Friday, December 28, 2012

Rumah Doa Bethel

(Revisi 7 Jan 2015)

Saya ingin merekomendasikan Rumah Doa Bethel.

Beberapa tahun lalu, hampir setiap bulan saya mengajak sekitar 15 orang pemuda dari GKY Green Ville untuk retreat di Rumah Doa Bethel. Biasanya kami sampai di sana malam hari, lalu istirahat. Besok paginya masing-masing berdoa pribadi di kamar-kamar doa atau pondok-pondok doa. Ada bahan yang saya sediakan jika mereka merasa membutuhkan bantuan. Setelah sarapan, kami sharing, lalu ada beberapa session bicara tentang doa dan kemudian berdoa lagi. Siang hari istirahat – sesuatu yang jarang di Jakarta. Sore hari duduk-duduk ngobrol di teras dengan suasana yang sejuk dan teduh. Lalu setelah berdoa lagi, malam hari kami ke Kampung Daun (mungkin hanya 100m lebih dari situ). Paginya masing-masing berdoa pribadi lagi, lalu pulang. Retreat seperti itu sangat meneduhkan.

Rumah Doa Bethel tidaklah besar. Kapasitasnya hanya 8 kamar @max. 3 orang. Alamatnya di Bandung di Kompleks Triniti Kav. C1-C3A, satu kompleks dengan Kampung Daun. No. telpon: 022-2784580. Sekarang ini (Januari 2015), biayanya Rp.250.000/kamar (tidak dihitung per orang). Untuk makan boleh mencari sendiri atau minta disiapkan dengan biaya sekali makan Rp.36.000/orang untuk makan siang dan malam dan Rp. 21.000/orang untuk makan pagi. Tinggal telpon untuk reservasi.

Setiap kita membutuhkan waktu untuk tenang, berdoa, dan mencari wajah Tuhan. Kita membutuhkan waktu dan tempat untuk itu. Untuk ke Rumah Doa Bethel, tidak perlu beramai-ramai, bisa pergi sendirian kesana. Baru-baru ini saya kesana, istri saya menemani satu malam lalu saya melanjutkan satu malam lagi sendirian.

Jika anda belum pernah Retreat pribadi atau Retreat kecil, cobalah lakukan (dimanapun, tidak harus di Rumah Doa Bethel). Jika anda sudah pernah, cobalah lakukan lagi. Kita semua perlu itu.

Additional notes (7 Jan 2015):
Saya baru saja kembali dari sana di awal tahun 2015. Ada beberapa hal yang menjadi masukan saya bagi pengelola. Sekarang ini Rumah Doa Bethel dikelola secara lebih "profesional". Saya beri tanda kutip karena profesional mungkin di dalam arti lebih rapih, lebih teratur, lebih ada sistem-nya, tapi bukan berarti lebih nyaman. Saya sendiri merasa ada beberapa hal yang menjadi lebih tidak nyaman sekarang ini, paling tidak adalah hilangnya suasana kekeluargaan.

1. Dulu ketika ke sana saya bisa dengan mudah minta tambah 1 malam atau mengurangi 1 malam. Tergantung suasana hati dan kebutuhan rohani saya. Sekarang sulit, profesionalisme menuntut manajemen seperti hotel, booking harus pasti berapa orang, berapa kamar, tanggal berapa sampai tanggal berapa, pembayaran harus didahului uang muka, dst.

2. Dulu saya tinggal bilang mau pesan makan untuk pagi atau siang atau malam dan berapa porsi. Menu terserah. Belakangan saya harus pilih menu, masih ok. Sekarang bahkan saya harus menghadapi "marketing" seperti mengapa tidak ambil paket saja, mengapa tidak pesan makan malam sekalian, nanti susah keluar lho di sana, dst.

3. Dulu (satu setengah tahun yang lalu) biaya menginap Rp.150.000/kamar (untuk 1-3 orang), sekarang Rp.250.000. Entah salah dimana, tadinya waktu reservasi saya diberitahu bahwa harganya Rp.300.000/malam dan bahkan akan naik lagi! Rumah Doa menjadi berkat bagi orang-orang yang ingin sendirian menenangkan diri di sana tetapi bagi yang dari Jakarta (ada biaya bensin dan tol) jika ke sana sendirian biayanya menjadi cukup mahal. Saya mengerti bahwa biaya operasional Rumah Doa juga besar, tetapi mengelola sebuah tempat untuk melayani dengan sebuah wisma memang berbeda.

Dulu ketika melakukan pembayaran saya selalu disodori amplop persembahan yang bisa diisi jika saya mau. Sekarang saya terkejut dengan kalimat: "Jangan lupa ada amplop persembahan yang HARUS diisi."

4. Sistem penggunaan ruang doa, walaupun maksudnya supaya lebih teratur malah jelas tidak baik. Saya terganggu dengan kebijakan mereka yang tidak mengizinkan kami menggunakan semua ruang doa dengan bebas dengan alasan "reserved" untuk tamu lain yang mungkin tiba-tiba datang. Kami yang sudah datang duluan, menginap di sana, harus selalu mengalah jika ada tamu lain yang tiba-tiba datang... bagi saya itu sangat tidak masuk akal. Ada banyak ruang doa dan pondok doa, mengapa tidak dibiarkan natural saja, ada yang pakai ya sudah, ada yang kosong ya silakan masuk.

5. Saya kaget melihat ada TV di ruang tengah/ruang makan. Ruang itu berada persis di depan kamar dan menjadi ruang yang nyaman tempat sharing dan membaca buku. Bagaimana jika ada tamu yang memutar TV di situ? Sewaktu kami di sana memang tidak ada yang memutar TV, tapi waktu rombongan teman saya ke sana, ada keluarga lain yang berada di situ dan memutar TV. Sangat mengganggu. Rumah Doa tidaklah besar dan suara TV akan sangat mengganggu.

Saya harap ada rekan-rekan yang punya akses ke pengelola untuk menyampaikan masukan-masukan di atas. Di luar keluhan-keluhan di atas, suasana Rumah Doa tetap baik dan menjadi berkat bagi kami. Saya tidak tahu dimana bisa menemukan tempat seperti ini lagi yang tidak terlalu jauh dari Jakarta. Maka saya menulis bukan untuk menjelek-jelekkan tetapi saya ingin tempat ini terus menjadi berkat bagi saya dan banyak orang lain.

 Bangunan utama berisi kamar, ruang makan dan ruang pertemuan. Di depan terlihat teras tempat duduk-duduk waktu pagi atau sore. 

 Di tengah adalah aula, di kiri kanan adalah bangunan berisi kamar-kamar doa, sayang saya tidak punya fotonya.

