Friday, September 30, 2011
Judas and the Gospel of Jesus - N.T. Wright
Penemuan dokumen kuno yang disebut “The Gospel of Judas” sempat membuat heboh di kalangan orang Kristen karena promosi yang ditampilkan adalah dokumen ini akan memberitahu kita rahasia yang selama ini kita tidak tahu, rahasia yang ditutupi oleh kebohongan Alkitab, bahwa Yesus bukanlah seperti yang diceritakan dalam Injil dan Yudas bukanlah pengkhianat tapi pahlawan.
Dengan sangat sistematis dan kadang-kadang bombastis, N.T.Wright menunjukkan apa sebetulnya “The Gospel of Judas” ini. Dan N.T.Wright memberi judul bukunya: Judas and the Gospel of Jesus. Tidak ada “the Gospel of Judas”, tidak ada Injil – kabar baik – dari Yudas, yang ada hanyalah Yudas dan Injil dari Yesus.
Dokumen yang disebut “The Gospel of Judas” ini berasal dari abad ketiga atau keempat, jauh setelah Yesus naik ke surga dan Yudas mati. Dan isi dokumen ini memperlihatkan dengan jelas bahwa ajaran yang disampaikan adalah ajaran Gnostik. Mereka (pengikut Gnosticism) memakai tokoh Yesus dan Yudas untuk menyampaikan ajaran mereka. Apa yang bisa kita ketahui tentang Yesus dari dokumen ini? Tidak ada! Apa yang bisa kita ketahu tentang Yudas dari dokumen ini? Tidak ada! Mereka hanya memakai nama Yesus dan Yudas, lalu diisi dengan skenario dan dialog imajiner.
Tapi kalau begitu mengapa dokumen ini menimbulkan kehebohan? Seperti biasa: Marketing! Marketing adalah melihat trend masyarakat, apa kebutuhannya lalu menawarkannya. Dalam banyak kasus, marketing adalah melihat trend masyarakat, kemana masyarakat bisa dipancing supaya merasa membutuhkan, lalu menawarkan ‘kebutuhan’ itu. Masyarakat sebagian tidak percaya Yesus, orang ‘Kristen’ liberal suka dengan segala sesuatu yang berbau akademis dan bisa menyangkal Alkitab, orang Kristen sendiri banyak yang tidak tahu apa-apa tentang Gnostik dan mudah diombang-ambingkan. Maka perfect! Tawarkan ‘Injil’ yang baru ini dan semua heboh! Popularitas dan uang pun mengalir! That’s the Gospel of Judas!
Saya kira buku dari N.T. Wright ini sangat menolong untuk orang Kristen yang ingin tahu tentang topik ini sekaligus membuka mata kita untuk tidak cepat menerkam semua yang ditawarkan oleh para ‘ahli’. By the way, Da Vinci Code dari Dan Brown adalah salah satu kasus yang mirip. Orang Kristen dihebohkan bahkan oleh N-O-V-E-L!!!??
Saturday, September 24, 2011
Sexual Character - Marva Dawn
Dawn membagi bukunya menjadi tiga bagian:
Bagian pertama dia bercerita tentang ‘the problem’. Dia bicara tentang bagaimana masyarakat kita sakit, kesepian, dan mencari pemecahannya melalui seks, tanpa pernah berpikir bahwa Tuhan tidak merancangnya demikian. Makin mereka memakai seks dengan salah, makin buruk keadaannya. Dan dia menutup dengan bagian yang sangat inspiring: “The Church Must Be The Church: An Ethics of Character”. Etika karakter adalah etika yang bertanya “saya mau jadi orang seperti apa dengan melakukan ini?”
Bagian kedua dia menjelaskan rancangan Tuhan akan karakter seksual manusia. Dia membicarakan tujuan pernikahan, makna dari sexual union, dan bagaimana buah roh terwujud dalam sikap kita terhadap seksualitas. Dawn selalu menekankan penting komunitas gereja dalam saling membentuk.
Bagian terakhir adalah bagaimana menerapkan prinsip-prinsip yang sudah dibahas itu di dalam masalah praktis seperti: friendship, homosexuality, marriage, divorce, nurturing children, abortion, teenagers, dating, and “sex”.
Banyak hal yang dia tuliskan dalam buku ini mungkin merupakan pergumulan dan kerinduan pribadinya akan kehidupan keluarga dan komunitas Kristen yang ideal. Seringkali dia hanya bertanya “apa yang bisa kita lakukan…? bagaimana kita bisa menjadi…? bagaimana kita bisa mengajarkan…?” dst.
