Beberapa hari lagi kita akan sampai di penghujung tahun 2015.
Setiap kita pasti mengalami hal yang berbeda di sepanjang tahun 2015. Suka
dan duka, sehat dan sakit, keuntungan dan kerugian, mendapatkan dan kehilangan,…
variasinya tidak terbatas. Peristiwa demi peristiwa sudah terjadi. Di satu sisi,
semua itu sudah menjadi masa lalu. Sudah lewat. Tetapi, di sisi yang lain, kita
perlu menyadari dan mengakui bahwa semua itu masih mempengaruhi kehidupan kita
sampai sekarang.
Sakit yang kita alami, kerugian ekonomi yang kita terima, anugrah besar yang
kita nikmati, pelajaran tentang kehidupan, sukacita yang kita rasakan, kepahitan
hidup, luka hati, semuanya ikut andil membentuk kita. Pikiran dan emosi kita
diubah oleh semua itu. Maka bagaimanapun juga, peristiwa di masa lalu itu
meninggalkan jejak dalam hidup kita di saat ini dan juga masa depan.
Pertanyaannya apa yang harus kita lakukan dengan semua itu?
Membawa semua yang kita terima ke hadapan Tuhan dan bersyukur adalah hal yang
sulit. Kita cenderung lupa untuk bersyukur dan mudah untuk berkata “kekuasaanku
dan kekuatan tangankulah” yang membuat aku memperoleh semuanya. Tetapi, membawa
ke hadapan Tuhan semua kelelahan, kepahitan, kesedihan, yang sudah kita alami
dan mempengaruhi kita, seringkali lebih sulit.
Minggu lalu saya berkhotbah di GKY Jemaat Green Ville dari Yohanes 4:1-42.
Saya pernah berkhotbah dari bagian itu di tempat lain walaupun tidak sama persis
(lihat tulisan saya tentang Mengulang
Khotbah di sini). Bukan saja saya mengurangi dan menambahkan di sana-sini,
tetapi juga ada penekanan-penekanan yang berbeda. Maka khotbah itu, bagi saya
pribadi, fresh. Bagian Alkitab itu berbicara lagi kepada saya sendiri –
dengan cara yang berbeda.
Yesus menawarkan air hidup! Yesus berjanji barangsiapa yang meminum air hidup
yang Dia berikan itu tidak akan haus lagi. Dia menggenapi janji itu tidak dengan
meniadakan kemungkinan untuk kita haus. Tetapi Dia menggenapinya dengan
menjadikan air hidup itu mata air dalam diri kita yang terus menerus memancar
sampai ke hidup yang kekal.
Maka setiap kali haus, yang perlu kita lakukan adalah mengaku haus, datang
kepada-Nya minta dipuaskan, dan membiarkan Dia memuaskan kita lagi dan lagi. Air
hidup itu ada di dalam diri kita! Roh Kudus ada di dalam kita. Kuasa kehidupan
yang selalu menopang kita ada di situ. Kekuatan tak terhingga untuk mengubah
kita ada di situ. Penghiburan yang terindah ada di situ. Jaminan yang terkuat
bahwa Dia akan menuntun kita ada di situ. Maka, lagi dan lagi, kita hanya perlu
mengaku haus, datang kepada-Nya dan dipuaskan.
Berapa sulitnya itu? Sulit! Kita sulit untuk mengaku haus dan datang ke
Tuhan. Mudah untuk kita menangis. Cepat untuk kita berteriak. Tetapi datang
kepada Tuhan dan HANYA meminta dipuaskan oleh-Nya (bukan oleh yang lain), adalah
hal yang sangat sulit. Membutuhkan kerendahan hati. Membutuhkan pertobatan.
Terakhir, meminjam judul buku John Piper (“Don’t Waste Your Cancer”), saya
ingin mengingatkan “Don’t Waste What You’ve Been Through”. Jangan sia-siakan
pengalaman pahitmu. Jangan sia-siakan sakit hatimu. Jangan sia-siakan
tangisanmu.
Kita menyia-nyiakannya jika kita hanya berusaha melupakannya tanpa bertobat
(walaupun ya, kita perlu meninggalkannya di belakang). Kita menyia-nyiakannya
jika kita hanya menjadi orang yang sakit hati dan penuh amarah. Kita
menyia-nyiakannya jika semua itu merusak hidup dan masa depan kita. Don’t
waste them!
Ketika semua kepahitan, luka, dan tangisan, menjadi cambuk yang memacu kita
hidup lebih baik, menjadi arang yang membakar kita berkobar bagi Tuhan, menjadi
minyak yang mengobati luka orang lain, maka kita tidak menyia-nyiakannya.
Bagi saya, tahun 2015 adalah tahun dengan warna kelabu terbanyak dalam hidup
saya. Pada waktu saya merenungkan kembali Yohanes 4:1-42 itu, saya menyadari
bahwa saya sedang sering dan mudah haus. Saya memang pernah meminta dan menerima
air hidup yang ditawarkan Yesus – ketika saya sepenuhnya mengakui Dia sebagai
Tuhan dan Juruselamat saya. Air hidup itu sudah memuaskan dahaga jiwa saya.
Tetapi, saya pun haus lagi. Maka sebelum berkhotbah, berkali-kali saya
menundukkan kepala, menadahkan tangan dan berdoa, “Tuhan, aku haus, puaskan aku
lagi”.
Saya juga tidak ingin menyia-nyiakan semua warna kelabu itu. Saya mengingat
lagi semua yang terjadi dan saya berdoa supaya semua tidak sia-sia. Ada janji
yang saya ucapkan kepada Tuhan.
Dua hari lalu saya dan istri berjalan kaki cukup jauh, lebih dari 3 km, dan
sambil berjalan kami banyak membicarakan apa yang kami alami di tahun 2015 ini.
Lalu kami bernyanyi (tentunya dengan suara pelan :-) di jalanan)… “Ku tahu
Bapa p’liharaku, Dia baik, Dia baik, ku yakin Dia s’lalu sertaku, Dia baik
bagiku. Lewat badai cobaan, semuanya mendatangkan kebaikan. Ku tahu Bapa
p’liharaku, Dia baik bagiku.”
Sambil menyanyi saya terharu… betul Tuhan baik. Kekuatan yang Dia berikan
untuk kami berjalan dan terus berjalan selalu cukup. Ya, cukup. Dia juga
memberikan sukacita, warna-warna cerah, di sepanjang perjalanan itu. Selalu ada
bright moments yang mengingatkan bahwa hidup tidak selalu kelabu.
Bahkan Dia memberikan banyak hal yang tidak sepantasnya kami terima. Ya, kami
tidak ingin melupakan itu.
Kemurahan-Mu, ya Tuhan, sungguh lebih dari hidup. Maka syukur kami
persembahkan lagi kepada Tuhan.
Monday, December 28, 2015
Thursday, December 17, 2015
John Maxwell’s 5 Levels of Leadership
Sekedar sharing.
John Maxwell, yang banyak berbicara tentang kepemimpinan Kristen, pernah mengajarkan dengan sederhana 5 tingkatan kepemimpinan dalam sebuah organisasi. Saya merasa tertolong dengan model sederhana dari Maxwell ini untuk mengevaluasi kepemimpinan saya dan juga mengingatkan saya akan apa yang masih kurang.
Maka sekedar untuk sharing, di bawah ini saya mencoba menjelaskan apa yang dimaksud oleh dia:
1. People follow because they have to
Ini adalah tingkat kepemimpinan yang paling rendah. “Pemimpin” ini ditunjuk menjadi pemimpin. Dia punya bawahan yang mengikuti dia semata-mata karena mereka harus. Maka orang yang berhenti di tingkatan ini hanyalah boss dan bukan pemimpin. Kata kunci untuk tingkatan pertama ini adalah “posisi”.
2. People follow because they want to
Disinilah seseorang mulai menjadi pemimpin. Leadership is influence. Pengaruh itu diberikan bukan melalui posisi tetapi melalui relasi. Dia membangun relasi yang baik dengan orang-orang dalam timnya. Dia disukai, dihargai, diakui sebagai pemimpin, karena pengaruh yang dia berikan. Sebaliknya ketika orang-orang di bawah dia merasa disukai, dihargai, dipercaya, diperhatikan, maka mereka mulai bekerjasama dengan dia. People go along with leaders they get along with. Maka mereka tidak lagi sekedar mengikuti perintah tetapi mereka mengikuti si pemimpin karena menginginkannya. Kata kunci untuk tingkatan kedua ini adalah “relasi”.
3. People follow because of what you have done for the organization
Pemimpin yang baik makes things happen. Dia harus punya prestasi atau “buah” yang jelas terlihat dan itu membuat orang percaya bahwa dia mampu. Untuk sampai ke tingkatan ini, seseorang harus punya kemampuan kerja yang baik dan juga mampu untuk mengatur dan mengarahkan seluruh organisasi. Dia harus memiliki pemikiran yang baik dan juga etika kerja yang baik. Dia bukan saja produktif secara pribadi tapi mampu mengarahkan tim kerja menjadi produktif. Kata kunci untuk tingkatan ketiga ini adalah “prestasi”.
4. People follow because of what you have done for them personally
Pada tingkatan ini, seorang pemimpin menginvestasikan uang, energi, waktu, dan pemikirannya untuk mengembangkan orang lain menjadi pemimpin. Bagaimana caranya? Dia hanya 20% berfokus pada apa yang dihasilkan oleh tim kerjanya sementara 80% fokusnya adalah pada pengembangan potensi mereka. Kata kunci untuk tingkatan keempat ini adalah “coaching”.
5. People follow because of who you are and what you represent
Mereka yang berada di tingkatan ini sudah memimpin sangat baik dan sangat lama sehingga terbentuk budaya kepemimpinan yang baik di dalam organisasi yang dipimpinnya. Pengaruh dirinya bahkan melampaui organisasi yang dipimpinnya. Sangat jarang pemimpin yang mencapai tingkatan kelima ini. Biasanya seseorang mencapai tingkatan ini hanya di ujung masa karirnya. Kata kunci untuk tingkatan kelima ini adalah “legacy”.
Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah tingkatan-tingkatan kepemimpinan ini harus ditempuh berurutan. Tidak ada yang bisa dilompati. Kita tidak bisa sampai ke tingkatan ketiga sebelum melalui tingkatan kedua, demikian seterusnya.
Untuk menjadi seorang pemimpin yang baik (good leader), menurut saya, paling tidak kita harus sampai di tingkatan ketiga.
Jika kita menempati posisi pemimpin maka tingkatan pertama pasti sudah dicapai. Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana relasi kita dengan orang-orang di bawah kita? Apakah ada relasi, yang bukan sekedar baik – hangat, akrab, saling percaya, tetapi memberikan pengaruh yang baik? Apakah mereka belajar banyak, termotivasi, berani bermimpi lebih besar, karena kita? Pikirkan jawaban pertanyaan ini dari sisi mereka. Kalau jawabannya “ya”, maka tingkatan kedua dicapai.
Lalu pertanyaan berikut adalah bagaimana hasil kerja kita? Ini bukan sekedar masalah apakah kita rajin, bekerja keras, berkorban, atau tidak. Tetapi, apakah orang-orang melihat kita mampu - berhasil dalam tugas pribadi dan dalam memimpin dan mengarahkan organisasi? Apakah orang-orang di bawah kita percaya dengan penilaian dan keputusan kita karena mereka melihat hasil kerja kita selama ini? Kalau jawabannya “ya”, maka tingkatan ketiga dicapai.
Tetapi, untuk menjadi pemimpin yang sungguh baik (great leader), saya kira minimal kita harus sampai di tingkatan keempat. Bukan saja kita mendorong orang untuk maju, tetapi kita menginvestasikan waktu, tenaga dan uang untuk melatih orang di bawah kita menjadi pemimpin. Ini tidak mungkin kita lakukan dengan baik kalau kita tidak mencapai tingkatan kedua dan ketiga dengan baik juga. Jika kita mencapai tingkatan ini, orang-orang di bawah kita akan mengaku bahwa mereka bisa menjadi pemimpin dan mampu mengembangkan potensi karena kita. This is tough!
Saya pikir model sederhana di atas akan sangat menolong jika kita jujur menilai diri kita. Kita akan melihat pemimpin seperti apa kita dan apa yang harus kita perbaiki.
So… where are you now? What is still lacking?
John Maxwell, yang banyak berbicara tentang kepemimpinan Kristen, pernah mengajarkan dengan sederhana 5 tingkatan kepemimpinan dalam sebuah organisasi. Saya merasa tertolong dengan model sederhana dari Maxwell ini untuk mengevaluasi kepemimpinan saya dan juga mengingatkan saya akan apa yang masih kurang.
Maka sekedar untuk sharing, di bawah ini saya mencoba menjelaskan apa yang dimaksud oleh dia:
1. People follow because they have to
Ini adalah tingkat kepemimpinan yang paling rendah. “Pemimpin” ini ditunjuk menjadi pemimpin. Dia punya bawahan yang mengikuti dia semata-mata karena mereka harus. Maka orang yang berhenti di tingkatan ini hanyalah boss dan bukan pemimpin. Kata kunci untuk tingkatan pertama ini adalah “posisi”.
2. People follow because they want to
Disinilah seseorang mulai menjadi pemimpin. Leadership is influence. Pengaruh itu diberikan bukan melalui posisi tetapi melalui relasi. Dia membangun relasi yang baik dengan orang-orang dalam timnya. Dia disukai, dihargai, diakui sebagai pemimpin, karena pengaruh yang dia berikan. Sebaliknya ketika orang-orang di bawah dia merasa disukai, dihargai, dipercaya, diperhatikan, maka mereka mulai bekerjasama dengan dia. People go along with leaders they get along with. Maka mereka tidak lagi sekedar mengikuti perintah tetapi mereka mengikuti si pemimpin karena menginginkannya. Kata kunci untuk tingkatan kedua ini adalah “relasi”.
3. People follow because of what you have done for the organization
Pemimpin yang baik makes things happen. Dia harus punya prestasi atau “buah” yang jelas terlihat dan itu membuat orang percaya bahwa dia mampu. Untuk sampai ke tingkatan ini, seseorang harus punya kemampuan kerja yang baik dan juga mampu untuk mengatur dan mengarahkan seluruh organisasi. Dia harus memiliki pemikiran yang baik dan juga etika kerja yang baik. Dia bukan saja produktif secara pribadi tapi mampu mengarahkan tim kerja menjadi produktif. Kata kunci untuk tingkatan ketiga ini adalah “prestasi”.
4. People follow because of what you have done for them personally
Pada tingkatan ini, seorang pemimpin menginvestasikan uang, energi, waktu, dan pemikirannya untuk mengembangkan orang lain menjadi pemimpin. Bagaimana caranya? Dia hanya 20% berfokus pada apa yang dihasilkan oleh tim kerjanya sementara 80% fokusnya adalah pada pengembangan potensi mereka. Kata kunci untuk tingkatan keempat ini adalah “coaching”.
5. People follow because of who you are and what you represent
Mereka yang berada di tingkatan ini sudah memimpin sangat baik dan sangat lama sehingga terbentuk budaya kepemimpinan yang baik di dalam organisasi yang dipimpinnya. Pengaruh dirinya bahkan melampaui organisasi yang dipimpinnya. Sangat jarang pemimpin yang mencapai tingkatan kelima ini. Biasanya seseorang mencapai tingkatan ini hanya di ujung masa karirnya. Kata kunci untuk tingkatan kelima ini adalah “legacy”.
Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah tingkatan-tingkatan kepemimpinan ini harus ditempuh berurutan. Tidak ada yang bisa dilompati. Kita tidak bisa sampai ke tingkatan ketiga sebelum melalui tingkatan kedua, demikian seterusnya.
Untuk menjadi seorang pemimpin yang baik (good leader), menurut saya, paling tidak kita harus sampai di tingkatan ketiga.
Jika kita menempati posisi pemimpin maka tingkatan pertama pasti sudah dicapai. Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana relasi kita dengan orang-orang di bawah kita? Apakah ada relasi, yang bukan sekedar baik – hangat, akrab, saling percaya, tetapi memberikan pengaruh yang baik? Apakah mereka belajar banyak, termotivasi, berani bermimpi lebih besar, karena kita? Pikirkan jawaban pertanyaan ini dari sisi mereka. Kalau jawabannya “ya”, maka tingkatan kedua dicapai.
Lalu pertanyaan berikut adalah bagaimana hasil kerja kita? Ini bukan sekedar masalah apakah kita rajin, bekerja keras, berkorban, atau tidak. Tetapi, apakah orang-orang melihat kita mampu - berhasil dalam tugas pribadi dan dalam memimpin dan mengarahkan organisasi? Apakah orang-orang di bawah kita percaya dengan penilaian dan keputusan kita karena mereka melihat hasil kerja kita selama ini? Kalau jawabannya “ya”, maka tingkatan ketiga dicapai.
Tetapi, untuk menjadi pemimpin yang sungguh baik (great leader), saya kira minimal kita harus sampai di tingkatan keempat. Bukan saja kita mendorong orang untuk maju, tetapi kita menginvestasikan waktu, tenaga dan uang untuk melatih orang di bawah kita menjadi pemimpin. Ini tidak mungkin kita lakukan dengan baik kalau kita tidak mencapai tingkatan kedua dan ketiga dengan baik juga. Jika kita mencapai tingkatan ini, orang-orang di bawah kita akan mengaku bahwa mereka bisa menjadi pemimpin dan mampu mengembangkan potensi karena kita. This is tough!
Saya pikir model sederhana di atas akan sangat menolong jika kita jujur menilai diri kita. Kita akan melihat pemimpin seperti apa kita dan apa yang harus kita perbaiki.
So… where are you now? What is still lacking?
Monday, November 23, 2015
Sampai Masa Tuaku
Setiap kita akan semakin tua, mau atau tidak mau dan
sadar atau tidak sadar.
Rambut semakin memutih atau menipis, kulit mengendur
dan keriput semakin jelas, otot melemah, dan organ-organ tubuh semakin rentan.
Kesulitan hidup yang kita alami mempertegas dan mempercepat proses
itu.