 Kamar

Pondok doa, ada beberapa yang seperti itu

Tuesday, December 18, 2012

Sabat Dulu Baru Kerja

Saya suka cara Marva Dawn menggambarkan Sabat (Lihat Marva Dawn, The Sense of the Call, p. 36):

(Dengan kalimat saya sendiri) Puncak dari penciptaan Allah adalah hari dimana Allah beristirahat. Manusia diciptakan di hari yang ke-enam. Bayangkan kalau manusia diciptakan di akhir hari ke-enam itu karena sebelumnya Allah menciptakan hewan terlebih dulu, begitu selesai diciptakan apa yang dilakukan manusia? Allah mengumumkan hari istirahat. Maka yang pertama dilakukan oleh manusia adalah istirahat! Semua tugas mengerjakan taman, mengelola kebun, harus menunggu keesokan harinya. Manusia hari ini terbalik. Konsep kita adalah kerja terus supaya akhirnya kita bisa istirahat. Kita kerja mati2an sambil membayangkan hari-hari liburan. Awalnya kerja, akhirnya istirahat. Tapi pada waktu penciptaan, yang diberikan Allah kepada manusia adalah istirahat dulu, lalu keluar dari sukacita karena istirahat itu, kita bekerja untuk enam hari berikutnya.

Saya tidak ingin menjadi dogmatik dalam hal ini – dan saya kira Dawn juga tidak bermaksud demikian. Tetapi saat menulis ini saya sedang melakukan hal yang serupa.

Ketika menulis ini, saya sedang berada di Rumah Doa Bethel di Lembang. Saya datang ke sini lebih untuk apa yang ada di depan dan bukan karena yang di belakang. Maksudnya, saya ke tempat ini bukan sekedar ingin istirahat, merasa terlalu cape dengan yang di belakang, dan sekarang waktunya santai menikmati ketenangan. Walaupun ada unsur itu, tapi saya ke tempat ini lebih karena ingin mempersiapkan yang di depan.

Saya merasa beberapa waktu terakhir di Singapore, hidup saya berantakan. Saya terlalu sibuk, hidup terasa penuh dengan tekanan, terlalu banyak agenda yang disodorkan kepada saya, ketidak beresan demi ketidak beresan muncul, ditambah lagi dengan berbagai masalah yang saya hadapi. Semua membuat hidup saya tidak lagi fokus tapi terpecah seperti ditarik kesana kemari. Sukacita dan semangat melayani Tuhan seperti disedot keluar dari saya. Alarm rohani saya berkali-kali berbunyi. Saya bersyukur Tuhan memelihara sehingga saya tidak berkeping-keping.

Tapi saya ke sini bukan sebagai reward untuk susah payah di masa lalu. Saya ke sini untuk mempersiapkan yang di depan. Saya tahu saya perlu waktu memulihkan ‘stamina’ rohani saya. Saya perlu anugrah Tuhan membungkus luka-luka saya. Saya perlu arah untuk maju ke depan. Saya perlu kekuatan untuk melangkah. Saya perlu menata hati saya. Dan karena itulah saya ke sini. Tanpa itu semua, bagaimana mungkin saya melangkah ke depan.

Maka ya dan amin, Sabat adalah anugrah Tuhan yang kita nikmati. Setelah itu, dengan sukacita, arahan, kekuatan dari Tuhan yang kita alami waktu Sabat, kita mulai bekerja lagi.

Friday, December 14, 2012

M.Th - de facto

Minggu lalu saya menerima email dari TTC bahwa thesis saya dinyatakan lulus.

Awalnya saya mengharapkan hasil thesis keluar dalam waktu 4-6 minggu setelah saya serahkan, tapi ternyata hampir 12 minggu! Ada beberapa revisi yang disarankan oleh dua orang penguji thesis saya. Mungkin perlu beberapa hari untuk membereskannya. Tapi revisi tidak akan mempengaruhi kelulusan saya.

Maka ini menjadi akhir dari perjalanan panjang tiga setengah tahun. Ada dua hal yang saya rasakan:

Pertama, wow.. tiga setengah tahun akhirnya selesai juga! I can’t believe it! Normalnya orang menyelesaikan studi M.Th di TTC dalam dua tahun. Saya sendiri membutuhkan tiga tahun + satu semester cuti. Masa pembuatan thesis adalah masa yang paling menyiksa buat saya. Kadang merasa seperti mencari jarum di tumpukan jerami, kadang seperti berjalan di jalan yang sangat panjang tanpa kelihatan ujungnya, kadang blank! Thank God, I -or more precisely- He, made it! Perjalanan panjang selama studi itu pernah saya tuliskan dalam blog ini dengan label “Sharing – Life in TTC”.

Kedua, saya tahu harusnya sudah belajar banyak. Tapi saya merasa belum belajar banyak. Kalau saya lihat ke belakang, apa sih yang sudah saya pelajari dalam studi M.Th ini? Sedikiiitttt sekali! Sungguh! Saya baru mengenal kulitnya dunia Perjanjian Baru. Saya mungkin baru membuka pintu pertama dan diberi kunci untuk membuka sendiri pintu kedua sampai kelima, sementara masih ada 100 pintu lain yang belum terbuka! Maka waktu selesai menulis thesis, perasaan waktu itu adalah “udah nih? segini doang?” Nadanya bukan sombong tapi miris. Maksudnya, dari dulu saya berpikir M.Th itu wah.. tapi ternyata lah.. saya cuma belajar segini doang! Mungkin saya yang bodoh…

Saya M.Th secara de facto tapi belum de jure. Saya masih harus menyelesaikan revisi. Dan TTC di dalam prakteknya baru menganggap kelulusan itu resmi ketika nama saya disebut dalam upacara wisuda. Sekalipun saya tidak hadir, tapi asalkan nama saya disebut di situ, maka resmi (menurut Prof. Tan, TTC sometimes acts like a medieval institution!). Wisuda akan dilakukan 18 Mei 2013, maka sementara ini saya M.Th de facto only.

Thanks be to God!

Friday, December 07, 2012

The Pastor: A Memoir - Eugene H. Peterson

Saya baru saja selesai membaca buku ini, sebuah autobiografi setebal 317 halaman. Memang tidak terlalu tepat disebut autobiografi karena dia tidak menuliskan sejarah hidupnya, tetapi berbagai cerita yang membentuk hidupnya sebagai seorang pastor. Mungkin seperti yang dia sebutkan dalam judul, genre buku ini memang lebih tepat disebut: A Memoir.

Sudah lama saya mengagumi Eugene Peterson dan buku-bukunya pun mempengaruhi pelayanan
saya. Buku yang satu ini memberikan sekelumit kisah di balik penulisan buku-bukunya yang lain, peristiwa apa, pemikiran apa, momen apa, yang mendorong dia menuliskan buku-bukunya.

