yang cekikikan di samping kita membuat kita tidak bisa mendengar Firman Tuhan, liturgis yang gayanya aneh atau terlihat kurang persiapan membuat kita terganggu, dst, dst. Dengan banyaknya halangan-halangan itu, kita harus susah payah berjuang untuk datang kepada Tuhan.
Kadang-kadang Tuhan memang menerobos semua halangan, keadaan yang kacau, suasana yang buruk, semua yang serba tidak baik, Tuhan lewati semua itu dan terobos langsung untuk menyentuh hati orang. Tetapi tidak selalu demikian. Lebih sering kita mendengar orang yang terhalang datang kepada Tuhan karena halangan-halangan yang disebabkan kelalaian atau kemalasan (atau kenaifan) pelayan Tuhan.
Bagi saya, tempat-tempat tertentu di Israel yang membuat saya mudah terharu adalah tempat dimana penghalang itu begitu minim. Dengan begitu mudah saya datang kepada Tuhan. Tetapi saya juga belajar bahwa tempat yang sangat baik bagi saya tidak tentu sama baiknya bagi orang lain.
Pada waktu saya pergi, ada yang bercerita betapa terkesannya dia ketika berada di tempat-tempat tertentu. Tetapi pada waktu berada di sana, tempat yang dia sebutkan justru tidak berkesan apa-apa bagi saya. Malah tempat yang tidak berkesan bagi dia, justru berkesan bagi saya. Pada waktu naik ke gunung Sinai dengan mengendarai unta, saya sibuk memperhatikan langkah si unta dan itu menjadi penghalang bagi saya untuk tenang. Sementara ada seorang anggota rombongan kami yang bercerita dia justru menangis waktu mengendarai unta, karena saat itu dia merasa Tuhan begitu besar dan dia begitu kecil.
Maka saya menyimpulkan: Kapanpun dan dimanapun kita berada selalu usahakan singkirkan penghalang yang menghalangi kita untuk datang kepada Tuhan. Mungkin itu suasana hati kita, mungkin itu dosa, mungkin itu kesibukan kita yang berlebihan, dll. Ketika kita melayani, kita berusaha tidak menciptakan penghalang bagi orang lain datang kepada Tuhan, dengan sikap kita, kata-kata kita atau persiapan lainnya. Itu usaha kita. Sisanya? Terserah bagaimana Tuhan bekerja. Kita tidak bisa katakan “Kalau semua beres, tempat baik, suasana dibuat baik, maka pasti ada berkat Tuhan”. Lakukan bagian kita, lakukan yang terbaik, harapkan berkat Tuhan dan biar Tuhan memberkati menurut kehendakNya.
Thursday, June 05, 2008
An Icon in Abu Sirga Church (Reflection from Trip to Israel - 3)
Saya lupa kapan persisnya pertama kali saya melihat lukisan di atas. Tetapi yang saya ingat adalah lukisan itu menarik hati saya. Pertama kali saya lihat, saya sempat bertanya-tanya lukisan apa itu. Apakah itu adalah lukisan Yesus atau santo tertentu? Dan akhirnya saya tahu bahwa itu adalah lukisan Yesus. Entah mengapa lukisan itu sangat menarik bagi saya.
Sebelum pergi ke Israel, saya mencoba untuk membaca beberapa tulisan tentang tempat-tempat yang akan kami kunjungi. Salah satunya adalah gereja Abu Sirga (Disebut juga gereja St.Sergius dan St. Bacchus karena memang dibangun untuk menghormati kedua orang itu, dan Abu Sirga adalah bahasa Arab dari Sergius). Saya tahu gereja itu dibangun di atas tempat yang dipercaya sebagai tempat tinggal Yusuf, Maria dan Yesus ketika mereka lari ke Mesir menghindari pembunuhan oleh Herodes. Saya juga tahu ada beberapa icon berupa lukisan di gereja itu. Tetapi saya tidak mengharapkan apa yang kemudian saya alami waktu berada di sana.
Selain relikwi berupa tulang dari St. Sergius dan St. Bacchus, sepanjang yang saya lihat, tidak ada icon santo atau santa tertentu yang bukan tokoh Alkitab. Di tembok sebelah kanan terpajang deretan icon lukisan yang menggambarkan kehidupan Yesus. Sangat menarik dan menyentuh bagi saya (Sampai-sampai setelah meninggalkan gereja itu dan saya tahu di situ ada postcard bergambar icon-icon tersebut, saya buru-buru balik ke gereja itu untuk membelinya).
