(Posted in Nov 22, 2006)
Tulisan ini saya cuplik dari buku Kenneth Boa, Conformed to His Image, 93.
Seni kuno Lectio Divina atau sacred (sakral/suci) reading diperkenalkan kepada dunia Barat oleh desert father dari Timur, John Cassian, pada awal abad ke-5. Seni ini dipraktekkan oleh para biarawan Cistercian dan saat ini ditemukan kembali oleh sebagian besar komunitas Kristen. Pendekatan yang sangat baik ini mengkombinasikan disiplin belajar, berdoa dan meditasi menjadi suatu metode yang sangat powerful, yang jikalau dijalankan dengan konsisten, dapat merubah hidup rohani seseorang. Sacred reading ini terdiri dari 4 elemen:
1. Lectio (membaca). Pilihlah teks yang sangat singkat dan telan itu dengan membacanya beberapa kali. Saya biasanya memilih sebuah ayat atau bagian yang pendek dari dari Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru, dari pasal yang saya baca dalam pembacaan Alkitab saya di pagi hari.
2. Meditatio (meditasi). Ambil beberapa menit untuk merefleksikan kata-kata dan frase-frase dalam teks yang telah anda baca. Renungkan bagian itu dengan menanyakan pertanyaan-pertanyaan dan menggunakan imajinasi anda.
3. Oratio (doa). Setelah menginternalisasikan bagian ini, serahkan kembali ke Tuhan dalam bentuk doa yang dipersonalisasikan (JS: ayat itu diadaptasi menjadi doa pribadi, minta supaya ayat itu terjadi dalam hidup kita)
4. Contemplatio (kontemplasi). Bagi sebagian besar kita, ini akan menjadi bagian yang paling sulit, karena bagian ini terdiri dari berdiam diri dan penyerahan diri di hadapan Allah. Kontemplasi adalah buah dari dialog ketiga elemen yang pertama; persekutuan yang lahir dari penerimaan kita akan kebenaran ilahi dalam pikiran dan hati kita.
Pendekatan orang-orang zaman modern di dalam membaca Alkitab adalah “baca, mengerti, and that’s good”. Penekanannya adalah di “mengerti”. Tetapi kita tahu that’s not good enough. Sebagian lagi menekankan “baca, hafalkan, mengerti atau tidak mengerti, karena akan berguna suatu hari”. Penekanannya adalah di “hafal”. Tetapi kita juga tahu that’s not good enough.
Sebenarnya kita sering membicarakan tentang ‘merenungkan Firman’, tetapi di zaman modern ‘merenungkan Firman’ sering dibaca menjadi ‘mengerti atau menghafal Firman’. Ada sesuatu yang hilang di situ. Merenungkan tidak boleh berarti lain selain sungguh-sungguh merenungkan.
Di zaman post-modern ini, banyak teolog menggali lagi keindahan spiritualitas tokoh-tokoh iman zaman kuno. Lectio Divina adalah salah satu pendekatan yang ditemukan kembali. Kita bukan saja membaca, menghafal, mengerti, tetapi juga minta dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan supaya Firman itu hidup dalam hidup kita, dan mencoba supaya Firman itu menembus masuk dalam hati kita yang paling dalam.
Untuk bagian kontemplasi, saya setuju ini menjadi bagian yang sulit karena kita adalah ‘orang-orang yang terlalu sibuk’ dan ‘panik’, padahal kontemplasi membutuhkan ‘berdiam diri dan penyerahan diri’. Kita harus belajar punya waktu kontemplasi di hadapan Tuhan. Kita bukan mengosongkan diri seperti yang dilakukan aliran-aliran spiritualitas lain, tetapi kita mengkontemplasikan Firman Tuhan.
Satu masukan saya untuk kontemplasi. Pendekatan Lectio Divina ini sedang coba kami lakukan di dalam KTB majelis GKY Green Ville. Dalam 1 ruangan yang tidak terlalu besar, kami membagi majelis dan hamba Tuhan menjadi 4 kelompok. Bisa dibayangkan, dengan diskusi yang seru, ruangan itu menjadi terlalu ramai. Maka sebenarnya tidak mungkin menjalankan elemen kontemplasi ini. Tetapi kami menggantinya dengan berjanji untuk terus mengingat ayat itu dalam hidup sehari-hari, paling tidak selama 1 bulan ke depan sebelum rapat majelis yang berikut. Dan kami juga mencoba saling mengingatkan di antara kami. Diharapkan ketika dalam kehidupan sehari-hari, terjadi hal-hal yang berkaitan dengan ayat tersebut, kami langsung ingat lagi ayat itu, sehingga ayat itu makin terinternalisasi.
Walaupun kontemplasi dengan berdiam diri dan menyerahkan diri kepada Tuhan adalah sesuatu yang menurut saya harus kita lakukan juga, tetapi cara kontemplasi dengan ‘bergerak’ ini juga sesuatu yang sangat baik.
Bagaimanapun pemazmur mengatakan “Berbahagialah orang yang … kesukaannya ialah Taurat Tuhan dan merenungkan Taurat itu siang dan malam” (Mzm 1:1-2). Bagaimana mungkin orang itu merenungkan siang dan malam, kalau bukan sambil ‘bergerak’ atau merenungkannya sambil menjalankan aktivitas sehari-hari?