Dari buku-bukunya yang lain, saya mendapatkan pengertian bagaimana menjadi seorang pastor, yang tidak dibentuk oleh konsep umum dunia tentang pastor tetapi dibentuk oleh Alkitab. Eugene membuat saya melihat keunikan panggilan saya dan kedalaman misteri yang terlibat di dalamnya. Dia menjadi sahabat saya dalam menjalani panggilan sebagai seorang pastor. Dan buku ini melengkapi apa yang saya tahu tentang dia, pemikirannya dan konsepnya tentang panggilan seorang pastor.

Dia melihat bahwa berbagai peristiwa dalam hidupnya yang seperti tidak berkaitan satu sama lain, ternyata adalah bagian dari puzzle yang membentuk hidupnya menjadi seorang pastor. Dia menulis tentang cerita-cerita masa lalunya - tentang ayahnya, ibunya, pamannya, pendetanya, dll - yang membangkitkan imajinasinya tentang kehidupan, tentang pelayanan, tentang pastor. Lalu dia bercerita tentang bagaimana dia menjadi pastor, siapa saja yang menjadi sahabatnya menjalani panggilannya, dan berbagai peristiwa yang dia alami dalam kehidupan sebagai pastor.

Membaca buku ini, saya merasa dia tidak mencoba menggurui dengan berbagai konsep dan teori menjadi seorang pastor. Eugene menempatkan dirinya sebagai seorang yang dibentuk dan dipanggil Tuhan menjadi seorang pastor. Seorang manusia biasa yang lemah, tapi terus berjalan dengan sahabat-sahabat sesama pastor. Seperti sedang berada di bukit, dia memperlihatkan bunga-bunga, duri-duri, jalan yang pernah dia lalui dan jalan yang berbahaya, dalam kehidupan pastor.

Salah satu yang sangat menarik – dan langsung saya share ke istri saya adalah kisahnya tentang istrinya. Istrinya, Jan, terpanggil menjadi pastor’s wife. Dan itu bukan pelengkap, bukan posisi yang ada job description-nya, tetapi pastor’s wife juga adalah sebuah panggilan, vocation, holy order.

Saya berharap setiap pastor membaca buku ini. Bukan saja membacanya tetapi menjadikannya sebagai model untuk memikirkan panggilan dan kehidupan mereka sendiri.

Dan terakhir, saya juga berharap para pemimpin gereja, para majelis, pengurus, membaca buku ini. Ini akan menolong mereka untuk menjadikan gereja mereka sebagai gereja. Ini akan menolong mereka untuk menolong pastor mereka menjadi pastor.

Thursday, October 25, 2012

Hakim-hakim 17-21

Saya baru selesai membaca Hakim-hakim 17-21. Apa yang saya baca disana membuat perasaan saya campur aduk.

Di dalam lima pasal itu, kita menemukan betapa besarnya kejahatan manusia dan betapa ngerinya kehidupan umat Tuhan yang sudah menyeleweng. Dan keadaan itu berkali-kali ditekankan oleh penulis Hakim-hakim sebagai: “In those days Israel had no king; everyone did as he saw fit”. 

Pasal 17 bercerita tentang seorang bernama Mikha yang membuat baginya berhala (bukan satu tapi banyak!). Seorang Lewi yang kebetulan lewat di situ diangkat menjadi imam untuk keluarganya. Bayangkan seorang Lewi! Dia mengembara mungkin karena tidak ada lagi pekerjaan dan uang karena Israel tidak mentaati perintah Tuhan. Dan dia mau menjadi imam dari berhala. Dan motivasinya jelas adalah uang, karena ketika ada tawaran lebih baik dia pindah.

Pasal 18 bercerita tentang suku Dan yang juga mengembara mencari tanah. Mereka sudah diberikan tanah oleh Tuhan tapi mereka tidak mampu (atau tidak mau, atau tidak bergantung pada Tuhan) untuk merebutnya. Maka mereka pergi mencari tanah lain, Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan kuil berhala dan orang Lewi yang menjadi imam keluarga Mikha ini. Mereka mengambil semua berhala di situ dan menawarkan pekerjaan kepada orang Lewi itu. Satu suku sepakat menyembah berhala! Dan Mikha sendiri frustasi karena allahnya, yang tidak bisa melindungi diri sendiri itu, diambil dan membuat dia kehilangan perlindungan. Ironis bukan!?

Pasal 19 bercerita tentang seorang Lewi yang menjemput gundiknya. Di tengah perjalanan dia menginap di Gibea, salah satu kota Israel. Malam itu penduduk kota itu menggedor rumah itu dan ingin memperkosa dia. Praktek homoseksual sangat luas dilakukan orang Kanaan dan orang Israel juga melakukannya. Orang ini, dengan sangat kejam, menyeret gundiknya keluar sebagai ganti dirinya untuk diperkosa. Dan semalaman wanita malang itu dipermainkan dan diperkosa oleh mereka. Pagi harinya dia menemukan gundiknya sudah mati. Dan dia memutilasi gundiknya, memotongnya menjadi 12 bagian dan dikirimkan ke daerah Israel sebagai panggilan membangkitkan kemarahan akan betapa jahatnya Gibea (ironis, karena dia sendiri sangat jahat!).

Pasal 20 menceritakan bagaimana seluruh Israel berkumpul untuk menghukum Gibea. Tapi karena Gibea adalah bagian dari suku Benyamin, maka suku Benyamin membelanya. Dan perang saudara terjadi. Puluhan ribu orang mati, dan dari suku Benyamin hanya tersisa 600 orang laki-laki saja. Semua wanita (dan anak-anak?) sudah dibunuh oleh Israel. Betapa kejamnya!

Pasal 21 menceritakan bahwa orang Israel menangis. Mereka menyesal bahwa orang Benyamin hanya sisa 600 orang pria. Dan mereka sudah bersumpah untuk tidak memberikan anak perempuan mereka kepada orang Benyamin. Maka bagaimana Benyamin bisa bertahan? Jalan keluarnya: (1) Orang-orang Yabesh-Gilead (bagian dari Israel) yang tidak ikut berperang dibunuh semuanya, laki-laki atau perempuan, hanya yang masih gadis yang tidak dibunuh. Mereka dibawa untuk dikawinkan dengan orang Benyamin. (2) Ketika ada perayaan di Silo (juga bagian dari Israel), orang-orang Benyamin atas restu suku Israel lain, menculik perempuan-perempuan Silo yang menari-nari dan memaksa mereka menjadi istri.

Saya tertegun membaca rentetan kisah-kisah itu. Betapa mengerikannya! Beginikah hidup umat Tuhan?

Dua hal yang membuat kisah-kisah ini lebih ironis lagi: Pertama, sepanjang lima pasal ini berkali-kali nama Yahweh (LAI: TUHAN) disebut. Mereka tahu TUHAN, mereka tahu Allah, mereka tahu mereka adalah orang Israel yang adalah umat Tuhan. Tapi betapa mereka sudah tidak mengenal Tuhan!