Ketika kita bercermin dan melihat fisik kita yang
semakin tua, apa yang kita pikirkan? Berpikir bagaimana membuatnya tampak lebih
muda? :-) Berharap bahwa kita belum setua itu? Atau melihat a story,
bahwa fisik ini, ya, rambut, kulit yang keriput, semuanya, sudah melalui banyak
hal di masa lalu. We have been through many things, ups and downs and in
between.
Tetapi, selain itu, bisakah kita juga melihat
another story: His story. Betul ada banyak kisah penderitaan,
kesulitan, tangisan yang sudah kita lalui di masa lalu, tapi juga jelas ada
kisah bagaimana tangan Tuhan menjangkau kita dan bagaimana tangan Tuhan menopang
kita. Rajutan “kisah hidup kita” dan “kisah Tuhan dalam hidup kita” itu berpadu
menjadi the real story. Itulah kisah sesungguhnya yang ada di balik
fisik yang menua.
Selama masih ada nafas hidup, kisah itu belum
berakhir, dan rajutan itu akan terus semakin kuat.
Mari mengamini apa yang Tuhan janjikan: “Sampai masa
tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku
telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan
menyelamatkan kamu” (Yesaya 46:4). Dia sudah melakukannya dan Dia mau terus
melakukannya.
Wednesday, November 18, 2015
What Kind of Life Do I Want to Live?
Saya baru saja kembali dari rumah doa di Lembang. Saya pergi kesana
to iron out the wrinkles in my heart. Setibanya di sana saya
langsung masuk ke kamar doa. Setelah sekitar satu setengah jam, saya memutuskan untuk berjalan-jalan di taman.
Seorang tukang kebun yang sudah lama bekerja di situ mengenali dan menyapa saya dengan ramah. Tiba-tiba dia bertanya, “Bapak tahu kalau Ibu sudah meninggal?”
Pikiran saya langsung teringat pada seorang ibu pengelola rumah doa ini. Saya mengenalnya karena dulu sering telpon untuk book tempat lalu beberapa kali bertemu dengannya di rumah doa. Walaupun tidak terlalu kenal, tapi dia selalu menyambut saya seperti sudah lama kenal. Belakangan melalui berbagai peristiwa saya jadi tahu sekelumit kisah hidupnya. Dia seorang wanita yang hidupnya penuh kesulitan tapi tegar, beriman, dan hidupnya sangat menjadi berkat bagi banyak orang. Rumah doa itu pun lahir dari kerinduan dan beban dia. Lalu akhirnya saya mendengar berita dia sakit dan akhirnya meninggal.
Maka saya menjawab “ya, saya tahu” kepada tukang kebun itu. Lalu dia menghampiri saya dan sambil berjongkok dia bercerita bahwa waktu itu si Ibu sempat bilang mau ke Singapore. Bagi dia, waktu itu, si Ibu tampaknya baik-baik saja. Tiba-tiba berita itu tiba dan dia sempat tidak percaya. Lalu dengan muka muram dia bilang, “Kita kehilangan pak… dia orang baek banget… susah cari orang baek begitu. Dia sangat sosial, dia pernah minta saya bikin daftar penduduk di kampung di atas yang perlu dibantu. Dan dia terus bantu”.
Lalu dia berkata bahwa dia senang waktu mendengar jenazah si Ibu akan dibawa pulang ke tanah air. “Dulu Ibu pernah bilang kalau dia meninggal, dia mau jenazahnya dipikul sama anak-anak rumah doa (karyawan). Saya pengen penuhin pesannya”. Kemudian dia bercerita bahwa waktu pemakaman, di kuburan sangatlah ramai. Dengan wajah berduka dan dengan lirih dia berkata, “saya nggak percaya… cepet banget… Ibu orang baek.”
Di tengah rumitnya dan berbelit-belitnya pikiran saya, percakapan singkat itu memberikan kesegaran tersendiri. Saya jadi diingatkan kembali what kind of life do I want to live?
James Dobson pernah mengumpamakan hidup seperti permainan monopoli. Waktu bermain, semua bisa serakah, berebut uang, berusaha mengalahkan lawan, bersaing membeli rumah dan tanah, sambil tertawa-tawa puas ketika menang. Tapi setelah permainan selesai, semua harus kembali masuk ke kotak. Semua yang tadinya begitu berharga, tidak ada lagi artinya. Kesenangan karena menang pun tidak ada lagi nilainya. Tapi bagaimana menjalani permainan tadi bersama orang-orang lain, itulah yang bernilai.
Sebelum berangkat ke rumah doa, saya secara acak membawa satu buku dari perpustakaan untuk dibaca di sana. Mau tahu judulnya? Our Greatest Gift: A Meditation on Dying and Caring (Henri J. M. Nouwen). Pas banget!
Nouwen melayani di komunitas penyandang cacat mental dan dia berkata ada banyak hal yang tidak bisa dilakukan mereka seperti orang di luar komunitas mereka. Ada yang tidak bisa mendengar, tidak bisa berhitung, tidak bisa membaca, ada yang tidak bisa makan atau mandi sendiri, dan ada yang sama sekali tidak bisa apa-apa. Mereka sadar bahwa hidup akan semakin berat seiring dengan bertambahnya usia. Tetapi bukankah semua itu juga dialami oleh orang-orang yang “sehat” ketika menjadi tua? Pada waktu muda kita mungkin berbeda, ada yang bisa ini dan itu, ada yang dapat ini dan itu, dan ada yang tidak bisa dan dapat apa-apa. Tetapi ketika tua, kita semua akan semakin mirip. Kita sama-sama akan bergantung kepada orang lain. Sama-sama tidak bisa ini dan itu. Hidup kita adalah dari dependence (masa kecil) ke dependence (masa tua). Sampai akhirnya kita akan persis sama: Meninggal! Maka bagaimana kita hidup, di dalam keterbatasan masing-masing, itulah yang bernilai.
Hidup memang penuh dengan kesulitan. Maka kita berjuang - kita berusaha dengan segala cara untuk mengatasi kesulitan. Ditambah lagi manusia lapar untuk menjadi signifikan (hunger for significance). Maka dalam usaha mengatasi kesulitan, kadang kita menyusun strategi untuk mengalahkan orang lain dan tertawa puas ketika menang. Sebaliknya kadang kita merasa terpukul ketika kalah. Akhirnya kita lupa apa yang bernilai di dalam hidup kita dan apa yang sebetulnya harus kita kejar. Kita hanya sibuk memuaskan kelaparan ego kita.
Saya teringat sebuah film seri televisi “Bu Bu Jing Xin” (步步惊心) yang saya tonton dulu di Singapore. Ceritanya adalah tentang perebutan kekuasaan di antara anak-anak kaisar Kangxi. Belasan pangeran itu sejak kecil bersama-sama, main kuda bersama, berbincang bersama, sampai akhirnya mereka makin dewasa dan berebut kekuasaan. Pangeran yang ke-4, dengan segala cara, akhirnya berhasil menjadi kaisar. Saudaranya yang setia kepadanya sudah meninggal. Saudara-saudaranya yang melawan dia sudah disingkirkan dan meninggal. Satu persatu saudaranya sudah tiada. Dia sudah “menang”.
Lalu ada satu adegan dimana dia berdiri sendirian di istana sambil memandang halaman yang luas. Kemudian dengan wajah yang datar dia berkata, “mereka semua sudah tidak ada, hanya tinggal aku sendirian”. Saya kira sutradara film itu sengaja menghadirkan adegan itu dengan setting seperti itu, istana yang kosong, tidak ada lagi keramaian masa lalu, dan dia sendirian. Seakan bertanya kepada kita: “Lalu apa?”
Suatu kali nanti kita akan memandang ke belakang dan melihat semua yang pernah kita dapatkan atau menangkan dan bertanya, “Lalu apa?” Bahkan pertanyaan itu pun sudah tidak relevan ketika kita meninggal.
Ada banyak doa yang saya panjatkan di sana. Tapi, somehow, perenungan akan kematian dan kehidupan itu menyegarkan hati saya kembali. What kind of life do I want to live?
Seorang tukang kebun yang sudah lama bekerja di situ mengenali dan menyapa saya dengan ramah. Tiba-tiba dia bertanya, “Bapak tahu kalau Ibu sudah meninggal?”
Pikiran saya langsung teringat pada seorang ibu pengelola rumah doa ini. Saya mengenalnya karena dulu sering telpon untuk book tempat lalu beberapa kali bertemu dengannya di rumah doa. Walaupun tidak terlalu kenal, tapi dia selalu menyambut saya seperti sudah lama kenal. Belakangan melalui berbagai peristiwa saya jadi tahu sekelumit kisah hidupnya. Dia seorang wanita yang hidupnya penuh kesulitan tapi tegar, beriman, dan hidupnya sangat menjadi berkat bagi banyak orang. Rumah doa itu pun lahir dari kerinduan dan beban dia. Lalu akhirnya saya mendengar berita dia sakit dan akhirnya meninggal.
Maka saya menjawab “ya, saya tahu” kepada tukang kebun itu. Lalu dia menghampiri saya dan sambil berjongkok dia bercerita bahwa waktu itu si Ibu sempat bilang mau ke Singapore. Bagi dia, waktu itu, si Ibu tampaknya baik-baik saja. Tiba-tiba berita itu tiba dan dia sempat tidak percaya. Lalu dengan muka muram dia bilang, “Kita kehilangan pak… dia orang baek banget… susah cari orang baek begitu. Dia sangat sosial, dia pernah minta saya bikin daftar penduduk di kampung di atas yang perlu dibantu. Dan dia terus bantu”.
Lalu dia berkata bahwa dia senang waktu mendengar jenazah si Ibu akan dibawa pulang ke tanah air. “Dulu Ibu pernah bilang kalau dia meninggal, dia mau jenazahnya dipikul sama anak-anak rumah doa (karyawan). Saya pengen penuhin pesannya”. Kemudian dia bercerita bahwa waktu pemakaman, di kuburan sangatlah ramai. Dengan wajah berduka dan dengan lirih dia berkata, “saya nggak percaya… cepet banget… Ibu orang baek.”
Di tengah rumitnya dan berbelit-belitnya pikiran saya, percakapan singkat itu memberikan kesegaran tersendiri. Saya jadi diingatkan kembali what kind of life do I want to live?
James Dobson pernah mengumpamakan hidup seperti permainan monopoli. Waktu bermain, semua bisa serakah, berebut uang, berusaha mengalahkan lawan, bersaing membeli rumah dan tanah, sambil tertawa-tawa puas ketika menang. Tapi setelah permainan selesai, semua harus kembali masuk ke kotak. Semua yang tadinya begitu berharga, tidak ada lagi artinya. Kesenangan karena menang pun tidak ada lagi nilainya. Tapi bagaimana menjalani permainan tadi bersama orang-orang lain, itulah yang bernilai.
Sebelum berangkat ke rumah doa, saya secara acak membawa satu buku dari perpustakaan untuk dibaca di sana. Mau tahu judulnya? Our Greatest Gift: A Meditation on Dying and Caring (Henri J. M. Nouwen). Pas banget!
Nouwen melayani di komunitas penyandang cacat mental dan dia berkata ada banyak hal yang tidak bisa dilakukan mereka seperti orang di luar komunitas mereka. Ada yang tidak bisa mendengar, tidak bisa berhitung, tidak bisa membaca, ada yang tidak bisa makan atau mandi sendiri, dan ada yang sama sekali tidak bisa apa-apa. Mereka sadar bahwa hidup akan semakin berat seiring dengan bertambahnya usia. Tetapi bukankah semua itu juga dialami oleh orang-orang yang “sehat” ketika menjadi tua? Pada waktu muda kita mungkin berbeda, ada yang bisa ini dan itu, ada yang dapat ini dan itu, dan ada yang tidak bisa dan dapat apa-apa. Tetapi ketika tua, kita semua akan semakin mirip. Kita sama-sama akan bergantung kepada orang lain. Sama-sama tidak bisa ini dan itu. Hidup kita adalah dari dependence (masa kecil) ke dependence (masa tua). Sampai akhirnya kita akan persis sama: Meninggal! Maka bagaimana kita hidup, di dalam keterbatasan masing-masing, itulah yang bernilai.
Hidup memang penuh dengan kesulitan. Maka kita berjuang - kita berusaha dengan segala cara untuk mengatasi kesulitan. Ditambah lagi manusia lapar untuk menjadi signifikan (hunger for significance). Maka dalam usaha mengatasi kesulitan, kadang kita menyusun strategi untuk mengalahkan orang lain dan tertawa puas ketika menang. Sebaliknya kadang kita merasa terpukul ketika kalah. Akhirnya kita lupa apa yang bernilai di dalam hidup kita dan apa yang sebetulnya harus kita kejar. Kita hanya sibuk memuaskan kelaparan ego kita.
Saya teringat sebuah film seri televisi “Bu Bu Jing Xin” (步步惊心) yang saya tonton dulu di Singapore. Ceritanya adalah tentang perebutan kekuasaan di antara anak-anak kaisar Kangxi. Belasan pangeran itu sejak kecil bersama-sama, main kuda bersama, berbincang bersama, sampai akhirnya mereka makin dewasa dan berebut kekuasaan. Pangeran yang ke-4, dengan segala cara, akhirnya berhasil menjadi kaisar. Saudaranya yang setia kepadanya sudah meninggal. Saudara-saudaranya yang melawan dia sudah disingkirkan dan meninggal. Satu persatu saudaranya sudah tiada. Dia sudah “menang”.
Lalu ada satu adegan dimana dia berdiri sendirian di istana sambil memandang halaman yang luas. Kemudian dengan wajah yang datar dia berkata, “mereka semua sudah tidak ada, hanya tinggal aku sendirian”. Saya kira sutradara film itu sengaja menghadirkan adegan itu dengan setting seperti itu, istana yang kosong, tidak ada lagi keramaian masa lalu, dan dia sendirian. Seakan bertanya kepada kita: “Lalu apa?”
Suatu kali nanti kita akan memandang ke belakang dan melihat semua yang pernah kita dapatkan atau menangkan dan bertanya, “Lalu apa?” Bahkan pertanyaan itu pun sudah tidak relevan ketika kita meninggal.
Ada banyak doa yang saya panjatkan di sana. Tapi, somehow, perenungan akan kematian dan kehidupan itu menyegarkan hati saya kembali. What kind of life do I want to live?
Thursday, November 12, 2015
Cara Berpikir - Part 4: Don't Focus on the Symptoms, Address the Cause
Ini bagian yang keempat dalam tulisan seri “Cara Berpikir”. Saya pernah
menulis di blog ini tentang
cara berpikir:
Cara Berpikir – Part 1: Apa sih Masalahnya?
Cara Berpikir – Part 2: Benarkah Begitu?
Cara Berpikir - Part 3: Seeing Both the Forest and Tress
Semua masalah selalu ada “penyebab”nya di belakangnya. Kadang “penyebab”nya ada satu , dua, tiga, atau bahkan lebih. Setiap “penyebab” itu juga ada lagi “penyebab” di belakangnya. Demikian seterusnya… Kalau ditarik terus ke belakang…terussss ke belakang…lama-lama penyebabnya adalah dosa Adam. Artinya nariknya udah kejauhan!
Sederhananya begini, ada penyebab yang masih bisa kita rubah, ada penyebab yang tidak bisa kita rubah lagi alias harus diterima. Maka kita perlu mencari ke belakang dan bertanya terus “apa penyebabnya” sejauh ke penyebab yang masih dalam batas kemampuan kita untuk merubah.
Saya menggunakan dua istilah untuk menolong kita berpikir: “Symptoms” dan “Cause.”
“Symptoms” (gejala, keluhan, sesuatu yang muncul dan kelihatan) adalah sesuatu yang muncul ke permukaan yang diakibatkan oleh “cause” (penyebab). Ketika seorang pasien datang ke dokter, seringkali dia tidak tahu apa penyakitnya. Dia hanya akan datang dengan menceritakan symptoms yang dialami dan dokter juga menggali data dari symptoms yang diceritakan. Misalnya kalau dia demam, sudah berapa lama, sampai berapa suhunya. Lalu apakah perutnya sakit ketika ditekan, apakah lidahnya berwarna putih, apakah ada bintik merah di tangan, dst. Yang dilakukan seorang dokter adalah mencari sebanyak mungkin symptoms, lalu menebak apa cause nya. Dia tidak boleh hanya menangani symptoms; demam dikasih pereda panas, sakit perut dikasih panadol, dst. Itu dokter ngaco! Dia harus mencari cause-nya dan menyelesaikan akar masalahnya.
Kesulitannya adalah masalah selalu muncul dalam bentuk symptoms dan kecenderungan kita adalah mencoba menyelesaikan symptoms itu. Praktis. Cepat. Ada masalah ada jawaban. Tapi celakanya, kalau cause nya tidak dibereskan, maka masalah akan terus muncul. Bahkan kadang muncul dalam bentuk symptoms yang lain.
Di dalam pelayanan, berkali-kali saya melihat ini terjadi.
Jemaat mengeluh khotbah membosankan (symptoms). Kalau ditanya apa masalahnya, maka jawabannya adalah terlalu dalam, tidak praktis, terlalu “doktrinal” (analisa symptoms yang salah). Maka dicarilah tema yang lebih praktis, lalu pengkhotbah dipesankan untuk tidak membawakan yang dalam tapi yang ringan-dan-lucu saja. Padahal masalahnya bukan itu! Masalahnya justru mungkin karena pengkhotbah tidak membawakan dengan mendalam dan relevan (cause)! Justru Alkitab perlu diajarkan dengan sangat mendalam (jauh lebih mendalam dari yang kebanyakan hari ini terjadi di banyak gereja), tetapi tetap harus relevan.
Di beberapa gereja diterapkan jam kantor “9 to 5” untuk hamba Tuhan. Seringkali alasannya adalah: Jemaat aja ngantor.. ngapain aja hamba Tuhan kerjanya? Supaya yakin hamba Tuhan juga kerja, maka buat jam kantor (symptoms). Padahal di kebanyakan kasus, cause-nya adalah karena jemaat merasa tidak puas dengan pelayanan hamba Tuhan di gerejanya. Mungkin itu masalah relasi, leadership, khotbah, arah gereja, macam-macam. Kalau symptoms dibereskan dengan dibuatkan jam kantor, apakah masalah beres? Tidak, akan muncul symptoms yang lain.