Ketika melihat tembok sebelah kiri, saya terkejut. Di situ ada 5 icon berupa lukisan dan yang membuat saya terkejut adalah icon yang di tengah adalah lukisan di atas, lukisan Yesus yang menarik hati saya. Saya langsung bertanya kepada tour guide kami yang adalah orang Mesir, apakah lukisan itu asli? Lukisan siapakah 4 lukisan di kiri dan kanan lukisan Yesus? Dia mengatakan semua adalah lukisan asli dan 4 lukisan di kiri kanan itu adalah Matius, Markus, Lukas dan Yohanes.
Saya… sangat.. sangat.. senang melihat lukisan itu! Lukisan yang selama ini saya lihat di internet atau di buku, sekarang saya lihat aslinya. Ternyata lukisan itu ada di situ! Itu adalah lukisan Yesus yang dibuat oleh gereja Coptic Orthodox. Lukisan itu menyatakan iman orang gereja Coptic Orthodox kepada Yesus, iman yang sama dengan iman saya, iman kepada Yesus yang dikisahkan kehidupannya di dalam 4 kitab Injil.
Gereja Coptic Orthodox terpisah dengan dunia kekristenan lain karena masalah perdebatan tentang natur Kristus. Setelah konsili Chalcedon tahun 451 memutuskan bahwa ada 2 natur Kristus, kemanusiaan dan keilahian yang tidak bercampur dan tidak bisa dipisahkan, mereka tidak setuju dan memisahkan diri. Pandangan mereka disebut monophysite, Kristus hanya memiliki 1 natur. Mereka tidak menerima pandangan Euthycianisme yang ekstrim yang mengatakan sebelum berinkarnasi Yesus punya 2 natur, tetapi kemudian natur kemanusiaan Kristus melebur dalam ke-ilahianNya seperti “setetes madu ke dalam laut”. Mereka tidak terima itu tetapi mereka menerima pandangan Cyril dari Alexandria tentang “one nature of the incarnate Word” (satu natur Firman yang berinkarnasi), yaitu ilahi-manusia. Sejak itu mereka menjadi gereja yang terisolasi selama berabad-abad.
Ketika masuk ke gereja itu, saya merasakan suasana yang lain. Gereja itu membuat saya langsung ingin berdoa kepada Tuhan. Saya memuji Tuhan karena ada Yesus yang sama yang disembah di situ, selama berabad-abad. Saya memuji Tuhan karena orang-orang Kristen di situ terus mengingat bahwa Yesus pernah datang ke Mesir, Tuhan penguasa semesta yang pernah harus melarikan diri karena akan dibunuh oleh manusia. Dan itu adalah karena kasihNya. Saya memuji Tuhan!
Monday, June 02, 2008
Places VS Charms (Reflection from Trip to Israel - 2)
Baik pada waktu saya akan berangkat ke Israel, selama di sana ataupun setelah kembali dari sana, banyak teman yang dengan bercanda mengatakan bahwa saya "naik haji" ala Kristen hehe…
Kita sama-sama tahu bahwa pergi ke Israel berbeda dengan naik haji seperti yang dilakukan oleh orang muslim. Naik haji adalah rukun Islam yang kelima sementara pergi ke Israel sama sekali tidak diperintahkan oleh Alkitab.
Sebelum pergi ke Israel, saya sudah mendengar tentang perilaku tidak Alkitabiah dari orang-orang Kristen yang pergi ke sana. Pada waktu di sana saya mendengar beberapa cerita yang lebih aneh lagi dan saya sempat melihat beberapa di antaranya. Ada orang Kristen yang ingin dibaptis ulang di sungai Yordan, ada yang sengaja menyentuh batu atau tempat tertentu dengan harapan ada berkatnya, ada yang meletakkan uang di gereja tertentu supaya diberkati lebih banyak, dsb.
Perilaku-perilaku seperti itu jelas sama sekali tidak berdasarkan Alkitab, bahkan boleh dibilang melawan Alkitab. Seakan-akan Tuhan menunjuk tempat atau benda tertentu untuk menjadi jimat bagi orang Kristen. Seakan-akan ada kehadiran Tuhan yang lebih di situ yang membuat Tuhan mau tidak mau memberkati orang-orang yang menyentuhnya. Ini konsep lampu Aladin dan bukan konsep Alkitab. Tuhan tidak pernah terikat oleh tempat atau benda.
Israel adalah lokasi terjadinya banyak peristiwa-peristiwa dalam Alkitab. Dulu tempat itu dipilih Allah untuk menjadi tempat kehidupan Yesus di bumi. Tetapi tidak pernah Tuhan berfirman supaya kita selalu ke Israel untuk mendapatkan berkat yang lebih besar. Tuhan tidak terikat pada tempat penyaliban Yesus, lokasi Yesus membuat mukjizat, air sungai tempat Yesus dibaptis, dsb sehingga kalau kita kesana Tuhan pasti memberkati.