Kedua, orang Lewi yang menjadi imam berhala untuk keluarga Mikha dan kemudian menjadi imam berhala suku Dan, adalah: Yonatan bin Gersom bin Musa (18:30). Dia adalah cucu dari Musa!!! Beberapa ahli Taurat, penyalin Kitab Suci, belakangan mengubah nama Musa menjadi Manasye. Mungkin saking hormatnya kepada Musa, mereka tidak ingin nama Musa menjadi rusak. Tapi jelas salinan yang lebih lama menuliskan “Musa”. Dan sangat besar kemungkinan yang dimaksud adalah MUSA yang itu dan bukan Musa yang lain yang tidak dikenal. Baru sampai generasi cucunya Musa, mereka sudah begitu jauh dari Tuhan.

Tidak ada raja, tidak ada pemimpin, tidak ada gembala, berarti tidak ada aturan sosial, tidak ada yang mengajarkan kebenaran, tidak ada yang berotoritas untuk menegur. Dan hasilnya: “Everyone did as he saw fit”. Betapa mengerikannya hidup tanpa takut akan Tuhan.

Kita punya semuanya hari ini, ada raja, ada pemimpin, ada gembala, ada gereja, ada Alkitab, ada khotbah, dll, dll, tapi apakah kita jauh lebih baik dari mereka? Kita tahu kita orang Kristen, kita tahu Tuhan, kita punya Alkitab di rumah, tapi betulkah kita takut akan Tuhan? Ohh… mohon Tuhan mengasihani kita!

Tuesday, October 16, 2012

Setan = Malaikat Musik?

Sebelum ini saya sudah dua kali menulis tentang Setan di sini dan di sini yang dikaitkan dengan Yesaya 14 dan Yehezkiel 28. Tulisan kali ini, sedikit banyak ada hubungannya dengan dua tulisan tersebut.

Sejak saya kecil, saya mendengar bahwa setan dulunya adalah malaikat musik. Dan karena dia sangat sombong akhirnya dia pun dihukum Tuhan dan menjadi setan.

Pernahkah anda berpikir darimana konsep itu? Konsep ini sangat bergantung pada pengertian bahwa Yesaya 14 dan Yehezkiel 28 bicara tentang iblis. Sebuah tafsiran yang sangat spekulatif. Tapi darimana konsep bahwa dia adalah malaikat musik? Sebetulnya ini lebih spekulatif lagi. Perhatikan Yeh. 28:13 di bawah ini:

Engkau di taman Eden, yaitu taman Allah penuh segala batu permata yang berharga: yaspis merah, krisolit dan yaspis hijau, permata pirus, krisopras dan nefrit, lazurit, batu darah dan malakit. Tempat tatahannya diperbuat dari emas dan disediakan pada hari penciptaanmu. (ITB)

You were in Eden, the garden of God; every precious stone adorned you: carnelian, chrysolite and emerald, topaz, onyx and jasper, lapis lazuli, turquoise and beryl. Your settings and mountings were made of gold; on the day you were created they were prepared. (NIV)

You were in Eden, the garden of God; every precious stone was your covering, carnelian, chrysolite, and moonstone, beryl, onyx, and jasper, sapphire, turquoise, and emerald; and worked in gold were your settings and your engravings. On the day that you were created they were prepared. (NRSV)

Bisa tebak darimana?? Betul, tidak kelihatan! Perhatikan sekarang terjemahan King James Version:

Thou hast been in Eden the garden of God; every precious stone was thy covering, the sardius, topaz, and the diamond, the beryl, the onyx, and the jasper, the sapphire, the emerald, and the carbuncle, and gold: the workmanship of thy tabrets and of thy pipes was prepared in thee in the day that thou wast created. (KJV)

Perhatikan yang di-bold. “Tabrets” adalah tamborin, dan “pipes” adalah alat musik tiup. Dikatakan bahwa dari hari diciptakannya, “tabrets” dan “pipes” itu dipersiapkan di dalam dia.

Leslie C. Allen di dalam WBC mengatakan: “These two nouns are of uncertain meaning. A possibility for the second is metal cavities or setting for jewels… If so, the earlier term has a similar sense”. Dua kata benda itu tidak bisa dipastikan artinya. Kemungkinan kata yang kedua (pipes) adalah tempat tatahan perhiasan. Dan jika demikian, maka kata yang pertama pasti juga punya arti yang serupa.

Itulah sebabnya setahu saya tidak ada terjemahan Alkitab lain yang menterjemahkan seperti King James Version itu (bandingkan dengan terjemahan yang saya kutip di atas: bahasa Indonesia terjemahan baru, NIV dan NRSV). Demikian pula penafsir2 Alkitab juga setuju bahwa terjemahan King James Version tidak tepat.

Alasan kedua adalah dari Yes 14:11:

Ke dunia orang mati sudah diturunkan kemegahanmu dan bunyi gambus-gambusmu; ulat-ulat dibentangkan sebagai lapik tidurmu, dan cacing-cacing sebagai selimutmu."  (ITB)

All your pomp has been brought down to the grave, along with the noise of your harps; maggots are spread out beneath you and worms cover you. (NIV)

Thy pomp is brought down to the grave, and the noise of thy viols: the worm is spread under thee, and the worms cover thee. (KJV)

Argumen yang dikemukakan adalah bahwa Setan ada bunyi gambus-gambus atau “harps” (NIV) atau “viols” (KJV). Dan artinya dia adalah malaikat musik!

Istilah “kemegahan” atau “pomp” menggambarkan sesuatu kemuliaan seperti bagi seorang raja. Dan bunyi2an musik juga adalah gambaran kemuliaan seorang raja. Kemegahan itulah yang diturunkan sampai ke dunia orang mati.

Maka tafsiran bahwa Setan dulunya adalah malaikat musik didasarkan pada asumsi bahwa Yesaya 14 dan Yehezkiel 28 bicara tentang setan. Spekulatif. Tetapi, kalaupun benar bahwa dua bagian itu bicara tentang setan (saya tidak percaya itu), bagaimana mungkin hanya dengan dua ayat itu menafsirkan bahwa setan adalah malaikat musik???

Maka kalau tafsiran bahwa Yesaya 14 dan Yehezkiel 28 bicara tentang setan itu spekulatif, tafsiran bahwa setan adalah malaikat musik itu super spekulatif!

Tuesday, October 09, 2012

Setan = Lucifer? (Bagian 2)

Supaya adil dengan tulisan saya sebelum ini disini, berikut ini adalah pandangan dari Walter Kaiser di dalam Hard Sayings of the Bible, dimana dia membuka kemungkinan untuk menafsirkan Yesaya 14:12 sebagai bagian yang bicara tentang setan.