Demikian pula dengan seruan beberapa orang untuk membuat program ini dan itu, untuk membuat perubahan di sini dan situ, dst. Alasannya? Jemaat perlu! Ini bagus untuk pertumbuhan gereja! Macam-macam sih alasannya. Jangan cepat-cepat! Karena kalau ditelusuri, seringkali bukan itu yang diinginkan dan dibutuhkan. Maka perlu discernment untuk melihat apa sebetulnya yang terjadi, apa penyebabnya, lalu apa yang betul-betul harus dilakukan.
Saya juga melihat ini terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Anak yang selalu menangis, ngambek, ngotot, minta untuk dibelikan mainan (symptoms), belum tentu sebetulnya menginginkan mainan itu. Mungkin yang dia inginkan adalah perhatian orang tuanya (cause). Satu-satunya yang dia bisa adalah menangis dan minta dibelikan mainan karena saat itulah, untuk sesaat, dia merasa diperhatikan. Tapi apakah masalahnya selesai? Tidak. Dia tetap butuh perhatian. Maka dia akan menangis lagi minta dibelikan mainan.
Beberapa anak menunjukkan prestasi yang buruk di sekolah. Sebagian orang tua berpikir sederhana, prestasi buruk, kurang rajin belajar, maka solusinya diberikan les tambahan. Padahal mungkin bukan itu masalahnya. Mungkin dia punya masalah dengan teman-teman atau guru di sekolah? Mungkin dia tidak cocok dengan cara belajar seperti itu? Mungkin dia tidak tertarik dengan pelajarannya?
Demikian pula dalam kehidupan kita. Ketika kita kesepian, kita memikirkan segala cara untuk mengisi kesepian dan kekosongan itu, dari mulai shopping, nonton, jalan-jalan, dugem, apa saja. Tapi ujungnya tetap sepi. What’s wrong? Karena kita fokus hanya di symptoms: kesepian. Kita tidak addressing the cause: hati kita yang membutuhkan Tuhan.
Maka pola pikir ini bisa menolong kita dalam banyak hal. Jangan melihat sesuatu hanya di permukaan. Jangan melihat masalah hanya dari symptoms-nya dan jangan fokus memberekan hanya symptoms karena tidak akan beres. Address the cause!
cara berpikir:
Cara Berpikir – Part 1: Apa sih Masalahnya?
Cara Berpikir – Part 2: Benarkah Begitu?
Cara Berpikir - Part 3: Seeing Both the Forest and Tress
Semua masalah selalu ada “penyebab”nya di belakangnya. Kadang “penyebab”nya ada satu , dua, tiga, atau bahkan lebih. Setiap “penyebab” itu juga ada lagi “penyebab” di belakangnya. Demikian seterusnya… Kalau ditarik terus ke belakang…terussss ke belakang…lama-lama penyebabnya adalah dosa Adam. Artinya nariknya udah kejauhan!
Sederhananya begini, ada penyebab yang masih bisa kita rubah, ada penyebab yang tidak bisa kita rubah lagi alias harus diterima. Maka kita perlu mencari ke belakang dan bertanya terus “apa penyebabnya” sejauh ke penyebab yang masih dalam batas kemampuan kita untuk merubah.
Saya menggunakan dua istilah untuk menolong kita berpikir: “Symptoms” dan “Cause.”
“Symptoms” (gejala, keluhan, sesuatu yang muncul dan kelihatan) adalah sesuatu yang muncul ke permukaan yang diakibatkan oleh “cause” (penyebab). Ketika seorang pasien datang ke dokter, seringkali dia tidak tahu apa penyakitnya. Dia hanya akan datang dengan menceritakan symptoms yang dialami dan dokter juga menggali data dari symptoms yang diceritakan. Misalnya kalau dia demam, sudah berapa lama, sampai berapa suhunya. Lalu apakah perutnya sakit ketika ditekan, apakah lidahnya berwarna putih, apakah ada bintik merah di tangan, dst. Yang dilakukan seorang dokter adalah mencari sebanyak mungkin symptoms, lalu menebak apa cause nya. Dia tidak boleh hanya menangani symptoms; demam dikasih pereda panas, sakit perut dikasih panadol, dst. Itu dokter ngaco! Dia harus mencari cause-nya dan menyelesaikan akar masalahnya.
Kesulitannya adalah masalah selalu muncul dalam bentuk symptoms dan kecenderungan kita adalah mencoba menyelesaikan symptoms itu. Praktis. Cepat. Ada masalah ada jawaban. Tapi celakanya, kalau cause nya tidak dibereskan, maka masalah akan terus muncul. Bahkan kadang muncul dalam bentuk symptoms yang lain.
Di dalam pelayanan, berkali-kali saya melihat ini terjadi.
Jemaat mengeluh khotbah membosankan (symptoms). Kalau ditanya apa masalahnya, maka jawabannya adalah terlalu dalam, tidak praktis, terlalu “doktrinal” (analisa symptoms yang salah). Maka dicarilah tema yang lebih praktis, lalu pengkhotbah dipesankan untuk tidak membawakan yang dalam tapi yang ringan-dan-lucu saja. Padahal masalahnya bukan itu! Masalahnya justru mungkin karena pengkhotbah tidak membawakan dengan mendalam dan relevan (cause)! Justru Alkitab perlu diajarkan dengan sangat mendalam (jauh lebih mendalam dari yang kebanyakan hari ini terjadi di banyak gereja), tetapi tetap harus relevan.
Di beberapa gereja diterapkan jam kantor “9 to 5” untuk hamba Tuhan. Seringkali alasannya adalah: Jemaat aja ngantor.. ngapain aja hamba Tuhan kerjanya? Supaya yakin hamba Tuhan juga kerja, maka buat jam kantor (symptoms). Padahal di kebanyakan kasus, cause-nya adalah karena jemaat merasa tidak puas dengan pelayanan hamba Tuhan di gerejanya. Mungkin itu masalah relasi, leadership, khotbah, arah gereja, macam-macam. Kalau symptoms dibereskan dengan dibuatkan jam kantor, apakah masalah beres? Tidak, akan muncul symptoms yang lain.
Demikian pula dengan seruan beberapa orang untuk membuat program ini dan itu, untuk membuat perubahan di sini dan situ, dst. Alasannya? Jemaat perlu! Ini bagus untuk pertumbuhan gereja! Macam-macam sih alasannya. Jangan cepat-cepat! Karena kalau ditelusuri, seringkali bukan itu yang diinginkan dan dibutuhkan. Maka perlu discernment untuk melihat apa sebetulnya yang terjadi, apa penyebabnya, lalu apa yang betul-betul harus dilakukan.
Saya juga melihat ini terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Anak yang selalu menangis, ngambek, ngotot, minta untuk dibelikan mainan (symptoms), belum tentu sebetulnya menginginkan mainan itu. Mungkin yang dia inginkan adalah perhatian orang tuanya (cause). Satu-satunya yang dia bisa adalah menangis dan minta dibelikan mainan karena saat itulah, untuk sesaat, dia merasa diperhatikan. Tapi apakah masalahnya selesai? Tidak. Dia tetap butuh perhatian. Maka dia akan menangis lagi minta dibelikan mainan.
Beberapa anak menunjukkan prestasi yang buruk di sekolah. Sebagian orang tua berpikir sederhana, prestasi buruk, kurang rajin belajar, maka solusinya diberikan les tambahan. Padahal mungkin bukan itu masalahnya. Mungkin dia punya masalah dengan teman-teman atau guru di sekolah? Mungkin dia tidak cocok dengan cara belajar seperti itu? Mungkin dia tidak tertarik dengan pelajarannya?
Demikian pula dalam kehidupan kita. Ketika kita kesepian, kita memikirkan segala cara untuk mengisi kesepian dan kekosongan itu, dari mulai shopping, nonton, jalan-jalan, dugem, apa saja. Tapi ujungnya tetap sepi. What’s wrong? Karena kita fokus hanya di symptoms: kesepian. Kita tidak addressing the cause: hati kita yang membutuhkan Tuhan.
Maka pola pikir ini bisa menolong kita dalam banyak hal. Jangan melihat sesuatu hanya di permukaan. Jangan melihat masalah hanya dari symptoms-nya dan jangan fokus memberekan hanya symptoms karena tidak akan beres. Address the cause!
Tuesday, November 10, 2015
Slow Down a Bit...
Mark Yaconelli bercerita tentang anaknya, Joseph, yang
berusia 4 tahun dan tidak pernah mau diburu-buru. Suatu hari Joseph mengumumkan
bahwa dia membentuk organisasi baru: “Slow Club”. Dia presiden dan
anggota satu-satunya. Dan dia memberikan one day free membership untuk
papanya. Setiap kali papanya ingin berjalan cepat, dia mengingatkan bahwa hari
itu dia adalah anggota Slow Club! No hurry! Papanya tidak sabar, ingin
cepat, tapi terpaksa ikut dia.
Sambil berjalan dengan perlahan… mereka melihat ada
kelinci di pinggir jalan mengamati mereka, ada kupu-kupu, bunga liar berwarna
ungu, kumbang yang besar, dan banyak hal lainnya. Mark Yaconelli baru menyadari,
ternyata ada banyak keindahan di jalan yang tidak pernah dia perhatikan selama
ini karena selalu buru-buru! Tuhan menaburkan keindahan itu dimana-mana –
diperhatikan atau tidak. Alangkah sayangnya!
Demikian pula Tuhan menabur banyak keindahan dalam
hidup kita – diperhatikan atau tidak. Tangan Tuhan sedang merenda hidup kita – diperhatikan
atau tidak. Seringkali kita tidak memperhatikannya dan kita tidak meyadari
keindahan dan rajutan tangan Tuhan dalam hidup kita. Alangkah
sayangnya!
Slow down a bit… spend some time to notice them…
and give thanks!
Saturday, October 31, 2015
Berjuang Mengerjakan yang Tuhan Berikan - Yosua 17
Berkatalah bani Yusuf kepada Yosua, demikian: "Mengapa engkau memberikan
kepadaku hanya satu bagian undian dan satu bidang tanah saja menjadi milik
pusaka, padahal aku ini bangsa yang banyak jumlahnya, karena TUHAN sampai
sekarang memberkati aku?" Jawab Yosua kepada mereka: "Kalau engkau bangsa yang
banyak jumlahnya, pergilah ke hutan dan bukalah tanah bagimu di sana di negeri
orang Feris dan orang Refaim, jika pegunungan Efraim terlalu sesak bagimu."
Kemudian berkatalah bani Yusuf: "Pegunungan itu tidak cukup bagi kami, dan semua
orang Kanaan yang diam di dataran itu mempunyai kereta besi, baik yang diam di
Bet-Sean dengan segala anak kotanya maupun yang diam di lembah Yizreel." Lalu
berkatalah Yosua kepada keturunan Yusuf, kepada suku Efraim dan suku Manasye:
"Engkau ini bangsa yang banyak jumlahnya dan mempunyai kekuatan yang besar;
tidak hanya satu bagian undian ditentukan bagimu, tetapi pegunungan itu akan
ditentukan bagimu juga, dan karena tanah itu hutan, haruslah kamu membukanya;
kamu akan memilikinya sampai kepada ujung-ujungnya, sebab kamu akan menghalau
orang Kanaan itu, sekalipun mereka mempunyai kereta besi dan sekalipun mereka
kuat."
(Yosua 17:14-18)
Yosua 14-19 berisi daftar pembagian tanah untuk suku-suku Israel. Bagian ini memang berisi daftar panjang tentang batas-batas wilayah dan nama kota-kota yang dibagi di antara mereka. Maka ketika membacanya, kita cenderung melewatinya, karena kita merasa tidak tahu apa yang dimaksudkan. Tetapi dengan demikian kita justru melewatkan salah satu bagian terpenting dari kitab Yosua.
Kitab Yosua, dari awal menceritakan bagaimana orang Israel bersiap-siap, menyeberangi sungai Yordan, mulai berperang, dan kemudian satu persatu kota dikalahkan oleh mereka. Bagian ini adalah happy ending-nya, yaitu ketika tanah itu dibagi, artinya mereka mulai mencicipi kemenangan mereka.
Tetapi ada satu hal yang penting, mereka masih harus berjuang! Ketika Yosua membagi tanah itu belum seluruhnya tanah itu sudah dikuasai oleh orang Israel. Tuhan sudah menentukan wilayah mana untuk siapa. Artinya Tuhan sendiri yang berjanji bahwa wilayah yang ditentukan itu akan menjadi milik mereka – itu pasti. Tetapi mereka harus berusaha dan taat kepada Tuhan. Sama seperti ketika mereka mulai memasuki tanah Kanaan, kalau mereka tidak mau berperang, Tuhan tidak akan berikan tanah itu kepada mereka. Kalaupun mereka berperang tapi berdosa kepada Tuhan, maka perang pun akan kalah. Mereka harus berjuang dan taat kepada Tuhan, maka janji itu akan menjadi milik mereka.
Di dalam bagian Alkitab di atas, bani Yusuf (suku Efraim dan Manasye) complain kepada Yosua: “Mengapa kami cuma diberikan satu bagian undian dan satu bidang tanah saja menjadi milik pusaka. Tidak cukup untuk kami!”
Tidak jelas apa maksud complain mereka karena jelas bahwa tanah itu sudah dibagi dan tiap suku sudah mendapat bagian. Mungkin maksudnya adalah sebagian tanah yang diberikan kepada mereka masih diduduki orang Kanaan. Yang mereka miliki baru separuh, sementara yang separuh lagi masih diduduki orang Kanaan, maka seolah-olah Yosua hanya memberikan mereka satu bagian.
Itu sebabnya Yosua kemudian menjawab mereka: “Kalau tempatmu tidak cukup, silakan pergi ke hutan dan buka tanah di negeri orang Feris dan orang Refaim”. Kalau masalahnya adalah tanah yang sekarang dimiliki tidak cukup, maka pergilah rebut tanah lain yang memang adalah bagianmu! That’s yours! Go and fight for it!
Jawaban mereka memberi tahu kita alasan sebenarnya: “semua orang Kanaan yang diam di dataran itu mempunyai kereta besi”. Mereka tidak mau lagi berperang, merasa sudah achieving something dan sekarang tinggal menikmati hasil – cape, malas, dan tidak puya keberanian untuk berperang lagi.
Maka Yosua menjawab mereka: “Engkau ini punya kekuatan yang besar. Tanah bagianmu masih luas dan Tuhan sudah berikan itu untukmu. Tetapi engkau harus berperang dan berjuang. Musuhmu harus dikalahkan – pasti bisa! Tanah harus dibuka – perlu kerja keras! Tanpa itu kamu tidak akan menerima bagian yang seharusnya yang diberikan Tuhan kepadamu.”
Sangat menyedihkan, itulah yang akhirnya terjadi. Sebagian tanah yang diberikan Tuhan kepada Israel akhirnya tidak pernah menjadi milik mereka. Mereka tidak taat kepada Tuhan, mereka diminta berjuang mengklaim tanah yang Tuhan berikan dan mengusir penduduk Kanaan tapi mereka tidak lakukan. Mereka malas, hanya puas dengan apa yang sudah mereka miliki dan hanya complain kepada Tuhan. Mereka ketakutan dan tidak percaya Tuhan akan memimpin mereka.
Saya jadi berpikir berapa banyak sebetulnya “bagian” yang Tuhan berikan kepada kita masing-masing yang tidak pernah kita perjuangkan dan usahakan? Talenta dan kesempatan? Berapa banyak sebetulnya pekerjaan Tuhan yang seharusnya bisa kita lakukan untuk kemuliaan Tuhan tapi kita lewatkan karena cape, malas, dan tidak punya keberanian? Berapa sering sebetulnya kita menyia-nyiakan hidup dengan berputar-putar melakukan dosa dan akhirnya tidak melakukan yang Tuhan mau.
Maka ada banyak yang Tuhan sudah berikan menjadi “bagian” kita tetapi mungkin tidak pernah kita klaim. Tidak pernah kita usahakan. Ada potensi yang tidak kita kembangkan. Ada pekerjaan baik yang tidak kita lakukan. Ada buah yang tidak kita hasilkan. Maka hidup kita akhirnya tidak mencapai tujuan yang seharusnya.
Paulus pernah berkata: "Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya" (Efesus 2:10). Ada pekerjaan baik yang Allah persiapkan untuk kita dan kita diciptakan untuk melakukannya. Are we doing them ALL faithfully?
Alangkah bahagianya mereka yang didapati Tuhan sebagai hamba yang baik dan setia melakukan tugasnya.
-Renungan Sabtu sore-
(Yosua 17:14-18)
Yosua 14-19 berisi daftar pembagian tanah untuk suku-suku Israel. Bagian ini memang berisi daftar panjang tentang batas-batas wilayah dan nama kota-kota yang dibagi di antara mereka. Maka ketika membacanya, kita cenderung melewatinya, karena kita merasa tidak tahu apa yang dimaksudkan. Tetapi dengan demikian kita justru melewatkan salah satu bagian terpenting dari kitab Yosua.
Kitab Yosua, dari awal menceritakan bagaimana orang Israel bersiap-siap, menyeberangi sungai Yordan, mulai berperang, dan kemudian satu persatu kota dikalahkan oleh mereka. Bagian ini adalah happy ending-nya, yaitu ketika tanah itu dibagi, artinya mereka mulai mencicipi kemenangan mereka.
Tetapi ada satu hal yang penting, mereka masih harus berjuang! Ketika Yosua membagi tanah itu belum seluruhnya tanah itu sudah dikuasai oleh orang Israel. Tuhan sudah menentukan wilayah mana untuk siapa. Artinya Tuhan sendiri yang berjanji bahwa wilayah yang ditentukan itu akan menjadi milik mereka – itu pasti. Tetapi mereka harus berusaha dan taat kepada Tuhan. Sama seperti ketika mereka mulai memasuki tanah Kanaan, kalau mereka tidak mau berperang, Tuhan tidak akan berikan tanah itu kepada mereka. Kalaupun mereka berperang tapi berdosa kepada Tuhan, maka perang pun akan kalah. Mereka harus berjuang dan taat kepada Tuhan, maka janji itu akan menjadi milik mereka.
