Sunday, August 30, 2009

White Christmas

(Posted in Dec 16, 2006)

 

I'm dreaming of a white Christmas

Just like the ones I used to know

Where the treetops glisten, and children listen

To hear sleigh bells in the snow

I'm dreaming of a white Christmas

With every Christmas card I write

May your days be merry and bright

And may all your Christmases be white

Lagu yang sangat terkenal ini ditulis pada tahun 1942. Dan sekarang ini, dimana-mana, baik di hotel-hotel maupun di gereja-gereja, lagu ini dinyanyikan.

Tanpa ada maksud menjadi tukang kritik, saya ingin mengkritisi lagu ini.

Kalau kita perhatikan teksnya, maka dengan jelas terlihat bahwa lagu ini sama sekali bukan lagu Natal, dalam arti yang sesungguhnya. Lagu ini hanya menggambarkan perasaan emosional dan kehangatan memori pada waktu Natal, suatu perasaan yang bisa dimiliki oleh siapa saja yang dibesarkan di dalam lingkungan atau keluarga yang biasa merayakan Natal.

Jangan salah mengerti, saya sama sekali tidak menentang lagu ini dinyanyikan. Tetapi kalau lagu ini dinyanyikan dalam gereja, apalagi dalam konteks ibadah, maka itu sudah salah kaprah.

Kalau lagu ini dinyanyikan sebagai suatu lagu memori, nah itu baru benar. Tetapi mari kita kritisi sedikit lagi. Lagu ini menyatakan dengan tepat sekali perasaan orang-orang yang biasa tinggal di negara Barat, yang karena suatu alasan kemudian harus pergi jauh ke tempat lain dimana tidak ada salju pada waktu Natal. Memori dan kerinduan mereka akan kampung halaman menjadi bangkit ketika memasuki suasana Natal. Tetapi saya kira tidak ada orang yang sejak kecil hidup di Indonesia, akan memiliki memori seperti yang dituliskan dalam lagu ini. ‘White Christmas’ adalah Natal dalam konteks musim salju, yang memang tidak ada di Indonesia, kecuali mungkin di puncak beberapa pegunungan saja. Ditambah lagi kalimat ‘I’m dreaming of a white Christmas with every Christmas card I write’, makin tidak kontekstual bagi kita yang sekarang lebih banyak memakai email dan sms untuk mengucapkan selamat Natal. Maka perasaan dreaming seperti itu juga tidak kita rasakan.

Mari kita menyanyi, lagu apa saja, dengan pikiran dan perasaan (maksud saya jangan mematikan pikiran dan perasaan dengan menyanyikan lagu yang tidak kita pikirkan dan rasakan, apalagi dalam ibadah).