Marva Dawn adalah seorang scholar dengan Ph.D di bidang etika dan Alkitab. Dia tidak hanya banyak bergelut dengan dunia akademis tetapi juga banyak melayani sebagai jemaat biasa di gerejanya dan bahkan melayani anak-anak muda. Maka buku ini, satu sisi tidak rumit, tapi di sisi lain juga tidak kehilangan kedalaman.
Verdict: Buku yang sangat baik, highly recommended!
Wednesday, September 21, 2011
My Thesis Writing - 1
Terasa (bukannya tidak terasa) sudah 2 tahun lebih saya memulai studi di TTC. Dan sekarang saya berada dalam tahap penulisan thesis. Baru saja proposal saya disetujui dan diserahkan ke School of Postgraduate Studies. Dari antara kelompok murid yang semester ini memulai penulisan thesis, kelihatannya saya murid terakhir yang disetujui proposalnya (nggak ngiri sih, tapi deg2an). Sementara saya masih bergumul dengan proposal, teman2 lain ada yang sudah memulai Bab 2!
Judul sementara thesis saya adalah: “Paul’s Missionary Expectation of His Churches: An Ecclesiological Approach to Resolving a Recent Debate”. Ada cerita panjang di balik pemilihan judul ini, will share it later.
Saya berharaaapppp… bisa menyelesaikan thesis ini di bulan April 2012. Mission –rather– impossible for me. Teman-teman lain menetapkan target untuk menyelesaikan thesis mereka di akhir tahun ini atau paling lambat awal tahun depan. Saya… yah sudah sangat senang kalau bisa selesai di bulan April 2012. Sangat sulit untuk bisa konsentrasi tiga perempat penuh (kalo penuh udah pasti nggak mungkin) sambil melayani sebagai gembala. Maka saya sambil menentukan target sambil menyiapkan hati kalau-kalau tidak bisa selesai tepat waktu.
Kalau semua lancar saya harap akhir bulan Oktober saya bisa menyelesaikan Bab 1. God help me.
Sunday, September 18, 2011
Life Begins at Forty?
Banyak orang bilang bahwa bagi pria, life begins at forty. Dulu saya tidak terlalu mengerti kalimat itu, sampai akhir-akhir ini.
Beberapa waktu yang lalu seorang teman bercerita tentang pergumulannya akan hidupnya. Apa sebetulnya yang ingin dia lakukan dalam hidup? Pekerjaan seperti apa yang dia inginkan? Kemana arah hidupnya? dst. Yang menarik adalah ketika dia bilang bahwa mungkin dia berpikir semua itu karena krisis yang dia alami menjelang usia 40 tahun.
Saya agak tersentak… karena hampir 1 tahun sebelumnya, saya punya pergumulan yang serupa. Rupanya… mungkinkah… itulah yang dimaksud krisis menjelang usia 40 tahun!
Sejak menjadi hamba Tuhan, saya tahu hidup saya untuk melayani Tuhan di ladang pelayanan. Saya menjalani hari demi hari, tahun demi tahun, dengan kesadaran itu. Bukannya saya tidak punya target atau tujuan yang lebih spesifik (saya pergi ke Singapore untuk studi adalah salah satu target yang akhirnya tercapai juga), tapi saya menjalani hidup saya dengan (mungkin istilah saya kurang tepat) ‘menerima apa adanya’.
Tapi beberapa waktu yang lalu, saya mulai berpikir, apa sebetulnya yang saya – atau tepatnya Tuhan - inginkan dengan hidup saya. Ketika usia lebih muda, waktu sepertinya masih sangat panjang dan kemungkinan sangat tidak terbatas. Tapi sekarang berbeda. Saya mulai menghitung, setelah selesai studi berapa tahun lagi yang saya punya sebelum pensiun? (kalau saya masih hidup tentunya!). Tidak terlalu banyak, mungkin hanya 22 atau 23 tahun! Sungguh itu tidak banyak. Lalu apa yang ingin saya lakukan dalam sekian tahun yang masih sisa itu?
Saya mencoba membuat beberapa alternatif pilihan hidup. Di usia sekarang, saya sudah bisa mengukur kemampuan saya, jalur hidup saya, peluang yang terbuka bagi saya, beban saya yang sesungguhnya, dan seterusnya. Bagi saya semua adalah tanda mengenali ke arah mana sebetulnya Tuhan mau bawa saya. Sempat ada hal-hal yang saya sesali karena dulu tidak saya lakukan, tapi cepat2 saya lupakan karena tidak ada gunanya menyesali yang sudah lewat. Pertanyaan saya selalu ke depan, apa sebenarnya yang ingin saya lakukan, apa yang Tuhan percayakan pada saya, yang harus saya lakukan supaya nanti saya tidak menyesal.