Uniknya, ternyata mental jimat ini sangat melekat pada manusia. Manusia memang selalu suka mencari suatu tempat atau benda yang dianggap punya ‘isi’, punya kuasa dan bisa ditakuti oleh dirinya. Maka kalau saja kubur Musa ditemukan, pasti banyak orang Israel zaman itu yang menyembahnya. Dan kalau saja salib Yesus ditemukan, pasti banyak orang Kristen yang menyembahnya (terbukti ketika Ratu Helena memerintahkan pencarian salib Yesus dan menemukan banyak salib palsu, itu pun sudah menjadi benda yang dipuja-puja oleh gereja).
Bukan berarti tempat atau benda itu tidak penting. Tuhan juga memakai benda atau tempat sebagai simbol kehadiranNya, seperti bait suci dan tabut perjanjian. Tetapi Tuhan sudah berulang kali mengajar orang Israel, jangan jadikan itu jimat. Bait suci adalah simbol kehadiran Tuhan, tempat itu dikuduskan oleh Tuhan, dan kalau mereka sembarangan bisa langsung mati. Tetapi ketika Israel melawan Tuhan, dibiarkanNya orang Babel dan orang Roma untuk masuk ke ruang maha kudus bahkan menghancurkannya dan tidak mati. Ketika Israel berperang melawan Filistin, mereka membawa tabut perjanjian ke medan perang supaya mau tidak mau Tuhan memberkati, tetapi Tuhan malah membiarkan tabut itu dirampas oleh orang Filistin. Orang-orang itu mungkin menyentuh, membuka dan melihat ke dalamnya tetapi tidak menjadi mati, sebagaimana kalau itu dulu dilakukan orang Israel. Bait suci dan tabut perjanjian bukan jimat, tidak ada tempat atau benda yang adalah jimat. Kehadiran Tuhan tidak pernah bisa diikat oleh tempat atau benda apapun.
Pergi ke Israel seperti mencari ilustrasi untuk Firman Tuhan, mencari alat peraga untuk cerita Alkitab atau seperti yang saya sebutkan di tulisan sebelumnya, mencari icon untuk merangsang imajinasi kita akan cerita Alkitab. Kalau boleh saya bandingkan, walau tidak terlalu tepat, pergi ke Israel adalah seperti pergi mendengar khotbah. Apakah ada berkatnya? Ada! Tapi apakah mendengar khotbah pasti mendapat berkat? Jelas tidak! Tergantung bagaimana kita mendengar, tergantung bagaimana kita membuka hati kita, dan tergantung apakah Tuhan memberkati. Seperti itu jugalah pergi ke Israel. Itu hanya suatu tempat. Memang tempat yang luar biasa, tempat dimana Tuhan pernah menyatakan dengan sangat jelas kemuliaanNya di tengah manusia, tetapi tetap hanyalah suatu tempat. Apakah ada berkatnya pergi ke sana? Tergantung bagaimana kita merenungkan kaitan tempat itu dengan Firman Tuhan, tergantung bagaimana hati kita apakah bebal atau lembut ingin mengenal Tuhan lebih dalam, tergantung apakah Tuhan memberkati.
Kalau saya pikir-pikir, kenapa banyak orang punya mental jimat? Jawabannya mengerikan, karena mereka ingin memegang Tuhan dalam kuasa mereka. Tapi Tuhan tidak pernah bisa dikuasai manusia.
Tidak ada embel-embel baru di depan nama saya karena saya pernah ke Israel. Saya hanya pernah pergi ke suatu tempat, Israel, dan di sana saya merenungkan Firman Tuhan serta berdoa.
Kita sama-sama tahu bahwa pergi ke Israel berbeda dengan naik haji seperti yang dilakukan oleh orang muslim. Naik haji adalah rukun Islam yang kelima sementara pergi ke Israel sama sekali tidak diperintahkan oleh Alkitab.
Sebelum pergi ke Israel, saya sudah mendengar tentang perilaku tidak Alkitabiah dari orang-orang Kristen yang pergi ke sana. Pada waktu di sana saya mendengar beberapa cerita yang lebih aneh lagi dan saya sempat melihat beberapa di antaranya. Ada orang Kristen yang ingin dibaptis ulang di sungai Yordan, ada yang sengaja menyentuh batu atau tempat tertentu dengan harapan ada berkatnya, ada yang meletakkan uang di gereja tertentu supaya diberkati lebih banyak, dsb.