Di dalam bagian Alkitab di atas, bani Yusuf (suku Efraim dan Manasye) complain kepada Yosua: “Mengapa kami cuma diberikan satu bagian undian dan satu bidang tanah saja menjadi milik pusaka. Tidak cukup untuk kami!”
Tidak jelas apa maksud complain mereka karena jelas bahwa tanah itu sudah dibagi dan tiap suku sudah mendapat bagian. Mungkin maksudnya adalah sebagian tanah yang diberikan kepada mereka masih diduduki orang Kanaan. Yang mereka miliki baru separuh, sementara yang separuh lagi masih diduduki orang Kanaan, maka seolah-olah Yosua hanya memberikan mereka satu bagian.
Itu sebabnya Yosua kemudian menjawab mereka: “Kalau tempatmu tidak cukup, silakan pergi ke hutan dan buka tanah di negeri orang Feris dan orang Refaim”. Kalau masalahnya adalah tanah yang sekarang dimiliki tidak cukup, maka pergilah rebut tanah lain yang memang adalah bagianmu! That’s yours! Go and fight for it!
Jawaban mereka memberi tahu kita alasan sebenarnya: “semua orang Kanaan yang diam di dataran itu mempunyai kereta besi”. Mereka tidak mau lagi berperang, merasa sudah achieving something dan sekarang tinggal menikmati hasil – cape, malas, dan tidak puya keberanian untuk berperang lagi.
Maka Yosua menjawab mereka: “Engkau ini punya kekuatan yang besar. Tanah bagianmu masih luas dan Tuhan sudah berikan itu untukmu. Tetapi engkau harus berperang dan berjuang. Musuhmu harus dikalahkan – pasti bisa! Tanah harus dibuka – perlu kerja keras! Tanpa itu kamu tidak akan menerima bagian yang seharusnya yang diberikan Tuhan kepadamu.”
Sangat menyedihkan, itulah yang akhirnya terjadi. Sebagian tanah yang diberikan Tuhan kepada Israel akhirnya tidak pernah menjadi milik mereka. Mereka tidak taat kepada Tuhan, mereka diminta berjuang mengklaim tanah yang Tuhan berikan dan mengusir penduduk Kanaan tapi mereka tidak lakukan. Mereka malas, hanya puas dengan apa yang sudah mereka miliki dan hanya complain kepada Tuhan. Mereka ketakutan dan tidak percaya Tuhan akan memimpin mereka.
Saya jadi berpikir berapa banyak sebetulnya “bagian” yang Tuhan berikan kepada kita masing-masing yang tidak pernah kita perjuangkan dan usahakan? Talenta dan kesempatan? Berapa banyak sebetulnya pekerjaan Tuhan yang seharusnya bisa kita lakukan untuk kemuliaan Tuhan tapi kita lewatkan karena cape, malas, dan tidak punya keberanian? Berapa sering sebetulnya kita menyia-nyiakan hidup dengan berputar-putar melakukan dosa dan akhirnya tidak melakukan yang Tuhan mau.
Maka ada banyak yang Tuhan sudah berikan menjadi “bagian” kita tetapi mungkin tidak pernah kita klaim. Tidak pernah kita usahakan. Ada potensi yang tidak kita kembangkan. Ada pekerjaan baik yang tidak kita lakukan. Ada buah yang tidak kita hasilkan. Maka hidup kita akhirnya tidak mencapai tujuan yang seharusnya.
Paulus pernah berkata: "Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya" (Efesus 2:10). Ada pekerjaan baik yang Allah persiapkan untuk kita dan kita diciptakan untuk melakukannya. Are we doing them ALL faithfully?
Alangkah bahagianya mereka yang didapati Tuhan sebagai hamba yang baik dan setia melakukan tugasnya.
-Renungan Sabtu sore-
Monday, October 19, 2015
Bocoran: Di Sekolah Teologi Belajar Apa sih?
Hampir semua jemaat di gereja Injili tahu ada yang namanya seminari/sekolah
teologi. Hampir semua juga tahu bahwa pendetanya itu lulusan seminari/sekolah
teologi. Tapi ternyata hampir semua sangat banyak jemaat yang
tidak pernah kebayang tahu apa sih yang dipelajari di sana?
Beberapa kali saya pernah bertemu jemaat yang berpikir bahwa di sekolah teologi kami hanya belajar Alkitab berurutan dari Kejadian sampai Wahyu. Maka saya pernah ditanya, “udah sampai kitab apa?” Ada juga yang berpikir bahwa di sekolah teologi kami belajar membuat yang mudah menjadi sulit. Maka pesannya, “jangan belajar ketinggian, nanti jemaat nggak ngerti.”
Saya sangat concern dengan ini.
Pendidikan teologi seharusnya adalah untuk semua orang Kristen; dilakukan di gereja untuk semua jemaat! Semua orang Kristen seharusnya belajar tentang imannya, tentang dunia tempat dia hidup, dan bagaimana melayani di dunia ini.
Tetapi, seriusnya pendidikan teologi membuat mereka mereka yang terpanggil menjadi pelayan Firman, sakramen dan doa di gereja (hamba Tuhan) harus belajar dengan sangat intens. Itulah sebabnya muncul “pelatnas” yaitu sekolah teologi.
Tidak ada yang salah dengan itu. Tetapi sayangnya, akhirnya pendidikan teologi dipisahkan dari kehidupan jemaat, dan orang Kristen yang seharusnya belajar teologi jadi tidak belajar dan bahkan tidak mengerti apa sih yang dipelajari di “pelatnas”.
Ok, cukup keluh kesahnya. Saya ingin kasih “bocoran” sedikit apa sih yang dipelajari di sekolah teologi di program dasar seperti Sarjana Theologi (S.Th) atau Magister Divinitas (M.Div). Setiap seminari/sekolah teologi tentu punya kurikulum yang berbeda, tapi kurikulum utamanya sebenarnya mirip. Program S.Th dan M.Div adalah first degree dalam sekolah teologi, maka sifatnya menyeluruh. Bahasa kerennya rounded – artinya mempelajari berbagai aspek dan hal yang perlu sebagai persiapan menjadi hamba Tuhan. Pada waktu studi postgraduate barulah studinya spesifik.
Pada umumnya mata kuliah yang dipelajari di seminari/sekolah teologi di Indonesia adalah:
Studi Perjanjian Lama dan Studi Perjanjian Baru (ya betul, kami belajar Alkitab). Mempelajari dunia Alkitab (dunia sosial, politik, ekonomi, di zaman itu) dan mengenal 66 kitab di dalam Alkitab (penulisannya, latar belakangnya, dan tema-tema di dalamnya). Totalnya bisa 6 kuliah atau lebih untuk Studi PL dan juga PB.
Saya beri contoh. Mata kuliah Studi PB tentang Injil akan membahas: Latar belakang PB, survey mengenai sejarah orang Yahudi dari masa pemberontakan Makabe (167 SM) sampai hancurnya negara Yahudi (135 M), membahas juga mengenai perkembangan agama Yahudi di zaman itu, bait Allah, pemimpin agama, kitab suci, lalu literatur kuno di zaman itu. Kemudian juga teologi dari Injil –unik untuk setiap Injil- akan dibahas. Kemudian studi kritis terhadap Injil, yaitu berbagai teori yang dikeluarkan para ahli tentang Injil, juga diperkenalkan. Terakhir, beberapa bagian dari Injil akan dipelajari secara mendalam.
Doktrin (atau biasa dikenal sebagai Teologi Sistematika). Mempelajari berbagai macam doktrin: Alkitab, Manusia dan Dosa, Keselamatan, Gereja, Akhir Zaman, Allah, Kristus, Roh Kudus. Totalnya bisa 4 kuliah atau lebih.
Bahasa Yunani dan Bahasa Ibrani – Totalnya masing-masing biasanya 2 kuliah (jadi 4 kuliah).
Hermeneutika – Belajar tentang prinsip penafsiran Alkitab. Mengerti kesulitannya dan berbagai teori di baliknya.
Eksegese Perjanjian Lama dan Eksegese Perjanjian Baru – Belajar bagaimana menggali Alkitab, setiap genre (jenis sastra) membutuhkan cara yang berbeda. Belajar bagaimana menganalisa struktur kalimat, analisa grammar, analisa kata, dst. Lalu mengenal teks Alkitab (misalnya perbedaan manuskrip yang dipakai) dan bagaimana menggunakan tools yang ada (lexicon, dictionary, grammatical analysis, dll). Masing-masing biasanya 1 kuliah.
Teologi Perjanjian Lama dan Teologi Perjanjian Baru (Teologi Biblika) – Belajar tema-tema teologis yang bukan dilihat per kitab tapi dari keseluruhan Alkitab, misalnya apa yang diajarkan Alkitab tentang Mesias, Anak Allah, Penebusan, Keadilan Allah, dst. Masing-masing biasanya 1 kuliah.
Sejarah Gereja – Dari mulai gereja mula-mula, penyebarannya, faktor-faktor di sekitarnya (politik, ekonomi, dll), sampai ke zaman gereja modern. Total biasanya 2 kuliah.
Homiletika – Belajar bagaimana berkhotbah.
Etika – Sederhananya adalah belajar prinsip membedakan right and wrong dan bagaimana mengambil keputusan, ditinjau dari sisi filsafat dan juga dari Alkitab. Bisa 1 atau 2 kuliah.
Lalu tiap seminari/sekolah teologi juga akan memasukkan mata kuliah lain seperti: Sejarah Teologi (bagaimana perkembangan pemikiran teologi di sepanjang zaman), Formasi pertumbuhan rohani (konsep pertumbuhan dan bagaimana seseorang bertumbuh), Kepemimpinan dan Manajemen gereja, Konseling pastoral, Misiologi (teori tentang misi), Perbandingan agama, Pendidikan Kristen, Musik gerejawi, Apologetika, Filsafat, dll. Masih banyak macam! Lagi-lagi, setiap seminari/sekolah teologi akan memasukkan mata kuliah yang berbeda.
Kira-kira seperti itu.
Maka bisa dibayangkan pendidikan teologi undergraduate, “pelatnas”nya hamba Tuhan, memang berusaha untuk rounded. Dari mulai yang fondasi seperti Alkitab dan doktrin, lalu ilmu lain yang berkaitan seperti sejarah, etika, dan filsafat, kemudian ketrampilan pelayanan seperti berkhotbah, pastoral konseling, kepemimpinan, dll.
Tidak semua mata kuliah bisa dijejelin karena ada batasan kredit (SKS). Tapi dengan apa yang dipelajari, dia tahu cukup banyak dari berbagai sisi, diperlengkapi dengan ketrampilan yang perlu, dan diharapkan punya modal untuk masuk ke dalam pelayanan dan mengembangkan pemikiran teologinya dalam pelayanan.
Mudah2an sedikit memperjelas :-)
Beberapa kali saya pernah bertemu jemaat yang berpikir bahwa di sekolah teologi kami hanya belajar Alkitab berurutan dari Kejadian sampai Wahyu. Maka saya pernah ditanya, “udah sampai kitab apa?” Ada juga yang berpikir bahwa di sekolah teologi kami belajar membuat yang mudah menjadi sulit. Maka pesannya, “jangan belajar ketinggian, nanti jemaat nggak ngerti.”
Saya sangat concern dengan ini.
Pendidikan teologi seharusnya adalah untuk semua orang Kristen; dilakukan di gereja untuk semua jemaat! Semua orang Kristen seharusnya belajar tentang imannya, tentang dunia tempat dia hidup, dan bagaimana melayani di dunia ini.
Tetapi, seriusnya pendidikan teologi membuat mereka mereka yang terpanggil menjadi pelayan Firman, sakramen dan doa di gereja (hamba Tuhan) harus belajar dengan sangat intens. Itulah sebabnya muncul “pelatnas” yaitu sekolah teologi.
Tidak ada yang salah dengan itu. Tetapi sayangnya, akhirnya pendidikan teologi dipisahkan dari kehidupan jemaat, dan orang Kristen yang seharusnya belajar teologi jadi tidak belajar dan bahkan tidak mengerti apa sih yang dipelajari di “pelatnas”.
Ok, cukup keluh kesahnya. Saya ingin kasih “bocoran” sedikit apa sih yang dipelajari di sekolah teologi di program dasar seperti Sarjana Theologi (S.Th) atau Magister Divinitas (M.Div). Setiap seminari/sekolah teologi tentu punya kurikulum yang berbeda, tapi kurikulum utamanya sebenarnya mirip. Program S.Th dan M.Div adalah first degree dalam sekolah teologi, maka sifatnya menyeluruh. Bahasa kerennya rounded – artinya mempelajari berbagai aspek dan hal yang perlu sebagai persiapan menjadi hamba Tuhan. Pada waktu studi postgraduate barulah studinya spesifik.
Pada umumnya mata kuliah yang dipelajari di seminari/sekolah teologi di Indonesia adalah:
Studi Perjanjian Lama dan Studi Perjanjian Baru (ya betul, kami belajar Alkitab). Mempelajari dunia Alkitab (dunia sosial, politik, ekonomi, di zaman itu) dan mengenal 66 kitab di dalam Alkitab (penulisannya, latar belakangnya, dan tema-tema di dalamnya). Totalnya bisa 6 kuliah atau lebih untuk Studi PL dan juga PB.
Saya beri contoh. Mata kuliah Studi PB tentang Injil akan membahas: Latar belakang PB, survey mengenai sejarah orang Yahudi dari masa pemberontakan Makabe (167 SM) sampai hancurnya negara Yahudi (135 M), membahas juga mengenai perkembangan agama Yahudi di zaman itu, bait Allah, pemimpin agama, kitab suci, lalu literatur kuno di zaman itu. Kemudian juga teologi dari Injil –unik untuk setiap Injil- akan dibahas. Kemudian studi kritis terhadap Injil, yaitu berbagai teori yang dikeluarkan para ahli tentang Injil, juga diperkenalkan. Terakhir, beberapa bagian dari Injil akan dipelajari secara mendalam.
Doktrin (atau biasa dikenal sebagai Teologi Sistematika). Mempelajari berbagai macam doktrin: Alkitab, Manusia dan Dosa, Keselamatan, Gereja, Akhir Zaman, Allah, Kristus, Roh Kudus. Totalnya bisa 4 kuliah atau lebih.
Bahasa Yunani dan Bahasa Ibrani – Totalnya masing-masing biasanya 2 kuliah (jadi 4 kuliah).
Hermeneutika – Belajar tentang prinsip penafsiran Alkitab. Mengerti kesulitannya dan berbagai teori di baliknya.
Eksegese Perjanjian Lama dan Eksegese Perjanjian Baru – Belajar bagaimana menggali Alkitab, setiap genre (jenis sastra) membutuhkan cara yang berbeda. Belajar bagaimana menganalisa struktur kalimat, analisa grammar, analisa kata, dst. Lalu mengenal teks Alkitab (misalnya perbedaan manuskrip yang dipakai) dan bagaimana menggunakan tools yang ada (lexicon, dictionary, grammatical analysis, dll). Masing-masing biasanya 1 kuliah.
Teologi Perjanjian Lama dan Teologi Perjanjian Baru (Teologi Biblika) – Belajar tema-tema teologis yang bukan dilihat per kitab tapi dari keseluruhan Alkitab, misalnya apa yang diajarkan Alkitab tentang Mesias, Anak Allah, Penebusan, Keadilan Allah, dst. Masing-masing biasanya 1 kuliah.
Sejarah Gereja – Dari mulai gereja mula-mula, penyebarannya, faktor-faktor di sekitarnya (politik, ekonomi, dll), sampai ke zaman gereja modern. Total biasanya 2 kuliah.
Homiletika – Belajar bagaimana berkhotbah.
Etika – Sederhananya adalah belajar prinsip membedakan right and wrong dan bagaimana mengambil keputusan, ditinjau dari sisi filsafat dan juga dari Alkitab. Bisa 1 atau 2 kuliah.
Lalu tiap seminari/sekolah teologi juga akan memasukkan mata kuliah lain seperti: Sejarah Teologi (bagaimana perkembangan pemikiran teologi di sepanjang zaman), Formasi pertumbuhan rohani (konsep pertumbuhan dan bagaimana seseorang bertumbuh), Kepemimpinan dan Manajemen gereja, Konseling pastoral, Misiologi (teori tentang misi), Perbandingan agama, Pendidikan Kristen, Musik gerejawi, Apologetika, Filsafat, dll. Masih banyak macam! Lagi-lagi, setiap seminari/sekolah teologi akan memasukkan mata kuliah yang berbeda.
Kira-kira seperti itu.
Maka bisa dibayangkan pendidikan teologi undergraduate, “pelatnas”nya hamba Tuhan, memang berusaha untuk rounded. Dari mulai yang fondasi seperti Alkitab dan doktrin, lalu ilmu lain yang berkaitan seperti sejarah, etika, dan filsafat, kemudian ketrampilan pelayanan seperti berkhotbah, pastoral konseling, kepemimpinan, dll.
Tidak semua mata kuliah bisa dijejelin karena ada batasan kredit (SKS). Tapi dengan apa yang dipelajari, dia tahu cukup banyak dari berbagai sisi, diperlengkapi dengan ketrampilan yang perlu, dan diharapkan punya modal untuk masuk ke dalam pelayanan dan mengembangkan pemikiran teologinya dalam pelayanan.
Mudah2an sedikit memperjelas :-)
Tuesday, October 06, 2015
TTC Cultural Night - 2015
Setiap tahun TTC mengadakan Cultural Night. Mahasiswa didorong memakai pakaian khas negaranya. Lalu mahasiswa dari setiap negara diminta menampilkan satu acara yang berkaitan dengan kebudayaannya dan diminta menyediakan makanan khas negaranya - and this is the best part.
Saya terlalu sibuk makan dan sedang agak malas foto sehingga tidak banyak foto yang diambil. Kali ini Indonesia menampilkan tari kecak dan menyediakan nasi tumpeng :-)
Saturday, October 03, 2015
A Shepherd Looks at Psalm 23 – W. Phillip Keller
Belasan tahun yang lalu (lama banget!) saya membaca buku ini, sangat
diberkati olehnya, bahkan beberapa kali menggunakannya untuk bahan khotbah.