Saya terjemahkan:

Maka apakah cerita ini menunjuk pada raja Babel dalam istilah-istilah hiperbolis, atau menunjuk pada setan? Secara normal, peraturan penafsiran yang baik menuntut supaya kita hanya menempatkan satu penafsiran untuk setiap bagian; kalau tidak teks itu akan menimbulkan kebingungan. 

Tetapi, dalam situasi ini, sang nabi menggunakan cara yang sering ditemukan dalam teks nubuatan: dia menghubungkan nubuatan dekat dan jauh di bawah satu makna, atau arti, karena keduanya, sekalipun terpisah secara tempat dan waktu, adalah bagian yang saling melengkapi.

Yesaya melihat raja Babel memiliki kesombongan dan kebanggaan sangat besar yang memuakkan. Dalam mengembangkan aspirasi-aspirasi yang melampaui kedudukan dan kemampuannya, Yesaya memparalelkan raja Babel dengan pencapaiannya sendiri yang dilebih-lebihkan dengan Setan.

Sebagaimana ada garis mesianik yang panjang di Perjanjian lama, dan setiap orang yang termasuk dalam garis itu adalah manifestasi dari Yang Akan Datang (tetapi bukan Dia), demikian pula ada garis anti-mesianik dari raja-raja di dalam garis anti Kristus dan Setan. Raja Babel adalah salah satu dari garis panjang raja-raja dunia yang berdiri melawan Allah dan semua ketetapanNya.

Ini menjelaskan bahasa hiperbolis disini, yang walaupun benar dalam arti terbatas untuk raja Babel, tapi terutama menunjuk pada dia yang akan menjadi puncak dari garis kejahatan ini yaitu garis raja-raja yang sombong. 

Dalam arti ini, makna bagian ini adalah tunggal, bukan ganda atau banyak. Karena bagian-bagiannya adalah bagian dari keseluruhan dan memiliki tanda-tanda dari keseluruhannya, maka mereka adalah satu bagian. 

Seperti raja Babel menginginkan kesejajaran dengan Allah, keinginan setan untuk menyaingi otoritas Allah menyebabkan kejatuhannya. Semua ini adalah model dari anti-Kristus, yang akan meniru setan, dan korban penipuan dalam sejarah, raja Babel, dalam kehausan akan kuasa. 

Penghubungan serupa akan jarak yang dekat dan jauh ini muncul di Yehezkiel 28, dimana nubuat mengenai raja Tirus menggunakan bahasa hiperbolis yang sama (Yeh. 28:11-19). Dengan cara yang serupa, nabi Daniel memprediksikan kedatangan Antiochus Epiphanes (Dan. 11:29-35); di tengah-tengah bagian ini, dia meloncat jauh dalam ay.35 untuk menghubungkan Antiochus Epiphanes dengan anti-Kristus di akhir zaman, karena mereka punya banyak keserupaan sebagai anggota garis anti-Mesias. 

Maka cara bernubuat ini didukung di dalam Perjanjian Lama dan tidak seharusnya menimbulkan perhatian khusus kita.

Saya menghormati Walter Kaiser, tapi menurut saya di dalam bagian ini apa yang dia tulis tidak memiliki dasar yang kuat. 

Saya setuju bahwa para nabi suka menghubungkan dekat dan jauh di dalam satu nubuatan. Tapi harus ada dasar yang cukup untuk kita memutuskan bahwa di bagian itu nabi itu menggunakan cara demikian. Kalau tidak ada dasar, paling banyak kita hanya bisa berspekulasi.

Misalnya: Kerajaan Daud dikatakan tidak akan pernah berakhir selama-lamanya (2 Sam. 7:16). Kita tahu ‘yang jauh’ itu menunjuk pada kerajaan Mesias, sesuatu yang masih jauh di depan. Mengapa? Ada dasarnya! Yesaya 9 menubuatkan kelahiran seorang Putera yang disebutkan Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa… dan damai sejahtera tidak akan berkesudahan di atas takhta Daud dan di dalam kerajaanNya… (Yes 9:5-6). Kalimat-kalimat penegasan seperti ini entah berapa sering diulang dalam Perjanjian Lama. Sampai akhirnya di dalam Injil, Yesus disebut Anak Daud.

Tapi dimana dasarnya untuk mengatakan Yesaya 14 dan Yehezkiel 28 bukan saja sedang bicara yang dekat, tentang Raja Babel dan Raja Tirus, tapi juga bicara yang jauh yaitu tentang setan? Lagipula, kalau ini bicara tentang setan, khususnya di Yehezkiel, dia bukan bicara sesuatu yang jauh di depan tapi jauh di belakang tentang penciptaan setan? Prinsip yang dibicarakan oleh Walter Kaiser adalah nabi melihat yang dekat (sekarang) dan mencampurkannya dengan yang jauh (nanti). Tapi di Yesaya 14 dan Yehezkiel 28, yang dekat adalah raja Babel dan raja Tirus, lalu yang jauhnya bukan "nanti" tapi "dulu".

Perhatikan keanehan dalam Yehezkiel. Yang menyebabkan orang berpikir ini bicara tentang setan adalah Yeh 28:12-15, bahwa ia diciptakan dengan sempurna, indah, di taman Eden, tempatnya dekat kerub, dan sebagainya. Tapi perhatikan ay. 16: “Dengan dagangmu yang besar, engkau penuh dengan kekerasan dan engkau berbuat dosa. Maka Ku buangkan engkau…” Kapan setan dibuang? Jelas jauh sekali di belakang (paling tidak di Kej 3 sudah terjadi). Bagaimana Kaiser bisa mengatakan, ini bicara tentang yang dekat (raja Tirus) dan yang jauh di depan (setan)?  Lalu setan jatuh karena dagang yang besar penuh kekerasan? Ini tidak mungkin tidak menunjuk pada raja Tirus dan bukan setan.

Satu lagi, dia mengutip contoh nubuatan Daniel tentang Antiochus Epiphanes (yang dekat) yang kemudian dikaitkan dengan anti-Kristus di akhir zaman (yang jauh). Tapi saya sama sekali tidak menemukan mengapa dia bisa berpikir demikian. Coba saja teliti Dan 11:29-35 dan anda akan mengerti maksud saya.

Saya hanya ingin mengatakan bahwa tidak ada dasar untuk menghubungkan Yesaya 14 dan Yehezkiel 28 dengan setan. Mungkinkah apa yang dikatakan Yesaya dan Yekezkiel tentang raja Babel dan Tirus adalah sama dengan apa yang sudah dan akan terjadi terhadap setan? Mungkin. Tapi bagian ini tidak mengkaitkannya, atau paling tidak, tidak ada bagian lain Alkitab yang mendukung untuk kita mengkonfirmasi bahwa Yesaya dan Yehezkiel bermaksud bicara tentang setan. Dan tidak seharusnya kita, tanpa dasar, mengatakan bagian ini atau itu bicara tentang yang jauh di depan. 