Perilaku-perilaku seperti itu jelas sama sekali tidak berdasarkan Alkitab, bahkan boleh dibilang melawan Alkitab. Seakan-akan Tuhan menunjuk tempat atau benda tertentu untuk menjadi jimat bagi orang Kristen. Seakan-akan ada kehadiran Tuhan yang lebih di situ yang membuat Tuhan mau tidak mau memberkati orang-orang yang menyentuhnya. Ini konsep lampu Aladin dan bukan konsep Alkitab. Tuhan tidak pernah terikat oleh tempat atau benda.
Israel adalah lokasi terjadinya banyak peristiwa-peristiwa dalam Alkitab. Dulu tempat itu dipilih Allah untuk menjadi tempat kehidupan Yesus di bumi. Tetapi tidak pernah Tuhan berfirman supaya kita selalu ke Israel untuk mendapatkan berkat yang lebih besar. Tuhan tidak terikat pada tempat penyaliban Yesus, lokasi Yesus membuat mukjizat, air sungai tempat Yesus dibaptis, dsb sehingga kalau kita kesana Tuhan pasti memberkati.
Uniknya, ternyata mental jimat ini sangat melekat pada manusia. Manusia memang selalu suka mencari suatu tempat atau benda yang dianggap punya ‘isi’, punya kuasa dan bisa ditakuti oleh dirinya. Maka kalau saja kubur Musa ditemukan, pasti banyak orang Israel zaman itu yang menyembahnya. Dan kalau saja salib Yesus ditemukan, pasti banyak orang Kristen yang menyembahnya (terbukti ketika Ratu Helena memerintahkan pencarian salib Yesus dan menemukan banyak salib palsu, itu pun sudah menjadi benda yang dipuja-puja oleh gereja).
Bukan berarti tempat atau benda itu tidak penting. Tuhan juga memakai benda atau tempat sebagai simbol kehadiranNya, seperti bait suci dan tabut perjanjian. Tetapi Tuhan sudah berulang kali mengajar orang Israel, jangan jadikan itu jimat. Bait suci adalah simbol kehadiran Tuhan, tempat itu dikuduskan oleh Tuhan, dan kalau mereka sembarangan bisa langsung mati. Tetapi ketika Israel melawan Tuhan, dibiarkanNya orang Babel dan orang Roma untuk masuk ke ruang maha kudus bahkan menghancurkannya dan tidak mati. Ketika Israel berperang melawan Filistin, mereka membawa tabut perjanjian ke medan perang supaya mau tidak mau Tuhan memberkati, tetapi Tuhan malah membiarkan tabut itu dirampas oleh orang Filistin. Orang-orang itu mungkin menyentuh, membuka dan melihat ke dalamnya tetapi tidak menjadi mati, sebagaimana kalau itu dulu dilakukan orang Israel. Bait suci dan tabut perjanjian bukan jimat, tidak ada tempat atau benda yang adalah jimat. Kehadiran Tuhan tidak pernah bisa diikat oleh tempat atau benda apapun.
Pergi ke Israel seperti mencari ilustrasi untuk Firman Tuhan, mencari alat peraga untuk cerita Alkitab atau seperti yang saya sebutkan di tulisan sebelumnya, mencari icon untuk merangsang imajinasi kita akan cerita Alkitab. Kalau boleh saya bandingkan, walau tidak terlalu tepat, pergi ke Israel adalah seperti pergi mendengar khotbah. Apakah ada berkatnya? Ada! Tapi apakah mendengar khotbah pasti mendapat berkat? Jelas tidak! Tergantung bagaimana kita mendengar, tergantung bagaimana kita membuka hati kita, dan tergantung apakah Tuhan memberkati. Seperti itu jugalah pergi ke Israel. Itu hanya suatu tempat. Memang tempat yang luar biasa, tempat dimana Tuhan pernah menyatakan dengan sangat jelas kemuliaanNya di tengah manusia, tetapi tetap hanyalah suatu tempat. Apakah ada berkatnya pergi ke sana? Tergantung bagaimana kita merenungkan kaitan tempat itu dengan Firman Tuhan, tergantung bagaimana hati kita apakah bebal atau lembut ingin mengenal Tuhan lebih dalam, tergantung apakah Tuhan memberkati.
Kalau saya pikir-pikir, kenapa banyak orang punya mental jimat? Jawabannya mengerikan, karena mereka ingin memegang Tuhan dalam kuasa mereka. Tapi Tuhan tidak pernah bisa dikuasai manusia.
Tidak ada embel-embel baru di depan nama saya karena saya pernah ke Israel. Saya hanya pernah pergi ke suatu tempat, Israel, dan di sana saya merenungkan Firman Tuhan serta berdoa.
Subscribe to:
Posts (Atom)