Buku ini sangat unik karena latar belakang penulisnya yang unik. W. Phillip Keller pernah tinggal lama di Afrika Timur, di lingkungan para gembala yang kebudayaannya sangat mirip dengan mereka yang di Timur Tengah. Dia sendiri bahkan pernah menjadi gembala selama 8 tahun. Dia tahu seperti apa kesulitan, pergumulan, perasaan, berhubungan dengan domba sebagai gembala. Kemudian, dia juga menjadi “gembala” dari sebuah gereja dan dia mengalami arti menjadi “gembala” bagi umat Tuhan.
Buku ini ditulis dengan bahasa yang sederhana tetapi sangat menarik. Keller tidak mencoba merohanikan relasi gembala dan domba. Di satu sisi, dia mencoba menafsirkan Mazmur 23 dari sudut pandang gembala/domba sungguhan. Tapi, di sisi lain, dia tidak kebablasan dan membuat Mazmur 23 kehilangan maksud aslinya.
Susunan buku ini sederhana, dibagi dalam 12 bab, yang masing-masing menjelaskan arti 1 kalimat dari Mazmur 23. Ini bukan buku tafsiran – jauh dari itu. Ini juga bukan buku eksposisi. Ini buku devotional – mengajak kita merenung, menguatkan iman kita, dan membawa kita berlutut. Untuk tujuan itu, Keller sangat berhasil. Dia membawa kita melihat betapa terlibatnya Allah dalam hidup kita sebagai gembala dan betapa tidak berdayanya kita sebagai domba.
Saya mencoba mencari paragraf yang bisa saya cuplik dan cantumkan disini untuk memberi gambaran tentang bagaimana gaya tulisan Keller. Tidak berhasil - kecuali cuplikannya panjang. Dia menulis dengan sangat mengalir dan mencuplik sepotong tulisannya justru bisa membuat kita salah mengerti tentang dia. Di bawah adalah cuplikan penjelasannya tentang kalimat "I shall not want..." Mudah-mudahan cukup menggambarkan.
When all is said and done, the welfare of any flock is entirely dependent upon the management afforded them by their owner.
The tenant sheepman on the farm next to my first ranch was the most indifferent manager I had ever met. He was not concerned about the condition of his sheep. His land was neglected. He gave little or no time to his flock, letting them pretty well forage for themselves as best they could, both summer and winter. They fell prey to dogs, cougars, and rustlers.
Every year these poor creatures were forced to gnaw away at bare brown fields and impoverished pastures. Every winter there was a shortage of nourishing hay and wholesome grain to feed the hungry ewes. Shelter to safeguard and protect the suffering sheep from storms and blizzards was scanty and inadequate.
They had only polluted, muddy water to drink. There had been a lack of salt and other trace minerals needed to offset their sickly pastures. In their thin, weak, and diseased condition these poor sheep were a pathetic sight.
In my mind’s eye I can still see them standing at the fence, huddled sadly in little knots, staring wistfully through the wires at the rich pastures on the other side.
To all their distress, the heartless, selfish owner seemed utterly callous and indifferent. He simply did not care. What if his sheep did want green grass, fresh water, shade, safety, or shelter from the storms? What if they did want relief from wounds, bruises, disease, and parasites?
He ignored their needs — he couldn’t care less. Why should he — they were just sheep — fit only for the slaughterhouse.
I never looked at those poor sheep without an acute awareness that this was a precise picture of those wretched old taskmasters, Sin and Satan, on their derelict ranch — scoffing at the plight of those within their power.
As I have moved among men and women from all strata of society as both a lay pastor and as a scientist, I have become increasinglyaware of one thing. It is the boss — the manager — the
Master in people’s lives who makes the difference in their destiny.
I have known some of the wealthiest men on this continent intimately — also some of the leading scientists and professional people.
Despite their dazzling outward show of success, despite their affluence and their prestige, they remained poor in spirit, shriveled in soul, and unhappy in life. They were joyless people held in the iron grip and heartless ownership of the wrong master.
By way of contrast, I have numerous friends among relatively poor people — people who have known hardship, disaster, and the struggle to stay afloat financially. But because they belong to Christ and have recognized Him as Lord and Master of their lives, their owner and manager, they are permeated by a deep, quiet, settled peace that is beautiful to behold.
It is indeed a delight to visit some of these humble homes where men and women are rich in spirit, generous in heart, and large of soul. They radiate a serene confidence and quiet joy that surmounts all the tragedies of their time.
They are under God’s care and they know it. They have entrusted themselves to Christ’s control and found contentment. Contentment should be the hallmark of the man or woman who has put his or her affairs in the hands of God. This especially applies in our affluent age. But the outstanding paradox is the intense fever of discontent among people who are ever speaking of security.
Despite an unparalleled wealth in material assets, we are outstandingly insecure and unsure of ourselves and well nigh bankrupt in spiritual values.
Always men are searching for safety beyond themselves. They are restless, unsettled, covetous, greedy for more — wanting this and that, yet never really satisfied in spirit.
By contrast the simple Christian, the humble person, the Shepherd’s sheep, can stand up proudly and boast. “The Lord is my shepherd — I shall not be in want.”
Gambar sampul di atas berasal dari cetakan tahun 2007 dan waktu itu buku ini sudah terjual lebih dari 2 juta eksemplar. Seingat saya buku ini juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Highly recommended!
Buku ini sangat unik karena latar belakang penulisnya yang unik. W. Phillip Keller pernah tinggal lama di Afrika Timur, di lingkungan para gembala yang kebudayaannya sangat mirip dengan mereka yang di Timur Tengah. Dia sendiri bahkan pernah menjadi gembala selama 8 tahun. Dia tahu seperti apa kesulitan, pergumulan, perasaan, berhubungan dengan domba sebagai gembala. Kemudian, dia juga menjadi “gembala” dari sebuah gereja dan dia mengalami arti menjadi “gembala” bagi umat Tuhan.
Buku ini ditulis dengan bahasa yang sederhana tetapi sangat menarik. Keller tidak mencoba merohanikan relasi gembala dan domba. Di satu sisi, dia mencoba menafsirkan Mazmur 23 dari sudut pandang gembala/domba sungguhan. Tapi, di sisi lain, dia tidak kebablasan dan membuat Mazmur 23 kehilangan maksud aslinya.
Susunan buku ini sederhana, dibagi dalam 12 bab, yang masing-masing menjelaskan arti 1 kalimat dari Mazmur 23. Ini bukan buku tafsiran – jauh dari itu. Ini juga bukan buku eksposisi. Ini buku devotional – mengajak kita merenung, menguatkan iman kita, dan membawa kita berlutut. Untuk tujuan itu, Keller sangat berhasil. Dia membawa kita melihat betapa terlibatnya Allah dalam hidup kita sebagai gembala dan betapa tidak berdayanya kita sebagai domba.
Saya mencoba mencari paragraf yang bisa saya cuplik dan cantumkan disini untuk memberi gambaran tentang bagaimana gaya tulisan Keller. Tidak berhasil - kecuali cuplikannya panjang. Dia menulis dengan sangat mengalir dan mencuplik sepotong tulisannya justru bisa membuat kita salah mengerti tentang dia. Di bawah adalah cuplikan penjelasannya tentang kalimat "I shall not want..." Mudah-mudahan cukup menggambarkan.
When all is said and done, the welfare of any flock is entirely dependent upon the management afforded them by their owner.
The tenant sheepman on the farm next to my first ranch was the most indifferent manager I had ever met. He was not concerned about the condition of his sheep. His land was neglected. He gave little or no time to his flock, letting them pretty well forage for themselves as best they could, both summer and winter. They fell prey to dogs, cougars, and rustlers.
Every year these poor creatures were forced to gnaw away at bare brown fields and impoverished pastures. Every winter there was a shortage of nourishing hay and wholesome grain to feed the hungry ewes. Shelter to safeguard and protect the suffering sheep from storms and blizzards was scanty and inadequate.
They had only polluted, muddy water to drink. There had been a lack of salt and other trace minerals needed to offset their sickly pastures. In their thin, weak, and diseased condition these poor sheep were a pathetic sight.
In my mind’s eye I can still see them standing at the fence, huddled sadly in little knots, staring wistfully through the wires at the rich pastures on the other side.
To all their distress, the heartless, selfish owner seemed utterly callous and indifferent. He simply did not care. What if his sheep did want green grass, fresh water, shade, safety, or shelter from the storms? What if they did want relief from wounds, bruises, disease, and parasites?
He ignored their needs — he couldn’t care less. Why should he — they were just sheep — fit only for the slaughterhouse.
I never looked at those poor sheep without an acute awareness that this was a precise picture of those wretched old taskmasters, Sin and Satan, on their derelict ranch — scoffing at the plight of those within their power.
As I have moved among men and women from all strata of society as both a lay pastor and as a scientist, I have become increasinglyaware of one thing. It is the boss — the manager — the
Master in people’s lives who makes the difference in their destiny.
I have known some of the wealthiest men on this continent intimately — also some of the leading scientists and professional people.
Despite their dazzling outward show of success, despite their affluence and their prestige, they remained poor in spirit, shriveled in soul, and unhappy in life. They were joyless people held in the iron grip and heartless ownership of the wrong master.
By way of contrast, I have numerous friends among relatively poor people — people who have known hardship, disaster, and the struggle to stay afloat financially. But because they belong to Christ and have recognized Him as Lord and Master of their lives, their owner and manager, they are permeated by a deep, quiet, settled peace that is beautiful to behold.
It is indeed a delight to visit some of these humble homes where men and women are rich in spirit, generous in heart, and large of soul. They radiate a serene confidence and quiet joy that surmounts all the tragedies of their time.
They are under God’s care and they know it. They have entrusted themselves to Christ’s control and found contentment. Contentment should be the hallmark of the man or woman who has put his or her affairs in the hands of God. This especially applies in our affluent age. But the outstanding paradox is the intense fever of discontent among people who are ever speaking of security.
Despite an unparalleled wealth in material assets, we are outstandingly insecure and unsure of ourselves and well nigh bankrupt in spiritual values.
Always men are searching for safety beyond themselves. They are restless, unsettled, covetous, greedy for more — wanting this and that, yet never really satisfied in spirit.
By contrast the simple Christian, the humble person, the Shepherd’s sheep, can stand up proudly and boast. “The Lord is my shepherd — I shall not be in want.”
Gambar sampul di atas berasal dari cetakan tahun 2007 dan waktu itu buku ini sudah terjual lebih dari 2 juta eksemplar. Seingat saya buku ini juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Highly recommended!
Tuesday, September 22, 2015
Sacred Dating - GKY Singapore 19 September 2015
Ini adalah rekaman seminar "Sacred Dating" di Youth Fellowship dan Young Adult Fellowship GKY Singapore, Sabtu 19 September 2015.
Warning: Sangat panjang! :-) Apalagi ditambah Q&A di belakang.
Sesi 1: At least, dengarkan sampai 1.12.40.
Sesi 2: At least, dengarkan sampai 1.15.10.
Sacred Dating Part 1 of 2
Sacred Dating Part 2 of 2
Friday, August 21, 2015
My Dissertation Writing - 4
Sudah hampir 2 tahun 2 bulan saya studi di program D.Th ini.
Penulisan disertasi berjalan sangat lambat, jauh lebih lambat dari yang saya harapkan. Sistem studi mandiri seperti ini (tanpa kelas, tanpa target resmi dari sekolah, tanpa dikejar supervisor) menuntut disiplin pribadi yang sangat kuat – dan sayangnya saya sangat tidak kuat :-(
Saya menetapkan sendiri target kapan harus selesai sampai mana; dan menurut target itu saya sudah ketinggalan sekitar 3-4 bulan. #tariknapaspanjang
Hari ini saya baru bertemu dengan supervisor saya mendiskusikan Bab 3 dari disertasi saya. Di dalam Bab 3 ini saya membahas argumentasi Paulus dalam surat Galatia dan bagaimana konsep ethics of Spirit berfungsi di dalamnya. Seperti biasa, setelah bertemu supervisor, semangat saya kembali tinggi. Dia selalu encouraging dan bisa menemukan yang baik dari tulisan saya yang kurang baik.
Cukup banyak revisi yang harus saya lakukan. Saya berharap bisa menyelesaikan revisi Bab 3 ini dan kembali menyerahkannya kepada dia sekitar 3-4 minggu lagi.
Berita baiknya adalah disertasi saya makin jelas arahnya. Saya makin melihat “titik terang di ujung lorong gelap.” Tetapi, perjalanan ke sana masih sangat panjang. Butuh tenaga ekstra dan konsentrasi supeerrr ekstra. Mungkin di waktu ke depan saya harus lebih “mengisolasi” diri dibanding sebelumnya.
Di tengah seringnya muncul rasa frustasi, saya mengingatkan diri bahwa saya studi karena Tuhan dan untuk Tuhan. So help me God.
Penulisan disertasi berjalan sangat lambat, jauh lebih lambat dari yang saya harapkan. Sistem studi mandiri seperti ini (tanpa kelas, tanpa target resmi dari sekolah, tanpa dikejar supervisor) menuntut disiplin pribadi yang sangat kuat – dan sayangnya saya sangat tidak kuat :-(
Saya menetapkan sendiri target kapan harus selesai sampai mana; dan menurut target itu saya sudah ketinggalan sekitar 3-4 bulan. #tariknapaspanjang
Hari ini saya baru bertemu dengan supervisor saya mendiskusikan Bab 3 dari disertasi saya. Di dalam Bab 3 ini saya membahas argumentasi Paulus dalam surat Galatia dan bagaimana konsep ethics of Spirit berfungsi di dalamnya. Seperti biasa, setelah bertemu supervisor, semangat saya kembali tinggi. Dia selalu encouraging dan bisa menemukan yang baik dari tulisan saya yang kurang baik.
Cukup banyak revisi yang harus saya lakukan. Saya berharap bisa menyelesaikan revisi Bab 3 ini dan kembali menyerahkannya kepada dia sekitar 3-4 minggu lagi.
Berita baiknya adalah disertasi saya makin jelas arahnya. Saya makin melihat “titik terang di ujung lorong gelap.” Tetapi, perjalanan ke sana masih sangat panjang. Butuh tenaga ekstra dan konsentrasi supeerrr ekstra. Mungkin di waktu ke depan saya harus lebih “mengisolasi” diri dibanding sebelumnya.
Di tengah seringnya muncul rasa frustasi, saya mengingatkan diri bahwa saya studi karena Tuhan dan untuk Tuhan. So help me God.
Monday, August 10, 2015
Fotografer Dalam Ibadah
Sangat sering di dalam ibadah (apalagi yang sifatnya “khusus” seperti Natal,
Paskah, HUT gereja, dll), atau di dalam session waktu Retreat, ada fotografer.
Saya tahu bahwa kadang kita ingin ada dokumentasi. Kita ingin mengabadikan suasana events yang khusus. Foto-foto itu kita pikir mungkin akan berguna di masa depan, untuk mengenang apa yang terjadi di gereja kita, seperti apa suasananya dulu, siapa saja yang datang, siapa yang pernah terlibat, dan lain sebagainya.
Tetapi jarang sekali kita berpikir kerugian adanya fotografer di dalam ibadah. Juga hampir tidak pernah kita menimbang seberapa penting foto-foto itu dibanding dengan kerugian yang ditimbulkan.
Mari kita pikirkan ulang beberapa hal:
1. Apakah keberadaan fotografer mengganggu jemaat yang beribadah?
Biasanya fotografer akan berjalan kesana kemari, baik di depan mimbar, kadang bahkan di belakang mimbar menghadap jemaat (!), kadang di baris samping. Kalaupun dia tidak berjalan-jalan, atau bahkan sekalipun dia hanya menggunakan handphone, tangannya yang terangkat jelas mengganggu jemaat di samping dan belakangnya. Bagaimanapun akan sangat mencolok bahwa dia adalah satu-satunya orang di situ yang aktivitasnya beda dengan jemaat lain. Sementara yang lain menyanyi dan mendengar khotbah, dia memegang kamera, mengarahkan kamera, dan memeriksa hasil foto di kamera. Lalu jemaat juga akan mendengar bunyi langkah dia (apalagi waktu berdoa) dan melihat lampu kilat yang menyala berkali-kali. Sulit untuk berkata dia tidak mengganggu.
2. Masih terkait dengan point di atas, sebagian orang menjadi tidak tenang ketika sadar bahwa dia bisa difoto kapan saja. Bagaimana dia bisa sepenuh hati memuji Tuhan ketika dia sadar kamera sedang diarahkan kepadanya (apalagi kalau dia tipe yang sangat sadar kamera). Ditambah lagi ketika dia sedang berdoa, dia mendengar bunyi shutter kamera sangat dekat di depannya. Lalu sambil mengintip dia melihat sang fotografer baru saja berjalan meninggalkan dia! Wah… saya difoto! Bagaimana ya tadi ekspresi saya? :-(
3. Mungkin ini yang terpenting, pernahkah kita berpikir tentang si fotografer sendiri?
Hampir selalu fotografer itu adalah salah satu anggota jemaat. Di saat yang lain memuji Tuhan dengan suara dan alat musik, dia sibuk mencari "the perfect shots". Di saat yang lain mendengar Firman Tuhan, dia sibuk memeriksa hasil foto di kamera. Di saat yang lain mencari wajah Tuhan, dia sibuk mencari wajah yang pas untuk difoto. Apa yang dia dapat dari semuanya? Hanya kepuasan seorang fotografer dan bukan kepuasan seorang anak Tuhan yang berjumpa dengan Bapa sorgawi.
Bisakah kita memperhitungkan semua hal di atas dan memikirkan alternatif yang lebih baik? Kita perlu mencari keseimbangan antara kebutuhan dokumentasi dan meminimalisasi potensi kerugian yang ada.
Mari kita pikirkan dulu betulkah kita membutuhkan dokumentasi? Di zaman sekarang, orang cenderung ingin mendokumentasikan virtually anything and any moment. Tapi pikirkan dulu betulkah di acara itu kita membutuhkan dokumentasi? Pikirkan dulu apa kegunaannya. Banyak foto dokumentasi yang tidak pernah dilihat lagi sama sekali.
