Di Israel, ada tempat-tempat yang entah bagaimana membuat saya mudah terharu. Bahkan begitu berada di sana saya langsung terharu. Bukan cuma tempatnya tetapi juga suasananya yang sangat indah bagi saya.
Saya tahu Tuhan tidak terbatas oleh tempat dan suasana. Dia ada di Israel dan juga ada di Indonesia. Dia bisa bekerja dalam suasana apapun. Tetapi seringkali orang memakai kalimat ini secara berlebihan. Mereka mengkritik orang Kristen yang mengusahakan tempat dan suasana. Misalnya: Jika dalam suatu kebaktian, pada waktu berdoa diiringi dengan musik supaya suasana baik, maka mereka akan mengatakan Tuhan tidak terbatas dengan suasana. Artinya kalau Tuhan mau bekerja, pasti bisa tanpa bantuan musik. Musik malah mempermainkan emosi saja. Kadang-kadang saya mengelus dada (saya tahu seharusnya saya belajar jauh lebih bersabar) mendengar kritikan seperti itu. Mungkin ada baiknya saya menjawab dengan pertanyaan juga: “Mengapa harus berkhotbah 1 jam? Tuhan juga bisa bekerja dalam khotbah 5 menit atau bahkan tanpa khotbah, cukup dengan membacakan Firman Tuhan. Mengapa pengkhotbah harus berusaha memakai retorik dan intonasi yang baik, mengapa tidak datar saja sekaligus ditambah “eh.. ah.. eh..” dan salah-salah ngomong? Tuhan tokh tetap bisa bekerja. Mengapa pakai musik dikatakan mempermainkan emosi, sementara pakai retorik tidak dianggap mempermainkan emosi, atau mempermainkan logika?” Atau pertanyaan yang lebih ekstrim, “Kalau Tuhan bisa bekerja tanpa terikat dengan tempat dan suasana lalu mengapa kita perlu kerjakan sesuatu? Gereja tidak perlu dibuat bagus, tidak perlu pakai AC, musik tidak perlu yang baik, liturgis tidak perlu latihan, pengkhotbah tidak perlu persiapan, dst, dst.”
Jangan salah mengerti, saya sangat percaya Tuhan tidak terbatas tempat dan suasana. Saya hanya tidak setuju kalau konsep itu ditarik secara ekstrim.
Sebagai anak Tuhan kita punya hak istimewa untuk datang kepada Tuhan dengan leluasa. Bahkan Tuhan senang ketika kita datang untuk menyembah Dia dan bersekutu dengan Dia. Kita bisa lakukan itu dimana saja, kapan saja, dalam keadaan apa saja. Syarat satu-satunya adalah hati yang mau datang kepada Dia. Tetapi dunia memberikan penghalang yang begitu banyak. Kesibukan kita membuat kita tidak bisa tenang datang kepada Tuhan, sedikit gangguan membuat emosi kita yang hampir meledak jadi meledak sungguhan dan kita tidak bisa menyembah Tuhan, bapak di sebelah kita yang menyanyi dengan keras tapi false membuat kita tidak bisa bernyanyi, ibu-ibu yang cekikikan di samping kita membuat kita tidak bisa mendengar Firman Tuhan, liturgis yang gayanya aneh atau terlihat kurang persiapan membuat kita terganggu, dst, dst. Dengan banyaknya halangan-halangan itu, kita harus susah payah berjuang untuk datang kepada Tuhan.
Kadang-kadang Tuhan memang menerobos semua halangan, keadaan yang kacau, suasana yang buruk, semua yang serba tidak baik, Tuhan lewati semua itu dan terobos langsung untuk menyentuh hati orang. Tetapi tidak selalu demikian. Lebih sering kita mendengar orang yang terhalang datang kepada Tuhan karena halangan-halangan yang disebabkan kelalaian atau kemalasan (atau kenaifan) pelayan Tuhan.
Bagi saya, tempat-tempat tertentu di Israel yang membuat saya mudah terharu adalah tempat dimana penghalang itu begitu minim. Dengan begitu mudah saya datang kepada Tuhan. Tetapi saya juga belajar bahwa tempat yang sangat baik bagi saya tidak tentu sama baiknya bagi orang lain.
Pada waktu saya pergi, ada yang bercerita betapa terkesannya dia ketika berada di tempat-tempat tertentu. Tetapi pada waktu berada di sana, tempat yang dia sebutkan justru tidak berkesan apa-apa bagi saya. Malah tempat yang tidak berkesan bagi dia, justru berkesan bagi saya. Pada waktu naik ke gunung Sinai dengan mengendarai unta, saya sibuk memperhatikan langkah si unta dan itu menjadi penghalang bagi saya untuk tenang. Sementara ada seorang anggota rombongan kami yang bercerita dia justru menangis waktu mengendarai unta, karena saat itu dia merasa Tuhan begitu besar dan dia begitu kecil.
Maka saya menyimpulkan: Kapanpun dan dimanapun kita berada selalu usahakan singkirkan penghalang yang menghalangi kita untuk datang kepada Tuhan. Mungkin itu suasana hati kita, mungkin itu dosa, mungkin itu kesibukan kita yang berlebihan, dll. Ketika kita melayani, kita berusaha tidak menciptakan penghalang bagi orang lain datang kepada Tuhan, dengan sikap kita, kata-kata kita atau persiapan lainnya. Itu usaha kita. Sisanya? Terserah bagaimana Tuhan bekerja. Kita tidak bisa katakan “Kalau semua beres, tempat baik, suasana dibuat baik, maka pasti ada berkat Tuhan”. Lakukan bagian kita, lakukan yang terbaik, harapkan berkat Tuhan dan biar Tuhan memberkati menurut kehendakNya.