Kembali kepada judul tulisan ini, apakah Lucifer (Bintang Timur) adalah Setan? Sebaiknya, paling banyak kita mengatakan, ini hanya ‘kemungkinan’ atau ‘spekulasi’. Saya mungkin salah, tapi saya pribadi tidak melihat ada dasarnya. 

Wednesday, September 26, 2012

Setan = Lucifer?

Sebutlah: “Lucifer”! Dan orang Kristen akan langsung mengkaitkannya dengan setan. Setan = Lucifer dan Lucifer = Setan.

Tetapi benarkah begitu? Darimana munculnya nama “Lucifer”?

Istilah “Lucifer” berasal dari bahasa Latin untuk menerjemahkan kata Ibrani ×”ֵילֵ֣ל (baca: helel) di dalam Yes. 14:12, yang secara harfiah berarti “a shining one” atau diterjemahkan “Day star” (NRSV) atau “Morning star” (NIV) atau “Bintang Timur” (LAI).

Gereja di daerah Barat yang berbahasa Latin memakai istilah “Lucifer” untuk menyebut “Bintang Timur” ini karena memang itulah terjemahannya dalam bahasa Latin. Dan ketika muncul Vulgate (Alkitab berbahasa Latin dari abad ke-4), disitu istilah helel dalam Yes.14:12 pun diterjemahkan menjadi “Lucifer”.

Maka “Lucifer” awalnya bukanlah nama untuk setan. “Lucifer” artinya adalah “Bintang Timur”. “Lucifer” adalah istilah yang dipakai untuk menterjemahkan helel dalam Yes. 14:12.

Lalu bagaimana “Lucifer” bisa menjadi nama untuk setan?

Kita tidak tahu persisnya siapa yang memulai, tetapi tulisan paling awal yang kita temukan menafsirkan seperti demikian adalah dari Tertullian (c. AD 160-220) dalam Against Marcion 5.11, 17 dan Origen (c. AD 184-254) dalam De Principiis 1.5.5. Origen, khususnya, melihat kaitan Yes. 14:12-15 ini dengan Lukas 10:18 dimana Yesus mengatakan, “Aku melihat iblis jatuh seperti kilat dari langit”.

Tafsiran ini, dan juga karena Vulgate, menjadi populer di abad pertengahan. Tapi para reformator sepakat menolak tafsiran ini. Dan hampir seluruh penafsir modern juga menolak tafsiran itu.

Yes.14:12-15 berada di dalam konteks penghukuman Allah bagi bangsa-bangsa. Yesaya 13 membicarakan bagaimana Allah menghancurkan kesombongan manusia, dan Yesaya 14 menjadikan Babel sebagai contohnya. Babel dan raja babel adalah contoh yang paling tepat menggambarkan kesombongan manusia. Banyak literatur kuno tentang dongeng orang Kanaan memakai bahasa yang mirip, dimana dewa yang satu menantang dewa yang lain di dalam kesombongannya. Tetapi di dalam Yesaya, yang terjadi adalah manusia menantang Allah. Dan dengan kemiripan bahasa ini, Yesaya ingin mengatakan bahwa adalah sangat bodoh menjadikan diri kita sebagai Allah dan menantang Allah! Tapi tidak ada sedikit pun indikasi bahwa ayat ini berbicara tentang setan.

Lalu mengapa tafsiran bahwa “Lucifer” adalah setan dan Yes.14:12-15 membicarakan tentang setan, tetap populer? Saya kira salah satu penyebabnya adalah King James Version. Alkitab King James Version mempertahankan istilah “Lucifer” (bahasa Latin bukan bahasa Inggris!) untuk menterjemahkan helel dalam Yes. 14:12. Dengan kata lain, King James Version mengklaim bahwa “Lucifer” bukan sekedar istilah yang berarti “Bintang Timur” tapi merupakan sebuah nama.
How art thou fallen from heaven, O Lucifer, son of the morning! how art thou cut down to the ground, which didst weaken the nations! (Isa 14:12)
Maka berapapun populernya pendapat bahwa “Lucifer” adalah setan, itu tidak ada dasarnya di dalam Alkitab.

Wednesday, September 19, 2012

My Thesis Writing - 5

Ini mungkin salah satu periode hiatus terpanjang selama saya menulis blog. Sejak Juli saya sudah sedikit mengurus blog ini karena pontang-panting menyelesaikan thesis di tengah kesibukan pelayanan.

Berita baiknya, thesis saya sudah selesai. Saya sangat bersyukur untuk itu. Kemarin sore dan tadi pagi saya menyelesaikan seluruh proses printing (yang tidak diduga jadi suliiiitttt banget gara2 printer dan compatibility). Setelah selesai, saya tidak ingin tunda lagi, cepat2 saya ke tempat photocopy, dan balik lagi ke kampus menyerahkan tiga set thesis untuk diperiksa dan dinilai oleh para penguji.

Tidak ada sidang thesis di TTC. Untuk level M.Th, thesis akan dibaca oleh dua orang, yang satu adalah dosen Perjanjian Baru di TTC, dan yang satu lagi adalah dosen dari luar TTC (entah darimana, saya juga belum diberi tahu). Jika dua-duanya mengatakan lulus, maka saya lulus. Jika dua-duanya mengatakan tidak lulus, saya tidak lulus. Jika yang satu mengatakan lulus dan yang satu lagi tidak, maka akan dicari penguji yang ketiga. Saya berharaaaapppp… yang terjadi adalah yang pertama. Jangan sampai yang ketiga apalagi yang kedua!

Setelah berjuang selama lebih dari 1 tahun, sekarang tidak ada lagi yang bisa saya lakukan selain menunggu pemberitahuan mengenai hasilnya.

Saya belum bisa santai, walaupun sudah sangat kepengen nyantai. Masih harus membuat pre-pre-proposal untuk apply ke program D.Th. Sampai akhir Desember ini, di agenda saya masih ada 12X khotbah, 7X katekisasi, 2X perjamuan kudus, 1X baptisan, 3X khotbah dan pemberkatan nikah, 5X pergi ke luar Singapore, dan banyak rapat serta urusan lainnya. Saya benar-benar perlu istirahat.