Kalau memang jawabannya adalah "ya, kita membutuhkan foto-foto itu", maka coba tanya lagi foto apa dan di bagian mana yang kita butuhkan? Kalau memang kita hanya butuh dokumentasi suasana ibadah, beberapa foto jemaat, lalu pelayan ibadah, maka batasi itu saja yang diambil. Tidak setiap momen dan bagian perlu difoto. Kadang di dalam Retreat, fotografer sibuk mengambil foto di setiap session padahal suasananya selalu sama saja. Dan berapa banyak foto yang kita butuhkan (bukan inginkan!)? Fotografer cenderung restless, terus ingin mengambil foto, menunggu perfect moments dan mendapatkan the perfect shots. Padahal sikap seperti itulah yang mengganggu ibadah. Prinsipnya adalah fotografer harus mengambil foto sesedikit mungkin dan bukan sebanyak mungkin!
Alangkah baiknya kalau ada perencanaan yang sangat baik sebelum ibadah:
- Foto momen apa yang sangat dibutuhkan? Ingat, bukan yang sangat diinginkan.
- Seperti apa acaranya dan dari posisi mana dia harus mengambil foto (yang tidak mengganggu jemaat).
- Uji coba dulu sebelum acara dimulai. Seringkali banyaknya foto yang diambil adalah karena keamatiran si fotografer yang salah setting pencahayaan di kamera.
- Lalu karena fotografer tidak boleh berjalan-jalan pada waktu ibadah, maka berapa fotografer yang dibutuhkan untuk duduk di sudut yang berbeda? Lalu bagi tugas siapa yang mengambil foto untuk momen apa. Bukan semua fotografer sama-sama mengambil foto untuk momen yang sama dengan dalih dari sudut yang berbeda.
Sekali lagi, ingat prinsipnya adalah fotografer harus mengambil foto sesedikit mungkin dan bukan sebanyak mungkin! Saya tahu ini berlawanan dengan keinginan kita yang selalu mau foto sebanyak-banyaknya. Tapi terakhir, mari pikikan berapa keuntungannya dibanding kerugiannya.
Apa keuntungan dari banyaknya foto yang didapat? Apa keuntungan mendapatkan banyaknya perfect moments yang terekam – ekspresi orang yang berdoa dengan khusuk, ekepresi satu keluarga yang bergandengan tangan waktu menyanyi, suasana sukacita jemaat, dst? Foto-foto itu akan jarang dilihat. Hanya akan dipajang sebentar di depan gereja. Atau mungkin akan dipilih untuk dimasukkan ke dalam buku kenang-kenangan nanti. Seberapa keuntungan gereja dengan adanya foto-foto itu? Saya tidak berkata tidak ada gunanya sama sekali, tapi untuk kegunaan itu berapa banyak sih foto yang dibutuhkan?
Sementara itu, apa kerugiannya? Sebagian jemaat akan merasa terganggu. Ada sesuatu yang hilang di dalam momen ibadah bagi mereka. Dan yang paling penting, pikirkan fotografernya! Waktu untuk si fotografer beribadah menjadi hilang. Kalau itu di Retreat, waktu dia untuk retreat – tenang, mundur, menikmati Tuhan, menjadi hilang karena konsentrasi pada foto. Nilai kerugian seperti ini tidak pernah bisa diukur. Kita tidak merasakan kerugian itu. Fotografer itu juga tidak merasa rugi karena kerugian rohani selalu tidak bisa diukur. Tapi kerugian itu jelas ada.
Saya tidak bilang kita sama sekali tidak boleh ada fotografer dalam ibadah, tapi pertimbangkan juga kerugiannya. Carilah keseimbangan antara kebutuhan dokumentasi (ingat lagi: bukan keinginan!) dan meminimalisasi potensi kerugian yang ada.
Saya tahu bahwa kadang kita ingin ada dokumentasi. Kita ingin mengabadikan suasana events yang khusus. Foto-foto itu kita pikir mungkin akan berguna di masa depan, untuk mengenang apa yang terjadi di gereja kita, seperti apa suasananya dulu, siapa saja yang datang, siapa yang pernah terlibat, dan lain sebagainya.
Tetapi jarang sekali kita berpikir kerugian adanya fotografer di dalam ibadah. Juga hampir tidak pernah kita menimbang seberapa penting foto-foto itu dibanding dengan kerugian yang ditimbulkan.
Mari kita pikirkan ulang beberapa hal:
1. Apakah keberadaan fotografer mengganggu jemaat yang beribadah?
Biasanya fotografer akan berjalan kesana kemari, baik di depan mimbar, kadang bahkan di belakang mimbar menghadap jemaat (!), kadang di baris samping. Kalaupun dia tidak berjalan-jalan, atau bahkan sekalipun dia hanya menggunakan handphone, tangannya yang terangkat jelas mengganggu jemaat di samping dan belakangnya. Bagaimanapun akan sangat mencolok bahwa dia adalah satu-satunya orang di situ yang aktivitasnya beda dengan jemaat lain. Sementara yang lain menyanyi dan mendengar khotbah, dia memegang kamera, mengarahkan kamera, dan memeriksa hasil foto di kamera. Lalu jemaat juga akan mendengar bunyi langkah dia (apalagi waktu berdoa) dan melihat lampu kilat yang menyala berkali-kali. Sulit untuk berkata dia tidak mengganggu.
2. Masih terkait dengan point di atas, sebagian orang menjadi tidak tenang ketika sadar bahwa dia bisa difoto kapan saja. Bagaimana dia bisa sepenuh hati memuji Tuhan ketika dia sadar kamera sedang diarahkan kepadanya (apalagi kalau dia tipe yang sangat sadar kamera). Ditambah lagi ketika dia sedang berdoa, dia mendengar bunyi shutter kamera sangat dekat di depannya. Lalu sambil mengintip dia melihat sang fotografer baru saja berjalan meninggalkan dia! Wah… saya difoto! Bagaimana ya tadi ekspresi saya? :-(
3. Mungkin ini yang terpenting, pernahkah kita berpikir tentang si fotografer sendiri?
Hampir selalu fotografer itu adalah salah satu anggota jemaat. Di saat yang lain memuji Tuhan dengan suara dan alat musik, dia sibuk mencari "the perfect shots". Di saat yang lain mendengar Firman Tuhan, dia sibuk memeriksa hasil foto di kamera. Di saat yang lain mencari wajah Tuhan, dia sibuk mencari wajah yang pas untuk difoto. Apa yang dia dapat dari semuanya? Hanya kepuasan seorang fotografer dan bukan kepuasan seorang anak Tuhan yang berjumpa dengan Bapa sorgawi.
Bisakah kita memperhitungkan semua hal di atas dan memikirkan alternatif yang lebih baik? Kita perlu mencari keseimbangan antara kebutuhan dokumentasi dan meminimalisasi potensi kerugian yang ada.
Mari kita pikirkan dulu betulkah kita membutuhkan dokumentasi? Di zaman sekarang, orang cenderung ingin mendokumentasikan virtually anything and any moment. Tapi pikirkan dulu betulkah di acara itu kita membutuhkan dokumentasi? Pikirkan dulu apa kegunaannya. Banyak foto dokumentasi yang tidak pernah dilihat lagi sama sekali.
Kalau memang jawabannya adalah "ya, kita membutuhkan foto-foto itu", maka coba tanya lagi foto apa dan di bagian mana yang kita butuhkan? Kalau memang kita hanya butuh dokumentasi suasana ibadah, beberapa foto jemaat, lalu pelayan ibadah, maka batasi itu saja yang diambil. Tidak setiap momen dan bagian perlu difoto. Kadang di dalam Retreat, fotografer sibuk mengambil foto di setiap session padahal suasananya selalu sama saja. Dan berapa banyak foto yang kita butuhkan (bukan inginkan!)? Fotografer cenderung restless, terus ingin mengambil foto, menunggu perfect moments dan mendapatkan the perfect shots. Padahal sikap seperti itulah yang mengganggu ibadah. Prinsipnya adalah fotografer harus mengambil foto sesedikit mungkin dan bukan sebanyak mungkin!
Alangkah baiknya kalau ada perencanaan yang sangat baik sebelum ibadah:
- Foto momen apa yang sangat dibutuhkan? Ingat, bukan yang sangat diinginkan.
- Seperti apa acaranya dan dari posisi mana dia harus mengambil foto (yang tidak mengganggu jemaat).
- Uji coba dulu sebelum acara dimulai. Seringkali banyaknya foto yang diambil adalah karena keamatiran si fotografer yang salah setting pencahayaan di kamera.
- Lalu karena fotografer tidak boleh berjalan-jalan pada waktu ibadah, maka berapa fotografer yang dibutuhkan untuk duduk di sudut yang berbeda? Lalu bagi tugas siapa yang mengambil foto untuk momen apa. Bukan semua fotografer sama-sama mengambil foto untuk momen yang sama dengan dalih dari sudut yang berbeda.
Sekali lagi, ingat prinsipnya adalah fotografer harus mengambil foto sesedikit mungkin dan bukan sebanyak mungkin! Saya tahu ini berlawanan dengan keinginan kita yang selalu mau foto sebanyak-banyaknya. Tapi terakhir, mari pikikan berapa keuntungannya dibanding kerugiannya.
Apa keuntungan dari banyaknya foto yang didapat? Apa keuntungan mendapatkan banyaknya perfect moments yang terekam – ekspresi orang yang berdoa dengan khusuk, ekepresi satu keluarga yang bergandengan tangan waktu menyanyi, suasana sukacita jemaat, dst? Foto-foto itu akan jarang dilihat. Hanya akan dipajang sebentar di depan gereja. Atau mungkin akan dipilih untuk dimasukkan ke dalam buku kenang-kenangan nanti. Seberapa keuntungan gereja dengan adanya foto-foto itu? Saya tidak berkata tidak ada gunanya sama sekali, tapi untuk kegunaan itu berapa banyak sih foto yang dibutuhkan?
Sementara itu, apa kerugiannya? Sebagian jemaat akan merasa terganggu. Ada sesuatu yang hilang di dalam momen ibadah bagi mereka. Dan yang paling penting, pikirkan fotografernya! Waktu untuk si fotografer beribadah menjadi hilang. Kalau itu di Retreat, waktu dia untuk retreat – tenang, mundur, menikmati Tuhan, menjadi hilang karena konsentrasi pada foto. Nilai kerugian seperti ini tidak pernah bisa diukur. Kita tidak merasakan kerugian itu. Fotografer itu juga tidak merasa rugi karena kerugian rohani selalu tidak bisa diukur. Tapi kerugian itu jelas ada.
Saya tidak bilang kita sama sekali tidak boleh ada fotografer dalam ibadah, tapi pertimbangkan juga kerugiannya. Carilah keseimbangan antara kebutuhan dokumentasi (ingat lagi: bukan keinginan!) dan meminimalisasi potensi kerugian yang ada.
Wednesday, August 05, 2015
Terus “Tune Up” Dengan Allah
Salah satu sifat yang sangat menonjol dari iblis adalah “oportunis” – pandai
mengambil keuntungan dari situasi yang ada.
“…jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau,…” (Kej 4:7)
Pada saat kita melakukan kesalahan, “tidak berbuat baik”, dosa sudah mengintip di depan pintu dan sangat menggoda! Iblis menantikan saat kita lemah, saat kita berbuat bodoh, saat kita melakukan yang tidak terpuji. Saat itulah… tinggal tunggu waktu dosa akan menguasai kita karena dia sudah mengintip di depan pintu. Istilah “ia sangat menggoda engkau” mungkin lebih baik diterjemahkan “ia sangat bernafsu untuk memiliki engkau”.
“Sesudah Iblis mengakhiri semua pencobaan itu, ia mundur dari pada-Nya dan menunggu waktu yang baik.” (Luk 4:13)
Ayat ini muncul tepat di akhir kisah Yesus dicobai Iblis di padang gurun. Tiga kali Iblis mencobai Yesus dan tiga kali pula Yesus melawan dan akhirnya mengusir dia. Yesus menang! Horeee…! Tapi kalimat berikutnya sangat mengerikan: Iblis mundur dari pada Yesus dan menunggu waktu yang baik! Iblis kalah saat itu, tapi dia tidak menyerah. Dia akan datang lagi dan mencobai lagi “pada waktu yang baik.” Kapan itu? Oh, dia sangat tahu kapan waktu yang baik itu.
“Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya.” (1 Pet 5:8)
Petrus menggambarkan Iblis seperti singa – menunjukkan keganasannya. Singa itu mengaum-aum – tanda kebuasan dan kelaparan. Tapi yang sangat mengerikan adalah: Singa yang mengaum-aum itu berjalan keliling dan mencari orang yang dapat ditelannya! Dia tidak tinggal diam. Dia berjalan keliling dan mencari mangsa… siapa saja yang dapat ditelannya.
Waktu kita mulai marah-marah.. dia berkata “Aha!” Waktu hati kita penuh kepahitan… dia berkata lagi “Aha!” Waktu kita kesepian, waktu kita tidak puas dengan hidup kita, waktu kita entertain dosa dalam pikiran kita, dia berkata “Wow.. aha..aha..aha!!!” Apapun keadaan kita, dalam kelemahan kita sebagai manusia, dia akan masuk dan memanfaatkannya untuk menjatuhkan kita.
Kalau Iblis begitu oportunis, apa yang harus kita lakukan?
Satu-satunya yang bisa menjaga kita dari kejatuhan adalah kalau hati kita terus menerus “tune up” dengan Allah. Seperti mobil ketika terus dipakai bisa menjadi tidak pas lagi, mesin mulai kotor, baut mulai kendor, karet mulai aus, maka ia perlu di tune up lagi supaya kembali sesuai dengan standar yang seharusnya. Demikian pula hidup kita.
Ada banyak sekali hal yang membuat kita lelah dan letih. Ada banyak sekali godaan di sekitar kita. Ada banyak sekali hal yang membuat kita menginginkan yang tidak benar. Kita perlu di “tune up” lagi supaya kembali sesuai dengan standar yang seharusnya – Tuhan sendiri.
Tapi berapa sering kita perlu “tune up”? Sesering mungkin!
Tidak seperti mesin mobil yang bisa bertahan lama tanpa tune up, kita tidak bisa! Dengan sangat mudah dan cepat, keadaan hati kita menjadi berantakan dan siap untuk diterkam oleh iblis. Pagi hari kita bisa membaca Alkitab dan berdoa, bahkan berjanji untuk hidup bagi Tuhan, tapi siang harinya kita bisa lupa semuanya. Maka sesering mungkin, terus menerus, continuously, kita perlu “tune up” hati kita dengan Allah.
Mungkin itu berarti setiap kali muncul pikiran yang tidak baik, kita berhenti sejenak dan berdoa mengingat akan kekudusan Tuhan. Mungkin itu berarti setiap kali kita kuatir, takut, kita berhenti sejenak dan mengingat kebesaran Tuhan. Mungkin itu berarti dalam keadaan “baik” pun kita sering berhenti sejenak untuk menyadari kehadiran-Nya, mengingat janji-Nya dan perintah-Nya.
Orang-orang yang disebut giants dalam kerohanian berdoa. Kita juga berdoa. Tapi perbedaan mereka dengan kita adalah: Mereka berdoa continuously. Bukan berarti mereka tidak bekerja… tapi mereka terus menerus hidup bersama Tuhan. Mereka terus “tune up” dengan Allah.
Hanya dengan demikianlah, kita menutup kesempatan bagi Iblis - si raja oportunis itu, untuk menerkam kita.
“…jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau,…” (Kej 4:7)
Pada saat kita melakukan kesalahan, “tidak berbuat baik”, dosa sudah mengintip di depan pintu dan sangat menggoda! Iblis menantikan saat kita lemah, saat kita berbuat bodoh, saat kita melakukan yang tidak terpuji. Saat itulah… tinggal tunggu waktu dosa akan menguasai kita karena dia sudah mengintip di depan pintu. Istilah “ia sangat menggoda engkau” mungkin lebih baik diterjemahkan “ia sangat bernafsu untuk memiliki engkau”.
“Sesudah Iblis mengakhiri semua pencobaan itu, ia mundur dari pada-Nya dan menunggu waktu yang baik.” (Luk 4:13)
Ayat ini muncul tepat di akhir kisah Yesus dicobai Iblis di padang gurun. Tiga kali Iblis mencobai Yesus dan tiga kali pula Yesus melawan dan akhirnya mengusir dia. Yesus menang! Horeee…! Tapi kalimat berikutnya sangat mengerikan: Iblis mundur dari pada Yesus dan menunggu waktu yang baik! Iblis kalah saat itu, tapi dia tidak menyerah. Dia akan datang lagi dan mencobai lagi “pada waktu yang baik.” Kapan itu? Oh, dia sangat tahu kapan waktu yang baik itu.
“Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya.” (1 Pet 5:8)
Petrus menggambarkan Iblis seperti singa – menunjukkan keganasannya. Singa itu mengaum-aum – tanda kebuasan dan kelaparan. Tapi yang sangat mengerikan adalah: Singa yang mengaum-aum itu berjalan keliling dan mencari orang yang dapat ditelannya! Dia tidak tinggal diam. Dia berjalan keliling dan mencari mangsa… siapa saja yang dapat ditelannya.
Waktu kita mulai marah-marah.. dia berkata “Aha!” Waktu hati kita penuh kepahitan… dia berkata lagi “Aha!” Waktu kita kesepian, waktu kita tidak puas dengan hidup kita, waktu kita entertain dosa dalam pikiran kita, dia berkata “Wow.. aha..aha..aha!!!” Apapun keadaan kita, dalam kelemahan kita sebagai manusia, dia akan masuk dan memanfaatkannya untuk menjatuhkan kita.
Kalau Iblis begitu oportunis, apa yang harus kita lakukan?
Satu-satunya yang bisa menjaga kita dari kejatuhan adalah kalau hati kita terus menerus “tune up” dengan Allah. Seperti mobil ketika terus dipakai bisa menjadi tidak pas lagi, mesin mulai kotor, baut mulai kendor, karet mulai aus, maka ia perlu di tune up lagi supaya kembali sesuai dengan standar yang seharusnya. Demikian pula hidup kita.