Maka mungkin betul bagi pria life begins at forty. Pada usia 40 tahun, kita sudah mengalami cukup banyak hal untuk berpikir dengan lebih matang akan hidup kita. Pada usia 40 tahun, saat belum tua tapi juga tidak terlalu muda lagi, kita mulai berpikir apa yang ingin kita lakukan dengan sisa hidup kita.
Banyak orang bilang ketika usia 40, kita tidak terlalu berani lagi untuk mengambil resiko. Terlalu banyak pertimbangan, terlalu banyak ketakutan, terlalu banyak pengalaman di masa lalu, dan akhirnya kita akan selalu memilih yang aman. Tapi saya tidak ingin begitu.
Saya ingin tetap berani mengambil resiko untuk mengikut Tuhan. Dan sekalipun saya sudah memikirkan beberapa alternatif yang ‘mungkin’, saya memberi celah untuk surprise dari Tuhan. Bagaimanapun saya tidak tahu sepenuhnya apa yang Tuhan sediakan bagi saya di masa depan, I’m ready for another surprise! Dan kalau Tuhan sudah pimpin sampai hari ini, saya percaya Tuhan akan pimpin lagi sampai akhirnya.
Thursday, September 08, 2011
As Each Part Does Its Work - 2
Tulisan ini menyambung tulisan sebelumnya As Each Part Does Its Work.
Ada sebuah program reality show yang ditayangkan di salah satu stasiun TV di Singapore yang saya suka dan sempat nonton beberapa kali: Undercover Boss. Program itu direkam di beberapa negara, kalau saya tidak salah di Australia, UK dan Amerika, atau mungkin negara2 lainnya.
Konsep program ini adalah meminta boss (bisa owner atau CEO atau CFO, intinya mereka yang berada pada pucuk pimpinan perusahaan) untuk menyamar menjadi karyawan (dengan jabatan yang rendah) di perusahaannya sendiri. Mereka bisa menyamar sebagai trainee atau karyawan baru yang ditempatkan disitu. Tujuannya adalah dia memahami betul apa yang terjadi di perusahaannya, kesulitan yang ada di bawah, dan melihat langsung bagaimana para karyawannya bekerja. Dan di akhir dari program itu – seperti biasa ala Hollywood – surpriseee!!! Orang-orang yang ‘beruntung’ menjadi rekan kerjanya selama dia menyamar akan dipanggil dan diberitahu bahwa ternyata dia adalah boss di perusahaan itu. Berikutnya bisa ditebak – reward dan mungkin punishment? – saya tidak tahu.
Selama menyamar, ada kamera2 tersembunyi yang merekam aktivitas mereka. Dan adegan2 yang ada memperlihatkan bahwa si boss ini tidak trampil dalam banyak hal. Ketika ‘bekerja’ di bagian customer service dia harus banyak dilatih bagaimana menjawab pelanggan yang menelpon dengan marah2. Dia kebingungan sementara ‘rekan kerja’nya sangat tenang menanganinya. Ketika ‘bekerja’ di pabrik dia kesulitan untuk bisa cepat bekerja dengan ban berjalan. Seringkali akhirnya dia kagum dengan para karyawan yang sangat trampil dan pas di bidangnya – jauh melebihi dia!
Boss itu trampil di bidangnya yang asli: mengelola keuangan, punya instink investasi, mengatur kebijakan perusahaan, dll. Tapi di bidang lain (yang sebenarnya berada di bawah kuasa dia): melayani pelanggan, menerima telpon, merangkai bunga, dll, dia jauh kalah ahli dengan karyawannya.