Friday, August 31, 2012

Membaca Biografi Kristen

Beberapa kali saya menulis di blog ini tentang buku biografi Kristen yang saya baca. Sudah cukup lama saya tidak membaca buku biografi Kristen lagi. Sampai saya membaca sepotong tulisan dari John Piper dalam buku: Brothers, We Are Not Professionals, terjemahan The Boen Giok (Bandung: Pionir Jaya, 2011):

Teologi yang hidup. Orang-orang suci yang tidak sempurna dan inspiratif. Kisah-kisah anugerah. Inspirasi mendalam. Penghiburan terbaik. Saudaraku, itu layak memperoleh waktu berhargamu. Ingatlah kitab Ibrani pasal ke-11. Dan bacalah biografi Kristen.

Piper benar. Buku-buku biografi Kristen sangat berguna. Mereka membuka mata kita untuk melihat bagaimana Tuhan bekerja dalam hidup berbagai manusia dengan berbagai kondisi. Dan kita baru sadar “wow, Tuhan bisa bekerja begitu”. Mereka membuka wawasan kita bahwa dunia itu luas dan cara Tuhan bekerja itu lebih luas lagi. Mereka menolong kita untuk melihat bahwa kita bukan satu-satunya orang yang mengalami hal seperti itu. Kadang kita merasa pengalaman kita unik, tapi ternyata tidak. Mereka memberikan pelajaran berharga tentang iman, keberanian, dan hikmat dari saudara-saudara seiman. Kita tidak sendirian! Seperti yang dikatakan dalam Ibrani 12:1:

Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita

Maka sekarang saya mulai lagi membaca buku-buku biografi Kristen. Buku biografi adalah buku ‘ringan’ yang bisa dibaca dengan santai. Bagi saya waktu santai itu adalah di waktu pagi. Setiap hari 8-10 halaman cukup memberikan inspirasi kepada saya :)

Wednesday, August 29, 2012

Bilangan 9 – Ketaatan Total

Kitab Bilangan menceritakan bagaimana Tuhan membentuk Israel menjadi tentara Allah. Pemuda yang mampu berperang dari setiap suku dihitung. Urutan lokasi perkemahan diatur. Urutan berbaris diatur. Cara meniup terompet untuk memanggil berkumpul dan bergerak ditetapkan. Teriakan perang juga diserukan setiap kali akan bergerak dan berkemah: “Apabila tabut itu berangkat, berkatalah Musa:

Bangkitlah, TUHAN, supaya musuh-Mu berserak dan orang-orang yang membenci Engkau melarikan diri dari hadapan-Mu." Dan apabila tabut itu berhenti, berkatalah ia: "Kembalilah, TUHAN, kepada umat Israel yang beribu-ribu laksa ini. (Bil 10:35-36).

Dan jelas sekali dari awal, pemimpin tertinggi mereka adalah: TUHAN.

Bilangan 9:17-23 sangat menarik:

Setiap kali awan itu naik dari atas Kemah, maka orang Israelpun berangkatlah, dan di tempat awan itu diam, di sanalah orang Israel berkemah. Atas titah TUHAN orang Israel berangkat dan atas titah TUHAN juga mereka berkemah; selama awan itu diam di atas Kemah Suci, mereka tetap berkemah.

Kelihatannya mudah? Coba lihat lagi kalimat berikutnya:

Apabila awan itu lama tinggal di atas Kemah Suci, maka orang Israel memelihara kewajibannya kepada TUHAN, dan tidaklah mereka berangkat.

Ada kalanya awan itu hanya tinggal beberapa hari di atas Kemah Suci; maka atas titah TUHAN mereka berkemah dan atas titah TUHAN juga mereka berangkat.

Ada kalanya awan itu tinggal dari petang sampai pagi; ketika awan itu naik pada waktu pagi, merekapun berangkatlah; baik pada waktu siang baik pada waktu malam, apabila awan itu naik, merekapun berangkatlah.

Berapa lamapun juga awan itu diam di atas Kemah Suci, baik dua hari, baik sebulan atau lebih lama, maka orang Israel tetap berkemah dan tidak berangkat; tetapi apabila awan itu naik, barulah mereka berangkat.

Atas titah TUHAN mereka berkemah dan atas titah TUHAN juga mereka berangkat; mereka memelihara kewajibannya kepada TUHAN, menurut titah TUHAN dengan perantaraan Musa.

Masih kelihatan mudah? Pasti karena kita tidak mengalaminya!

Bayangkan berapa repotnya memasang tenda. Ini bukan camping! Ini tinggal, lengkap dengan membawa keluarga, anak-anak, orang tua, bahkan ternak. Mereka harus unpacking, membongkar baju, peralatan masak, perlengkapan tidur, dan sebagainya. Dan… tanpa tahu kapan harus packing lagi! Kalau kita tinggal di hotel dan kita tahu hanya akan tinggal tiga hari, maka kita akan memilih apa yang dibawa dari rumah, apa yang dikeluarkan di hotel dan apa yang dibiarkan di koper. Tapi orang Israel tidak tahu itu.

Mereka sampai di suatu tempat, mereka harus unpacking. Dan kapan mereka packing lagi? Tidak tahu. Bisa lama sekali, bisa sebulan, bisa dua hari, bahkan bisa tidak sampai 24 jam!

Tapi Bilangan 9 menceritakan ketaatan yang luar biasa dari orang Israel. Mereka berangkat, mereka berkemah, sesuai titah Tuhan. Mereka berjalan ketika diperintahkan. Mereka tidak berjalan ketika tidak diperintahkan. Mereka tentara Tuhan!

Tuhan tidak bermaksud membuat mereka susah. Tuhan tidak bermaksud membuat hidup mereka tidak tenang. Tapi Tuhan bermaksud mengajar mereka ketaatan total. Mereka tentara Tuhan dan ketaatan mereka kepada Tuhan harus total.

Maukah kita diajar Tuhan seperti itu? Maukah kita ikut pimpinanNya, berjalan atau berkemah? Maukah kita taat total?

Wednesday, August 08, 2012

Pemudi Kesayangan Allah

Tulisan ini saya temukan di blog ini (dalam versi yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diedit). Saya meminta versi bahasa Indonesianya yang ternyata dia temukan dalam sebuah milis. Dari ciri-ciri tulisannya, saya kira aslinya tulisan ini memang dibuat dalam bahasa Inggris. Entah darimana asalnya. Tapi saya menemukan bahwa tulisan ini menyampaikan pesan yang sangat kuat. Saya hanya mengedit secukupnya. Selamat membaca!

(Dipersembahkan bagi para lajang Kristen)


Pemudi kesayangan Allah, ketika aku memperhatikanmu malam ini, aku berharap dapat memperoleh kesempatan untuk bercakap-cakap denganmu. Aku memperhatikan wajahmu yang cantik sementara engkau menyanyi dan menyembah. Engkau mengingatkanku akan diriku sendiri tujuh tahun yang lalu.

Sehabis kebaktian, aku memperhatikan bagaimana engkau masuk ke dalam mobil dengan seorang pemuda yang tak mengenal Allah. Memang benar dia berada di gereja malam ini, dia bahkan maju ke depan dan menitikkan sedikit air mata.