Ada banyak sekali hal yang membuat kita lelah dan letih. Ada banyak sekali godaan di sekitar kita. Ada banyak sekali hal yang membuat kita menginginkan yang tidak benar. Kita perlu di “tune up” lagi supaya kembali sesuai dengan standar yang seharusnya – Tuhan sendiri.
Tapi berapa sering kita perlu “tune up”? Sesering mungkin!
Tidak seperti mesin mobil yang bisa bertahan lama tanpa tune up, kita tidak bisa! Dengan sangat mudah dan cepat, keadaan hati kita menjadi berantakan dan siap untuk diterkam oleh iblis. Pagi hari kita bisa membaca Alkitab dan berdoa, bahkan berjanji untuk hidup bagi Tuhan, tapi siang harinya kita bisa lupa semuanya. Maka sesering mungkin, terus menerus, continuously, kita perlu “tune up” hati kita dengan Allah.
Mungkin itu berarti setiap kali muncul pikiran yang tidak baik, kita berhenti sejenak dan berdoa mengingat akan kekudusan Tuhan. Mungkin itu berarti setiap kali kita kuatir, takut, kita berhenti sejenak dan mengingat kebesaran Tuhan. Mungkin itu berarti dalam keadaan “baik” pun kita sering berhenti sejenak untuk menyadari kehadiran-Nya, mengingat janji-Nya dan perintah-Nya.
Orang-orang yang disebut giants dalam kerohanian berdoa. Kita juga berdoa. Tapi perbedaan mereka dengan kita adalah: Mereka berdoa continuously. Bukan berarti mereka tidak bekerja… tapi mereka terus menerus hidup bersama Tuhan. Mereka terus “tune up” dengan Allah.
Hanya dengan demikianlah, kita menutup kesempatan bagi Iblis - si raja oportunis itu, untuk menerkam kita.
Tuesday, July 21, 2015
NIV (New International Version) Bible: Sesat? Pro LGBT?
Beberapa waktu ini di berbagai kelompok Kristen di Indonesia ramai
dibicarakan tentang NIV Bible. Isu ini menjadi ramai karena NIV Bible adalah
Alkitab bahasa Inggris yang paling banyak digunakan (mungkin termasuk di
Indonesia).
Ada beberapa isu yang diangkat, tetapi dua yang paling besar adalah: Pertama, "ditemukan" banyak ayat yang hilang di dalam NIV. Pembandingnya adalah KJV (King James Version). Ada banyak ayat yang ada di dalam KJV dan Alkitab bahasa Indonesia, yang ternyata tidak ada di dalam NIV. Kedua, NIV diterbitkan oleh Zondervan yang dimiliki Harper Collins yang juga menerbitkan Satanic Bible dan The Joy of Gay Sex.
Awalnya saya enggan meresponi debat seperti ini karena sebenarnya isu ini, khususnya yang pertama, adalah isu yang kunoooo sekali. Meminjam istilah Larry Hurtado, itu adalah isu Zombie – sudah dibunuh tapi bangun lagi, dibunuh bangun lagi, dibunuh bangun lagi. Cape sekali meladeninya. Saya juga tahu bahwa di belakang munculnya isu ini adalah para “pemuja” KJV yang sangat ngotot. Tetapi, apa boleh buat, karena hebohnya isu ini, saya pikir ada baiknya memberi tanggapan singkat untuk menolong orang-orang Kristen yang jadi bingung karena ini.
Berikut ini adalah sedikit sejarah di balik Perjanjian Baru kita, khususnya KJV (King James Version).
Kita tahu bahwa kitab-kitab di dalam Perjanjian Baru ditulis di dalam bahasa Yunani. Tetapi, tidak ada satupun naskah asli hasil tulisan langsung para penulis pertama (Matius, Markus, Lukas, Yohanes, Paulus, Petrus, Yakobus, dll) yang masih ada sampai sekarang. Semua mungkin sudah hancur karena pada waktu itu mereka menulis di atas dua macam material: Papirus (kertas yang dibuat dari pohon papirus) dan Perkamen (dari kulit hewan). Maka naskah Perjanjian Baru yang kita miliki adalah hasil salinan.
Orang-orang Kristen mula-mula menyalin hasil tulisan para penulis pertama itu dan menyebarkannya. Naskah itu kemudian disalin lagi dan disebarkan lagi. Demikian seterusnya. Maka kita menemukan banyak sekali naskah Perjanjian Baru tersebar di banyak sekali tempat!
Seiring dengan penyalinan demi penyalinan, sangat wajar terjadi human errors. Ada yang tidak disengaja, misalnya terlompat 1 baris atau terlompat 1 kata. Ada juga yang disengaja, misalnya seorang yang menyalin naskah untuk jemaatnya merasa tulisan sang rasul terlalu sulit untuk dimengerti, maka dia berpikir ada baiknya kalau sedikit dia tambahkan keterangan. Ada beberapa jenis human errors seperti ini yang terjadi. Darimana kita tahu? Dari membandingkannya dengan naskah-naskah lain. Para ahli teks mengerjakan ini (dengan cara yang astaganaga susahnya) dan mempertimbangkan setiap kemungkinan. Satu hal lagi yang perlu diketahui: Hampir semua naskah yang kita miliki tidak lengkap Matius-Wahyu, tetapi terpisah-pisah, ada yang 1 kitab saja, dan ada yang berisi beberapa kitab.
Ketika gereja semakin tersebar, dirasakan perlu adanya terjemahan Alkitab di dalam bahasa-bahasa lain. Salah satu terjemahan yang paling terkenal waktu itu adalah Vulgate (bahasa Latin).
Singkat cerita, pada abad ke 16, setelah penemuan mesin cetak, seorang bernama Erasmus memutuskan untuk menerbitkan Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani (waktu itu naskah yang dipakai secara luas adalah Vulgate - Bahasa latin). Tetapi, dia tidak bisa menemukan naskah kuno yang berisi lengkap seluruh Perjanjian Baru. Ditambah lagi waktu itu dia diburu waktu untuk menyelesaikan proyek penerbitan itu. Maka dia menggunakan dua naskah bahasa Yunani yang adalah salinan dari abad 12 dan tergolong inferior (kurang reliable), satu hanya berisi Injil dan satu lagi hanya berisi Kisah Para Rasul dan surat-surat. Erasmus membandingkan naskah itu dengan 2-3 naskah lain dan mengoreksinya sesuai pendapatnya sendiri. Untuk kitab Wahyu, dia hanya menemukan 1 naskah Yunani saja dari abad 12 yang, celakanya, halaman terakhirnya hilang (berisi 6 ayat). Maka untuk mengisi 6 ayat itu dan juga beberapa ayat lain di Perjanjian Baru yang Erasmus rasa kurang jelas, dia mengambil Vulgate (bahasa Latin) dan menerjemahkannya ulang ke bahasa Yunani! (Bayangkan, dulu orang terjemahkan naskah Yunani ke Latin (Vulgate), sekarang dia terjemahkan ulang dari Latin ke Yunani, seakan-akan ini naskah aslinya). Hasil akhir karya Erasmus adalah Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani yang sangat tidak reliable! Edisi hasil karya Erasmus ini disebut Textus Receptus (Received Text).
Belakangan, ada naskah-naskah lain yang ditemukan lagi oleh Erasmus. Maka dia membuat beberapa perbaikan pada Textus Receptus. Edisi terakhir Textus Receptus versi Erasmus diterbitkan pada tahun 1535. Tetapi, sampai edisi akhir itu, Erasmus hanya menggunakan beberapa naskah saja dan naskah tertua yang dia gunakan berasal dari abad 10 saja. Textus Receptus kemudian direvisi lagi oleh Robertus Stephanus (sampai 4 edisi) dan Theodore Beza (sampai 9 edisi). Setiap revisi berusaha memperbaiki kekurangan yang ada berdasarkan penemuan naskah-naskah lain.
Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani yang disebut Textus Receptus inilah yang digunakan untuk diterjemahkan ke bahasa Inggris menjadi Alkitab KJV. Sekalipun KJV yang sekarang kita miliki tidak diterjemahkan dari Textus Receptus edisi pertama, tetapi KJV pada dasarnya dibuat berdasarkan naskah Yunani yang kurang reliable karena relatif "muda". Harus diakui bahwa KJV adalah terjemahan bahasa Inggris yang sangat indah. Tetapi, dalam banyak ayat, dia tidak reliable. KJV ini juga mengalami beberapa kali revisi.
Kalau ada yang tertarik mempelajari mengenai ini, boleh membaca buku Bruce Metzger, The Text of the New Testament, 4th edition.
Setelah Textus Receptus, ada ribuan naskah Yunani lain yang ditemukan yang jauh lebih tua dan jauh lebih reliable. Naskah-naskah itu dikumpulkan, diteliti, dibandingkan, dengan berbagai cara yang asataganaga susahnya. Kemudian para ahli merekonstruksi naskah Perjanjian Baru bahasa Yunani yang mendekati aslinya. Seorang ahli Perjanjian Baru berani mengatakan naskah hasil rekonstruksi modern ini bisa dikatakan 99% sama dengan naskah asli tulisan para penulis pertama. Perbedaannya, kalaupun ada, hanya di tempat-tempat yang tidak signifikan dan tidak akan mempengaruhi doktrin apapun. Sekarang ini, teks Perjanjian Baru bahasa Yunani yang standar diterima adalah Nestle-Aland Greek New Testament (sekarang edisi ke-28) atau juga disebut United Bible Societies Greek New Testament. Alkitab bahasa Inggris versi modern, termasuk NIV, diterjemahkan dari naskah hasil rekonstruksi ini.
Tentu setiap versi Alkitab akan menggunakan teks hasil revisi terakhir pada waktu ia diterbitkan. Para penterjemah KJV menggunakan teks Yunani hasil revisi terakhir yang tersedia waktu itu yaitu Textus Receptus. Para penterjemah NIV (dan juga versi Alkitab lainnya) juga menggunakan teks Yunani hasil revisi terakhir di zaman masing-masing. Singkat kata, KJV diterjemahkan dari Textus Receptus yang berisi naskah-naskah Yunani yang ratusan tahun lebih muda dari yang digunakan NIV. Artinya KJV mengumpulkan kesalahan penyalinan yang jauh lebih banyak. Sementara NIV diterjemahkan dari naskah Yunani hasil perbandingan ribuan naskah kuno dan adalah hasil karya ratusan orang selama puluhan tahun.
Sekarang saya bisa mulai menjawab mengenai ayat-ayat yang “hilang” dari NIV, seperti Mat 17:21, 18:11, 23:14, Mark 7:16, 9:44, 9:46, Luk 17:36, Yoh 5:4, dst. Ayat-ayat itu bukan hilang tetapi memang tidak ada di dalam naskah asli! Saya sederhanakan ceritanya menjadi begini: Textus Receptus menggunakan naskah Yunani dari abad ke-10 dan ke-12. Di dalam naskah-naskah itu, ditemukan ayat-ayat itu. Maka KJV yang diterjemahkan dari Textus Receptus memasukkan ayat-ayat itu. Tetapi, kemudian ditemukan naskah-naskah Yunani yang jauh lebih tua dan reliable yang ternyata tidak ada ayat-ayat itu! Maka terjemahan yang lebih modern seperti NIV tidak memasukkannya. Alkitab bahasa Indonesia, karena pertimbangan tertentu, memasukkan ayat-ayat itu tetapi diberi tanda kurung (walaupun tidak semua, karena pertimbangan yang saya tidak tahu). Beberapa versi Alkitab bahasa Inggris menempatkannya di catatan kaki. Apapun cara yang dipakai, maksudnya jelas, ayat-ayat itu ada pada beberapa naskah, tetapi tidak ada pada naskah-naskah Yunani yang lebih tua dan reliable.
Tuduhan lain yang juga disebutkan adalah hilangnya beberapa kata “penting” di dalam NIV. Saya sebutkan dua contoh saja: “only begotten” di Yohanes 1.14,18; 3.16,18 dan “sodomite” di Ulangan 23.17. Khusus untuk kata “sodomite,” dikaitkan dengan Dr. Marten Woudstra yang dulu menjadi ketua komite penerjemahan Perjanjian Lama dari NIV yang dituduh adalah seorang gay.
Frase “only begotten” dari “monogenes” (Yunani) diterjemahkan oleh NIV menjadi “one and only”. Permisi tanya, salahnya dimana?? Setiap terjemahan pasti bergumul bagaimana menerjemahkan dengan setia, artinya tidak merubah arti tapi bisa dimengerti dengan jelas dan tidak disalah mengerti oleh pembaca modern. That is translation! Tidak salah monogenes diterjemahkan "one and only". Istilah “begotten” dalam KJV juga tidak salah (Catatan: istilah ini justru lebih mudah disalah mengerti seakan Yesus dicipta oleh Allah - dan ini yang dipakai oleh Saksi Yehuwa).
Mengenai kata “sodomite” dalam KJV di Ulangan 23.17, untuk jelasnya bisa dibandingkan dengan terjemahan lain:
There shall be no whore of the daughters of Israel, nor a sodomite of the sons of Israel. (KJV)
None of the daughters of Israel shall be a cult prostitute, and none of the sons of Israel shall be a cult prostitute. (ESV)
Di antara anak-anak perempuan Israel janganlah ada pelacur bakti, dan di antara anak-anak lelaki Israel janganlah ada semburit bakti. (LAI)
No Israelite man or woman is to become a shrine prostitute. (NIV)
Di zaman itu di kuil-kuil penyembahan berhala ada pelacur-pelacur, pria dan wanita, yang melayani orang yang datang. Orang-orang itu menyembah berhala melalui berhubungan seks dengan pelacur-pelacur itu. Istilah ini yang muncul di dalam teks bahasa Ibrani. Maka ESV memperjelasnya dengan istilah “cult prostitute” untuk pria dan wanita. Alkitab bahasa Indonesia menggunakan istilah “pelacur bakti” untuk wanita dan “semburit bakti” untuk pria. NIV menggunakan istilah “shrine prostitute” untuk pria dan wanita. Kalau dibandingkan dengan teks bahasa Ibrani, justru KJV yang salah. Terlepas dari benar atau tidaknya tuduhan terhadap Dr. Marten Woudstra, saya tidak melihat hubungannya dengan hilangnya kata “sodomite” di dalam NIV.
Terakhir, mengenai Zondervan yang dimiliki oleh Harper Collins. Karena Harper Collins juga menerbitkan Satanic Bible dan The Joy of Gay Sex, maka NIV dituduh juga mendukung yang sama. Ini logika yang sangat aneh.
Pada tahun 1987, perusahaan News Corporation milik konglomerat Rupert Murdoch membeli Harper & Row (berdiri tahun 1817). Tahun 1990, mereka membeli William Collins & Sons (berdiri tahun 1819). Gabungan dua perusahaan itu membuat nama divisi penerbitan di bawah News Corporation itu menjadi Harper Collins. Zondervan sendiri dibeli pada tahun 1988. Harper Collins adalah raksasa dunia penerbitan dengan banyak sekali “anak perusahaan” - berbagai penerbit yang berada di bawahnya. Salah satu anak perusahaan di bawah Harper Collins adalah Avon yang menerbitkan Satanic Bible. Anak perusahaan lainnya adalah Harper Resource yang menerbitkan The Joy of Gay Sex. Seberapa besar pengaruh CEO Avon dan CEO Harper Resource terhadap CEO Zondervan? Kita tidak tahu. Mereka sama-sama anak perusahaan di bawah Harper Collins. Masing-masing penerbit di bawah Harper Collins mungkin saja mandiri, selama menghasilkan keuntungan, di bawah payung perusahaan konglomerat News Corporation.
Yang pasti, proyek penerjemahan NIV dimulai tahun 1965 dan diterbitkan pertama kali tahun 1978. Versi yang populer digunakan adalah hasil revisi tahun 1984. NIV kemudian direvisi menjadi TNIV yang terbit tahun 2005. Pada tahun 2011, muncul edisi revisi lagi yang menggantikan semua edisi yang terdahulu.
Apakah NIV Bible (tahun 1984) yang sangat populer itu pro LGBT karena Zondervan dimiliki oleh Harper Collins? Padahal Zondervan baru dibeli oleh Harper Collins di tahun 1988!
Apakah NIV edisi 2011 pro LGBT seperti yang dituduhkan? Saya bahkan bingung darimana asalnya tuduhan ini! TNIV (2005) ditolak oleh sebagian kalangan Injili karena mengganti beberapa istilah menjadi gender-inclusive. Misalnya “God created man” menjadi “God created human beings” walaupun istilah Allah sebagai “Father” tetap tidak diganti. Perubahan ini bukan atas dorongan kaum LGBT, tetapi kaum feminis yang mengeluh bahwa terjemahan Alkitab terlalu patriarkis. Maka di ayat-ayat yang artinya memang bukan "pria saja" tetapi "pria dan wanita", NIV merubah terjemahannya. Versi revisi 2011 sudah mempertimbangkan berbagai masukan lagi dan, walaupun tetap mengalami penolakan sebagian orang, dipuji oleh banyak kalangan.
Perlu diketahui bahwa teks NIV bukan dimiliki oleh Zondervan tetapi oleh Biblica (dulu: International Bible Society). Zondervan hanya diberikan lisensi oleh Biblica untuk menjadi distributor NIV Bible di USA. Untuk di UK, Biblica memberikan lisensi kepada Hodder & Stoughton.
Kembali ke tuduhannya, apakah karena Zondervan (distributor NIV di USA) dimiliki oleh Harper Collins yang juga memiliki Avon (yang menerbitkan Satanic Bible) dan Harper Resource (yang menerbitkan The Joy of Gay Sex), maka NIV pro LGBT dan juga satanic? Saya hanya bisa mengelus dada :-( Bukan karena saya ingin membela Zondervan, apalagi Harper Collins, tetapi tuduhan itu tidak berdasar dan tidak masuk akal sama sekali.