Saya jadi geli sendiri ketika baru2 ini melihat karyawan mertua saya. Saya dan istri bercanda bahwa untuk jadi karyawan mereka perlu ketrampilan ekstra, harus serba bisa. Kadang diminta menyetir mobil, carikan barang di pasar, ambilkan bibit tanaman di taman, bantu melayani pelanggan, dan berbagai hal lainnya, pokoknya harus serba bisa. Saya bukan orang yang sigap, saya pemikir, perencana, pembicara, tapi bukan pekerja fisik yang sigap. Maka kalau saja posisi saya adalah karyawan dan bukan menantu, wah pasti saya dipecat! Untungnya saya menantu dan saya trampil jadi menantu hehe…
Saya jadi terpikir, bukankah demikian pula di gereja. Saya jadi hamba Tuhan yang melayani di gereja dan saya bersyukur bahwa Tuhan memperlengkapi saya untuk tugas itu. Tapi sebagai gembala, di bawah saya ada banyak bidang pengurus. Dan saya tidak trampil mengerjakan banyak bidang yang mereka kerjakan. Saya agak buta dalam hal keuangan, saya tidak mengerti sound system dan berbagai peralatannya, saya –rasanya- tidak akan disukai kalau menjadi guru sekolah minggu, dan seterusnya. Belum lagi masalah waktu, saya tidak mungkin mampu mengerjakan semuanya. Sekarang ini untuk memikirkan dan mengarahkan pun saya sudah keteteran.
Betul, tiap orang ada tempatnya. Kalau saja semua menjalankan bagiannya maka pasti seluruh tubuh berjalan. Tapi kalau ada yang salah tempat dan membuat macet, pasti seluruh tubuh akan merasakan dampaknya.
Maka wow… alangkah indahnya Efesus 4:16: “From him the whole body, joined and held together by every supporting ligament, grows and builds itself up in love, as each part does its work.” Gereja diumpamakan seperti tubuh. Dan seluruh tubuh menerima pertumbuhan dari Kristus, membangun diri di dalam kasih, as each part does its work!
Monday, September 05, 2011
Family Man - The Biography of James Dobson
Membaca buku ini membuat saya lebih ‘mengenal’nya, kehidupannya, karakternya, ethos kerjanya, pengaruhnya, kebiasaannya, dan beberapa nilai yang dia perjuangkan.
Dobson adalah seorang yang sangat besar dan juga pemimpin yang sangat besar. Dia memimpin organisasi pelayanan yang sangat besar di Amerika dengan ribuan karyawan - dengan gaya manajemen yang dia kembangkan sendiri. Salah satu sistem yang dia pakai disebut sebagai “hot pending”. Dia akan mengirim memo atau email dengan icon warna merah sebagai tanda bahwa dia minta itu dijadikan prioritas dan dia minta jawaban paling lambat 1 minggu. Dia mengontrol seluruh organisasi dengan cara itu. Cara yang efektif tapi tidak disukai oleh karyawannya.
Membaca mengenai gaya kepemimpinannya – dengan keunikan tersendiri - membuat saya menyadari bahwa tiap orang memang memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda. Tidak semua orang akan cocok dan bisa bekerjasama dengan kita seperti juga yang terjadi pada James Dobson. Bukan berarti kita tidak perlu belajar memimpin dengan lebih baik, tapi sulit menetapkan gaya kepemimpinan mana yang lebih baik.
Sejauh ini dari apa yang saya baca dan pelajari, salah satu ciri dari para pemimpin yang sangat efektif – termasuk juga James Dobson – adalah sangat disiplin dalam memakai waktu. Dan ini juga saya temukan dalam kehidupan para scholars. Terlalu banyak yang harus dikerjakan, dan akan lebih banyak yang bisa dikerjakan dengan pemakaian waktu yang disiplin. Salah satu contoh betapa disiplinnya Dobson adalah ketika dia memutuskan untuk berolah raga rutin tiap pagi. Dalam waktu lebih dari 8 tahun, lebih dari 3000 hari, hanya 5 hari dia absen – 2 hari karena dia lupa dan 3 hari karena dia stroke! Saya jadi makin berharap saya juga bisa disiplin memakai waktu :-(
Ketika baru menyelesaikan Ph.D nya, Dobson berdoa kepada Tuhan:
“You’ve got people who are very willing to serve You, but they’re not qualified. And people who are very qualified who aren’t willing to serve. I now have a measure of qualifications, and I’m deeply willing. Please use me.”Kehidupannya menunjukkan Tuhan menjawab doanya. Penulis buku ini, Dale Buss, menutup biografi Dobson dengan kalimat:
One at a time, he has treasured lives, touched lives, and even transformed lives for Christ. “This is a noble and gentle warrior,” says Representative Trent Frank, one of those lives. “I know the glorified Christ will look in his eyes and say, ‘Well done, good and faithful servant.’”Walaupun banyak hal yang Dobson lakukan dan perjuangkan dalam hidupnya. Bagi saya yang paling berharga mungkin adalah sumbangsihnya dalam kehidupan banyak keluarga di banyak negara melalui tulisan2nya. Dan itu saja sudah membuat hidupnya sangat berharga.