Wednesday, March 14, 2012

Biarkan Pendeta Belajar Firman Tuhan

Saya tertarik membaca cuplikan khotbah dari Dr. Robert Solomon (Bishop dari Methodist Church 36th Session of Emmanuel Tamil Annual Conference:
Singapore) pada acara penutupan dan pentahbisan pendeta dalam
What we need today are pastors well versed in Scripture. A pastor has to spend time digging deep into God's Word so that when he stands on the pulpit, people will know that this is a man who knows God's Word.
Yang kita perlukan hari ini adalah pendeta-pendeta yang sangat mengerti Alkitab. Seorang pendeta harus memakai waktu untuk menggali Firman Tuhan dengan dalam sehingga pada waktu dia berdiri di atas mimbar, orang akan tahu bahwa inilah orang yang mengenal Firman Tuhan.
Dan dengan berani dia berkata:
The Lord is saying, "Let my pastors study the Word", "let my pastors grow", "let my pastors go, don't imprison them with unnecesary programmes and activities".
Tuhan berkata, "Biarkan pendeta-pendeta Ku belajar Firman", "Biarkan pendeta-pendeta Ku bertumbuh", "Biarkan pendeta-pendeta Ku pergi, jangan penjarakan mereka dengan program-program dan kegiatan-kegiatan yang tidak perlu".
Dari kalimat-kalimatnya saya bisa merasakan pergumulan dia sendiri dalam hal ini, dalam menemukan waktu untuk belajar Firman, dalam mendidik jemaat untuk mengerti tugas utama seorang hamba Tuhan.

Saya langsung berpikir berapa banyak pengkhotbah yang ketika berdiri di atas mimbar, dari isi khotbahnya, kita bisa dengan hormat berkata: dia sungguh belajar Firman Tuhan dan mengenal Firman Tuhan???

Walaupun kondisi ini sebagian disebabkan kesalahan dia sendiri, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian lagi adalah karena kesalahan jemaat. Saya menemukan bahwa jemaat sulit sekali mengerti seperti apa seharusnya beratnya dan sulitnya persiapan khotbah. Mereka sering berpikir bahwa pendeta sudah sekolah teologi, dia pasti tahu lah tentang Alkitab... dan khotbah gampang lah tinggal kasih renungan dikit...

Saya ingin sebutkan tiga saja culture di dalam gereja yang kelihatan jelas tidak mendorong hamba Tuhan untuk belajar, atau lebih tepatnya mendorong hamba Tuhan untuk tidak belajar!

Coba perhatikan di dalam gereja, seorang hamba Tuhan akan ditegur kalau dia tidak pergi membesuk, menghadiri rapat atau kalau dia tidak belajar? Kita tahu jawabannya. Penekanan pada tugas hamba Tuhan di dalam gereja bukanlah pada belajar. Dan percakapan antar para hamba Tuhan juga jarang atau hampir tidak pernah tentang teologi, tapi selalu tentang pelayanan dan masalahnya. Bisa ditebak dengan culture seperti itu, betapa sulitnya untuk hamba Tuhan belajar.  Berbagai kegiatan terus ditumpuk kepada para hamba Tuhan, akhirnya belajar Firman Tuhan makin dikesampingkan.

Gereja menuntut supaya para hamba Tuhan ada 'jam kantor'. Alasannya? "Jemaat aja pergi kerja ngantor, masak hamba Tuhan lebih malas?" Dan ruangan hamba Tuhan di-desain seperti kantor. Meja berdekatan satu sama lain, telpon disediakan di tiap meja, dan seterusnya. Pertanyaan saya: "Adakah orang yang bisa belajar dengan suasana seperti itu?" Ruang hamba Tuhan disebut sebagai "kantor" dan bukan "ruang belajar" saja sudah menunjukkan culture yang ada. Hamba Tuhan akhirnya menghabiskan banyak waktu untuk telpon, main internet, ngobrol, apa saja yang tidak membutuhkan konsentrasi tingkat tinggi selama jam kantor. Bagaimana mungkin ada yang bisa konsentrasi penuh membaca buku yang dalam, menggali Alkitab dengan membaca buku tafsiran, melihat bahasa asli, ditambah lagi merenungkan maknanya bagi kehidupan, dalam suasana "kantor"? Saya setuju ada 'jam kantor' untuk waktu interaksi dengan sesama hamba Tuhan, dengan karyawan gereja, dan untuk mengerjakan beberapa paper work. Tapi 'jam kantor' harus sangat dibatasi. Sisanya terserah hamba Tuhan itu untuk mencari tempat belajar. Alternatif lain, sediakan "ruang belajar" dan bukan "kantor". Itupun tidak menjamin total karena bagi saya mempersiapkan khotbah adalah seni, dan inspirasi untuk seni sulit dibatasi harus di tempat tertentu.

Ketika gereja memilih hamba Tuhan sebagai gembala, seringkali kriteria utama bukanlah 'khotbah'nya, tapi 'penggembalaan'nya. Dan yang dimaksud dengan 'penggembalaan' adalah kemampuannya memperhatikan jemaat, kesigapannya untuk membesuk, karena jemaat yang sakit, orang tua jemaat, saudara jemaat, teman jemaat memerlukan sesuatu, sampai karena hewan peliharaan jemaat hilang! Khotbah, walaupun dianggap penting, dikesampingkan karena kita menganggap dengan mudah bisa mengundang pengkhotbah tamu. Maka banyak gereja (khususnya di Indonesia) yang sangat bergantung pada pengkhotbah tamu. Dan sudah dianggap wajar, "pengkhotbah harus ganti-ganti supaya variatif". Maka 'pengkhotbah dalam' yang sudah tertekan dengan kegiatan gereja, mengesampingkan tugas belajar, sekarang merasa aman karena tokh ada 'pengkhotbah tamu'. Padahal bukankah tugas gembala adalah memberi makan jemaat dengan Firman Tuhan?

Maka kapankah kita memiliki lagi pendeta-pendeta yang sangat mengerti Alkitab dan berkhotbah dengan baik? Jalannya masih panjaaang...  Apa yang saya tuliskan di atas hanya bersifat deskriptif, menggambarkan apa yang terjadi. Solusinya? Panjaaaang...