Saya juga tidak mengatakan NIV Bible adalah terjemahan yang sempurna! Tidak! Tidak ada terjemahan yang sempurna. Semua pasti ada kekurangan di sana sini. Tetapi, menuduh bahwa NIV sengaja menghilangkan ayat tertentu atau kata tertentu karena sesat, pro LGBT, atau satanic, hanya bisa dimunculkan oleh orang-orang aneh – dalam hal ini para “pemuja” KJV.
Committee on Bible Translation (CBT) yang bertanggung jawab untuk teks NIV Bible berisi orang-orang Injili yang sangat committed kepada Alkitab sebagai Firman Tuhan. Silakan cek nama-nama mereka.
Catatan akhir:
Sekalian membahas isu ini, belakangan ada berita muncul Alkitab kaum LGBT: Queen James Bible. Dari apa yang saya baca, Alkitab ini tidak ada bedanya dengan KJV, hanya ada 8 ayat yang diganti supaya lebih LGBT -friendly. Tidak ada dasar sama sekali untuk penggantian ayat-ayat itu selain untuk mencocokkan dengan agenda si penerbit. Alkitab ini diterbitkan oleh Queen James – tidak jelas siapa. Maka anggap saja ini hasil karya orang iseng atau orang aneh, that’s it.
Ada beberapa isu yang diangkat, tetapi dua yang paling besar adalah: Pertama, "ditemukan" banyak ayat yang hilang di dalam NIV. Pembandingnya adalah KJV (King James Version). Ada banyak ayat yang ada di dalam KJV dan Alkitab bahasa Indonesia, yang ternyata tidak ada di dalam NIV. Kedua, NIV diterbitkan oleh Zondervan yang dimiliki Harper Collins yang juga menerbitkan Satanic Bible dan The Joy of Gay Sex.
Awalnya saya enggan meresponi debat seperti ini karena sebenarnya isu ini, khususnya yang pertama, adalah isu yang kunoooo sekali. Meminjam istilah Larry Hurtado, itu adalah isu Zombie – sudah dibunuh tapi bangun lagi, dibunuh bangun lagi, dibunuh bangun lagi. Cape sekali meladeninya. Saya juga tahu bahwa di belakang munculnya isu ini adalah para “pemuja” KJV yang sangat ngotot. Tetapi, apa boleh buat, karena hebohnya isu ini, saya pikir ada baiknya memberi tanggapan singkat untuk menolong orang-orang Kristen yang jadi bingung karena ini.
Berikut ini adalah sedikit sejarah di balik Perjanjian Baru kita, khususnya KJV (King James Version).
Kita tahu bahwa kitab-kitab di dalam Perjanjian Baru ditulis di dalam bahasa Yunani. Tetapi, tidak ada satupun naskah asli hasil tulisan langsung para penulis pertama (Matius, Markus, Lukas, Yohanes, Paulus, Petrus, Yakobus, dll) yang masih ada sampai sekarang. Semua mungkin sudah hancur karena pada waktu itu mereka menulis di atas dua macam material: Papirus (kertas yang dibuat dari pohon papirus) dan Perkamen (dari kulit hewan). Maka naskah Perjanjian Baru yang kita miliki adalah hasil salinan.
Orang-orang Kristen mula-mula menyalin hasil tulisan para penulis pertama itu dan menyebarkannya. Naskah itu kemudian disalin lagi dan disebarkan lagi. Demikian seterusnya. Maka kita menemukan banyak sekali naskah Perjanjian Baru tersebar di banyak sekali tempat!
Seiring dengan penyalinan demi penyalinan, sangat wajar terjadi human errors. Ada yang tidak disengaja, misalnya terlompat 1 baris atau terlompat 1 kata. Ada juga yang disengaja, misalnya seorang yang menyalin naskah untuk jemaatnya merasa tulisan sang rasul terlalu sulit untuk dimengerti, maka dia berpikir ada baiknya kalau sedikit dia tambahkan keterangan. Ada beberapa jenis human errors seperti ini yang terjadi. Darimana kita tahu? Dari membandingkannya dengan naskah-naskah lain. Para ahli teks mengerjakan ini (dengan cara yang astaganaga susahnya) dan mempertimbangkan setiap kemungkinan. Satu hal lagi yang perlu diketahui: Hampir semua naskah yang kita miliki tidak lengkap Matius-Wahyu, tetapi terpisah-pisah, ada yang 1 kitab saja, dan ada yang berisi beberapa kitab.
Ketika gereja semakin tersebar, dirasakan perlu adanya terjemahan Alkitab di dalam bahasa-bahasa lain. Salah satu terjemahan yang paling terkenal waktu itu adalah Vulgate (bahasa Latin).
Singkat cerita, pada abad ke 16, setelah penemuan mesin cetak, seorang bernama Erasmus memutuskan untuk menerbitkan Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani (waktu itu naskah yang dipakai secara luas adalah Vulgate - Bahasa latin). Tetapi, dia tidak bisa menemukan naskah kuno yang berisi lengkap seluruh Perjanjian Baru. Ditambah lagi waktu itu dia diburu waktu untuk menyelesaikan proyek penerbitan itu. Maka dia menggunakan dua naskah bahasa Yunani yang adalah salinan dari abad 12 dan tergolong inferior (kurang reliable), satu hanya berisi Injil dan satu lagi hanya berisi Kisah Para Rasul dan surat-surat. Erasmus membandingkan naskah itu dengan 2-3 naskah lain dan mengoreksinya sesuai pendapatnya sendiri. Untuk kitab Wahyu, dia hanya menemukan 1 naskah Yunani saja dari abad 12 yang, celakanya, halaman terakhirnya hilang (berisi 6 ayat). Maka untuk mengisi 6 ayat itu dan juga beberapa ayat lain di Perjanjian Baru yang Erasmus rasa kurang jelas, dia mengambil Vulgate (bahasa Latin) dan menerjemahkannya ulang ke bahasa Yunani! (Bayangkan, dulu orang terjemahkan naskah Yunani ke Latin (Vulgate), sekarang dia terjemahkan ulang dari Latin ke Yunani, seakan-akan ini naskah aslinya). Hasil akhir karya Erasmus adalah Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani yang sangat tidak reliable! Edisi hasil karya Erasmus ini disebut Textus Receptus (Received Text).
Belakangan, ada naskah-naskah lain yang ditemukan lagi oleh Erasmus. Maka dia membuat beberapa perbaikan pada Textus Receptus. Edisi terakhir Textus Receptus versi Erasmus diterbitkan pada tahun 1535. Tetapi, sampai edisi akhir itu, Erasmus hanya menggunakan beberapa naskah saja dan naskah tertua yang dia gunakan berasal dari abad 10 saja. Textus Receptus kemudian direvisi lagi oleh Robertus Stephanus (sampai 4 edisi) dan Theodore Beza (sampai 9 edisi). Setiap revisi berusaha memperbaiki kekurangan yang ada berdasarkan penemuan naskah-naskah lain.
Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani yang disebut Textus Receptus inilah yang digunakan untuk diterjemahkan ke bahasa Inggris menjadi Alkitab KJV. Sekalipun KJV yang sekarang kita miliki tidak diterjemahkan dari Textus Receptus edisi pertama, tetapi KJV pada dasarnya dibuat berdasarkan naskah Yunani yang kurang reliable karena relatif "muda". Harus diakui bahwa KJV adalah terjemahan bahasa Inggris yang sangat indah. Tetapi, dalam banyak ayat, dia tidak reliable. KJV ini juga mengalami beberapa kali revisi.
Kalau ada yang tertarik mempelajari mengenai ini, boleh membaca buku Bruce Metzger, The Text of the New Testament, 4th edition.
Setelah Textus Receptus, ada ribuan naskah Yunani lain yang ditemukan yang jauh lebih tua dan jauh lebih reliable. Naskah-naskah itu dikumpulkan, diteliti, dibandingkan, dengan berbagai cara yang asataganaga susahnya. Kemudian para ahli merekonstruksi naskah Perjanjian Baru bahasa Yunani yang mendekati aslinya. Seorang ahli Perjanjian Baru berani mengatakan naskah hasil rekonstruksi modern ini bisa dikatakan 99% sama dengan naskah asli tulisan para penulis pertama. Perbedaannya, kalaupun ada, hanya di tempat-tempat yang tidak signifikan dan tidak akan mempengaruhi doktrin apapun. Sekarang ini, teks Perjanjian Baru bahasa Yunani yang standar diterima adalah Nestle-Aland Greek New Testament (sekarang edisi ke-28) atau juga disebut United Bible Societies Greek New Testament. Alkitab bahasa Inggris versi modern, termasuk NIV, diterjemahkan dari naskah hasil rekonstruksi ini.
Tentu setiap versi Alkitab akan menggunakan teks hasil revisi terakhir pada waktu ia diterbitkan. Para penterjemah KJV menggunakan teks Yunani hasil revisi terakhir yang tersedia waktu itu yaitu Textus Receptus. Para penterjemah NIV (dan juga versi Alkitab lainnya) juga menggunakan teks Yunani hasil revisi terakhir di zaman masing-masing. Singkat kata, KJV diterjemahkan dari Textus Receptus yang berisi naskah-naskah Yunani yang ratusan tahun lebih muda dari yang digunakan NIV. Artinya KJV mengumpulkan kesalahan penyalinan yang jauh lebih banyak. Sementara NIV diterjemahkan dari naskah Yunani hasil perbandingan ribuan naskah kuno dan adalah hasil karya ratusan orang selama puluhan tahun.
Sekarang saya bisa mulai menjawab mengenai ayat-ayat yang “hilang” dari NIV, seperti Mat 17:21, 18:11, 23:14, Mark 7:16, 9:44, 9:46, Luk 17:36, Yoh 5:4, dst. Ayat-ayat itu bukan hilang tetapi memang tidak ada di dalam naskah asli! Saya sederhanakan ceritanya menjadi begini: Textus Receptus menggunakan naskah Yunani dari abad ke-10 dan ke-12. Di dalam naskah-naskah itu, ditemukan ayat-ayat itu. Maka KJV yang diterjemahkan dari Textus Receptus memasukkan ayat-ayat itu. Tetapi, kemudian ditemukan naskah-naskah Yunani yang jauh lebih tua dan reliable yang ternyata tidak ada ayat-ayat itu! Maka terjemahan yang lebih modern seperti NIV tidak memasukkannya. Alkitab bahasa Indonesia, karena pertimbangan tertentu, memasukkan ayat-ayat itu tetapi diberi tanda kurung (walaupun tidak semua, karena pertimbangan yang saya tidak tahu). Beberapa versi Alkitab bahasa Inggris menempatkannya di catatan kaki. Apapun cara yang dipakai, maksudnya jelas, ayat-ayat itu ada pada beberapa naskah, tetapi tidak ada pada naskah-naskah Yunani yang lebih tua dan reliable.
Tuduhan lain yang juga disebutkan adalah hilangnya beberapa kata “penting” di dalam NIV. Saya sebutkan dua contoh saja: “only begotten” di Yohanes 1.14,18; 3.16,18 dan “sodomite” di Ulangan 23.17. Khusus untuk kata “sodomite,” dikaitkan dengan Dr. Marten Woudstra yang dulu menjadi ketua komite penerjemahan Perjanjian Lama dari NIV yang dituduh adalah seorang gay.
Frase “only begotten” dari “monogenes” (Yunani) diterjemahkan oleh NIV menjadi “one and only”. Permisi tanya, salahnya dimana?? Setiap terjemahan pasti bergumul bagaimana menerjemahkan dengan setia, artinya tidak merubah arti tapi bisa dimengerti dengan jelas dan tidak disalah mengerti oleh pembaca modern. That is translation! Tidak salah monogenes diterjemahkan "one and only". Istilah “begotten” dalam KJV juga tidak salah (Catatan: istilah ini justru lebih mudah disalah mengerti seakan Yesus dicipta oleh Allah - dan ini yang dipakai oleh Saksi Yehuwa).
Mengenai kata “sodomite” dalam KJV di Ulangan 23.17, untuk jelasnya bisa dibandingkan dengan terjemahan lain:
There shall be no whore of the daughters of Israel, nor a sodomite of the sons of Israel. (KJV)
None of the daughters of Israel shall be a cult prostitute, and none of the sons of Israel shall be a cult prostitute. (ESV)
Di antara anak-anak perempuan Israel janganlah ada pelacur bakti, dan di antara anak-anak lelaki Israel janganlah ada semburit bakti. (LAI)
No Israelite man or woman is to become a shrine prostitute. (NIV)
Di zaman itu di kuil-kuil penyembahan berhala ada pelacur-pelacur, pria dan wanita, yang melayani orang yang datang. Orang-orang itu menyembah berhala melalui berhubungan seks dengan pelacur-pelacur itu. Istilah ini yang muncul di dalam teks bahasa Ibrani. Maka ESV memperjelasnya dengan istilah “cult prostitute” untuk pria dan wanita. Alkitab bahasa Indonesia menggunakan istilah “pelacur bakti” untuk wanita dan “semburit bakti” untuk pria. NIV menggunakan istilah “shrine prostitute” untuk pria dan wanita. Kalau dibandingkan dengan teks bahasa Ibrani, justru KJV yang salah. Terlepas dari benar atau tidaknya tuduhan terhadap Dr. Marten Woudstra, saya tidak melihat hubungannya dengan hilangnya kata “sodomite” di dalam NIV.
Terakhir, mengenai Zondervan yang dimiliki oleh Harper Collins. Karena Harper Collins juga menerbitkan Satanic Bible dan The Joy of Gay Sex, maka NIV dituduh juga mendukung yang sama. Ini logika yang sangat aneh.
Pada tahun 1987, perusahaan News Corporation milik konglomerat Rupert Murdoch membeli Harper & Row (berdiri tahun 1817). Tahun 1990, mereka membeli William Collins & Sons (berdiri tahun 1819). Gabungan dua perusahaan itu membuat nama divisi penerbitan di bawah News Corporation itu menjadi Harper Collins. Zondervan sendiri dibeli pada tahun 1988. Harper Collins adalah raksasa dunia penerbitan dengan banyak sekali “anak perusahaan” - berbagai penerbit yang berada di bawahnya. Salah satu anak perusahaan di bawah Harper Collins adalah Avon yang menerbitkan Satanic Bible. Anak perusahaan lainnya adalah Harper Resource yang menerbitkan The Joy of Gay Sex. Seberapa besar pengaruh CEO Avon dan CEO Harper Resource terhadap CEO Zondervan? Kita tidak tahu. Mereka sama-sama anak perusahaan di bawah Harper Collins. Masing-masing penerbit di bawah Harper Collins mungkin saja mandiri, selama menghasilkan keuntungan, di bawah payung perusahaan konglomerat News Corporation.
Yang pasti, proyek penerjemahan NIV dimulai tahun 1965 dan diterbitkan pertama kali tahun 1978. Versi yang populer digunakan adalah hasil revisi tahun 1984. NIV kemudian direvisi menjadi TNIV yang terbit tahun 2005. Pada tahun 2011, muncul edisi revisi lagi yang menggantikan semua edisi yang terdahulu.
Apakah NIV Bible (tahun 1984) yang sangat populer itu pro LGBT karena Zondervan dimiliki oleh Harper Collins? Padahal Zondervan baru dibeli oleh Harper Collins di tahun 1988!
Apakah NIV edisi 2011 pro LGBT seperti yang dituduhkan? Saya bahkan bingung darimana asalnya tuduhan ini! TNIV (2005) ditolak oleh sebagian kalangan Injili karena mengganti beberapa istilah menjadi gender-inclusive. Misalnya “God created man” menjadi “God created human beings” walaupun istilah Allah sebagai “Father” tetap tidak diganti. Perubahan ini bukan atas dorongan kaum LGBT, tetapi kaum feminis yang mengeluh bahwa terjemahan Alkitab terlalu patriarkis. Maka di ayat-ayat yang artinya memang bukan "pria saja" tetapi "pria dan wanita", NIV merubah terjemahannya. Versi revisi 2011 sudah mempertimbangkan berbagai masukan lagi dan, walaupun tetap mengalami penolakan sebagian orang, dipuji oleh banyak kalangan.
Perlu diketahui bahwa teks NIV bukan dimiliki oleh Zondervan tetapi oleh Biblica (dulu: International Bible Society). Zondervan hanya diberikan lisensi oleh Biblica untuk menjadi distributor NIV Bible di USA. Untuk di UK, Biblica memberikan lisensi kepada Hodder & Stoughton.
Kembali ke tuduhannya, apakah karena Zondervan (distributor NIV di USA) dimiliki oleh Harper Collins yang juga memiliki Avon (yang menerbitkan Satanic Bible) dan Harper Resource (yang menerbitkan The Joy of Gay Sex), maka NIV pro LGBT dan juga satanic? Saya hanya bisa mengelus dada :-( Bukan karena saya ingin membela Zondervan, apalagi Harper Collins, tetapi tuduhan itu tidak berdasar dan tidak masuk akal sama sekali.
Saya juga tidak mengatakan NIV Bible adalah terjemahan yang sempurna! Tidak! Tidak ada terjemahan yang sempurna. Semua pasti ada kekurangan di sana sini. Tetapi, menuduh bahwa NIV sengaja menghilangkan ayat tertentu atau kata tertentu karena sesat, pro LGBT, atau satanic, hanya bisa dimunculkan oleh orang-orang aneh – dalam hal ini para “pemuja” KJV.
Committee on Bible Translation (CBT) yang bertanggung jawab untuk teks NIV Bible berisi orang-orang Injili yang sangat committed kepada Alkitab sebagai Firman Tuhan. Silakan cek nama-nama mereka.
Catatan akhir:
Sekalian membahas isu ini, belakangan ada berita muncul Alkitab kaum LGBT: Queen James Bible. Dari apa yang saya baca, Alkitab ini tidak ada bedanya dengan KJV, hanya ada 8 ayat yang diganti supaya lebih LGBT -friendly. Tidak ada dasar sama sekali untuk penggantian ayat-ayat itu selain untuk mencocokkan dengan agenda si penerbit. Alkitab ini diterbitkan oleh Queen James – tidak jelas siapa. Maka anggap saja ini hasil karya orang iseng atau orang aneh, that’s it.
Subscribe to:
Posts (Atom)