Saya tahu Tuhan tidak terbatas oleh tempat dan suasana. Dia ada di Israel dan juga ada di Indonesia. Dia bisa bekerja dalam suasana apapun. Tetapi seringkali orang memakai kalimat ini secara berlebihan. Mereka mengkritik orang Kristen yang mengusahakan tempat dan suasana. Misalnya: Jika dalam suatu kebaktian, pada waktu berdoa diiringi dengan musik supaya suasana baik, maka mereka akan mengatakan Tuhan tidak terbatas dengan suasana. Artinya kalau Tuhan mau bekerja, pasti bisa tanpa bantuan musik. Musik malah mempermainkan emosi saja. Kadang-kadang saya mengelus dada (saya tahu seharusnya saya belajar jauh lebih bersabar) mendengar kritikan seperti itu. Mungkin ada baiknya saya menjawab dengan pertanyaan juga: “Mengapa harus berkhotbah 1 jam? Tuhan juga bisa bekerja dalam khotbah 5 menit atau bahkan tanpa khotbah, cukup dengan membacakan Firman Tuhan. Mengapa pengkhotbah harus berusaha memakai retorik dan intonasi yang baik, mengapa tidak datar saja sekaligus ditambah “eh.. ah.. eh..” dan salah-salah ngomong? Tuhan tokh tetap bisa bekerja. Mengapa pakai musik dikatakan mempermainkan emosi, sementara pakai retorik tidak dianggap mempermainkan emosi, atau mempermainkan logika?” Atau pertanyaan yang lebih ekstrim, “Kalau Tuhan bisa bekerja tanpa terikat dengan tempat dan suasana lalu mengapa kita perlu kerjakan sesuatu? Gereja tidak perlu dibuat bagus, tidak perlu pakai AC, musik tidak perlu yang baik, liturgis tidak perlu latihan, pengkhotbah tidak perlu persiapan, dst, dst.”
Jangan salah mengerti, saya sangat percaya Tuhan tidak terbatas tempat dan suasana. Saya hanya tidak setuju kalau konsep itu ditarik secara ekstrim.
Sebagai anak Tuhan kita punya hak istimewa untuk datang kepada Tuhan dengan leluasa. Bahkan Tuhan senang ketika kita datang untuk menyembah Dia dan bersekutu dengan Dia. Kita bisa lakukan itu dimana saja, kapan saja, dalam keadaan apa saja. Syarat satu-satunya adalah hati yang mau datang kepada Dia. Tetapi dunia memberikan penghalang yang begitu banyak. Kesibukan kita membuat kita tidak bisa tenang datang kepada Tuhan, sedikit gangguan membuat emosi kita yang hampir meledak jadi meledak sungguhan dan kita tidak bisa menyembah Tuhan, bapak di sebelah kita yang menyanyi dengan keras tapi false membuat kita tidak bisa bernyanyi, ibu-ibu yang cekikikan di samping kita membuat kita tidak bisa mendengar Firman Tuhan, liturgis yang gayanya aneh atau terlihat kurang persiapan membuat kita terganggu, dst, dst. Dengan banyaknya halangan-halangan itu, kita harus susah payah berjuang untuk datang kepada Tuhan.
Kadang-kadang Tuhan memang menerobos semua halangan, keadaan yang kacau, suasana yang buruk, semua yang serba tidak baik, Tuhan lewati semua itu dan terobos langsung untuk menyentuh hati orang. Tetapi tidak selalu demikian. Lebih sering kita mendengar orang yang terhalang datang kepada Tuhan karena halangan-halangan yang disebabkan kelalaian atau kemalasan (atau kenaifan) pelayan Tuhan.
Bagi saya, tempat-tempat tertentu di Israel yang membuat saya mudah terharu adalah tempat dimana penghalang itu begitu minim. Dengan begitu mudah saya datang kepada Tuhan. Tetapi saya juga belajar bahwa tempat yang sangat baik bagi saya tidak tentu sama baiknya bagi orang lain.
Pada waktu saya pergi, ada yang bercerita betapa terkesannya dia ketika berada di tempat-tempat tertentu. Tetapi pada waktu berada di sana, tempat yang dia sebutkan justru tidak berkesan apa-apa bagi saya. Malah tempat yang tidak berkesan bagi dia, justru berkesan bagi saya. Pada waktu naik ke gunung Sinai dengan mengendarai unta, saya sibuk memperhatikan langkah si unta dan itu menjadi penghalang bagi saya untuk tenang. Sementara ada seorang anggota rombongan kami yang bercerita dia justru menangis waktu mengendarai unta, karena saat itu dia merasa Tuhan begitu besar dan dia begitu kecil.
Maka saya menyimpulkan: Kapanpun dan dimanapun kita berada selalu usahakan singkirkan penghalang yang menghalangi kita untuk datang kepada Tuhan. Mungkin itu suasana hati kita, mungkin itu dosa, mungkin itu kesibukan kita yang berlebihan, dll. Ketika kita melayani, kita berusaha tidak menciptakan penghalang bagi orang lain datang kepada Tuhan, dengan sikap kita, kata-kata kita atau persiapan lainnya. Itu usaha kita. Sisanya? Terserah bagaimana Tuhan bekerja. Kita tidak bisa katakan “Kalau semua beres, tempat baik, suasana dibuat baik, maka pasti ada berkat Tuhan”. Lakukan bagian kita, lakukan yang terbaik, harapkan berkat Tuhan dan biar Tuhan memberkati menurut kehendakNya.