Tujuh tahun silam aku berada di dalam keadaan seperti dirimu. Aku telah mengenal Allah sejak awal masa remajaku dan bertumbuh di bawah khotbah dan pengajaran yang diurapi Allah. Aku tak kekurangan teman-teman pemuda maupun mereka yang mengajakku pergi, seperti yang seringkali terjadi di dalam gereja dimana para pemudi jumlahnya lebih banyak dari para pemuda. Beberapa pemuda yang amat baik dan penuh pengabdian mencoba mendekatiku, namun iblis yang tak pernah lalai memperhatikanku, menunggu dengan sabar untuk menjerat jiwaku, dan ia melihatku ketika aku sedang suam-suam kuku. Aku memang masih pergi ke gereja dan memainkan accordionku dan menyanyi dan melakukan semua hal-hal yang tampak benar secara lahiriah. Namun aku tak pernah lagi punya waktu-waktu khusus dengan Allah dimana kehendakNya dan kehendakku menjadi satu.

Aku berjumpa dengan pemuda itu di tempat kerjaku. Dan tak lama kemudian, tanpa ada yang mengetahuinya, aku merasa seakan-akan aku tak dapat hidup tanpa dia. Dia tahu tentang gerejaku dan ketika ia hadir bersama denganku, ia maju ke depan, menangis, dan akhirnya aku menikahinya, padahal keluargaku dan mereka yang mengasihiku menangis dan merasakan kepedihan. Baru enam bulan kemudian aku menjadi sadar bahwa jiwaku berada di dalam bahaya dan bahwa aku membutuhkan jamahan Allah. Aku berdoa dan menemukan Allah. Lalu pertikaianpun dimulai. Dia tak mau ke gereja lagi. Aku dapat menghitung dengan jari-jariku saat-saat dimana ia pergi ke gereja selama tujuh tahun terakhir ini!

Sebelum menikahinya, pemikiran untuk hidup tanpa dia sungguh tak tertahankan. "Betapa sepinya!" pikirku. Namun sekarang ini aku baru tahu apa arti kesepian yang sesungguhnya, dan aku ingin menceritakannya kepadamu.

Kesepian itu adalah ketika aku menerima berkat Allah dan pulang ke rumah kepada seorang pria yang tak dapat berbagi rasa tentang hal itu denganku. Dia tak menaruh minat; dia sedang menonton televisi.

Kesepian itu adalah ketika aku pergi ke suatu kegiatan gereja seorang diri dan memperhatikan pasangan-pasangan muda lainnya menikmati berkat Allah bersama-sama. Aku boleh memilih, pergi sendiri atau tinggal di rumah sendiri; sebab dia punya minat yang lain.

Kesepian itu adalah merasakan adanya urgensi akan kedatangan Kristus yang sudah semakin dekat dan tahu bahwa orang yang paling engkau kasihi di bumi ini belum siap, bahkan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kepedulian.

Kesepian itu adalah melihat dua anak dilahirkan dan tahu bahwa untuk dapat memiliki pengaruh atas mereka yang bisa melebihi pengaruhnya merupakan suatu mujizat.

Kesepian itu adalah pergi menghadiri suatu Konferensi dan melihat pasangan-pasangan muda yang benar-benar bersatu dan mempunyai dedikasi terhadap pekerjaan Allah dan kemudian melihat... itu dia pemuda yang dulu mengasihimu dan berniat menikahimu! Ia sedang berkhotbah dan masih tetap belum menikah. Oh Tuhan! Tolonglah aku! Aku tak boleh memikirkannya!

Kesepian itu adalah berbaring di ranjang tanpa dapat memejamkan mata oleh karena dihantui perasaan bahwa dia telah mengkhianati kesetiaanmu. Dan kemudian datanglah kepedihan yang tak tertahankan karena mengetahuinya secara pasti. Ia tak peduli kalau aku mengetahuinya. Wanita itu bahkan meneleponku. Setelah beberapa lama, ia berusaha memutuskan hubungan dengan wanita itu. Aku bersumpah bahwa aku akan melakukan apa saja yang dapat dilakukan oleh seorang manusia untuk mempertahankan pernikahan ini. Aku akan lebih banyak mengasihi dia dan lebih banyak berdoa baginya.

Kemudian, tujuh tahun telah berlalu! Sekarang ada dua anak kecil: perempuan dan laki-laki!

Kesepian itu adalah sekarang. Anak-anakku dan aku akan pulang ke apartemen yang gelap, kosong, yang akan merupakan tempat tinggalku sampai tiba saatnya pengacara memutuskan bahwa segala sesuatu telah berlalu. Aku, yang dulunya paling takut hidup sendirian, sekarang ini menyongsong datangnya ketenangan dan kesunyian itu. Ketika aku bercermin, aku melihat bahwa tujuh tahun tidaklah terlalu mengubah wajahku namun di dalam diriku aku telah menjadi tua, dan sesuatu yang dulunya hidup dan indah sekarang sudah mati.

Tentu saja ini bukanlah kisah yang tak lazim. Namun yang istimewa adalah bahwa aku masih tetap hidup bagi Allah. Aku bersyukur bagi keluargaku dan doa-doa syafaat mereka bagiku. 

Oh, aku berdoa bagimu, pemudi kesayangan Allah! Percayalah kepadaku, sebaik apapun dia itu, betapapun dia penuh kasih dan kelembutan, engkau takkan dapat membangun suatu kehidupan yang berbahagia di atas ketidaktaatan kepada Firman Allah. Engkau lihat, apapun yang tersedia bagiku di masa mendatang, aku telah kehilangan kehendakNya yang sempurna bagi hidupku. Aku takkan pernah berhenti membayar harganya oleh karena melanggar perintah Allah! Jangan sampai hal itu terjadi padamu!

"Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?" (II Korintus 6:14)

(Diambil dari majalah Vanguard)

Monday, August 06, 2012

Kelas Katekisasi

Banyak gereja mengadakan kelas katekisasi sebagai kelas persiapan untuk dibaptis/sidi. Sayang
sekali kelas ini sering dianggap kelas ‘terpaksa’ yang harus diikuti karena mau dibaptis/sidi. Padahal kelas katekisasi, kelas pembinaan, atau kelas apapun untuk belajar kebenaran seharusnya bukanlah kelas membosankan yang terpaksa harus diikuti. Belajar kebenaran itu menyenangkan, menarik dan membebaskan. Mungkin apa yang pernah saya lakukan dengan kelas katekisasi bisa membantu memberikan ide, khususnya bagi anda yang majelis atau hamba Tuhan.

Di GKY Singapore saya mengajar kelas katekisasi dengan Pengakuan Iman Rasuli, dan kemudian ditambah dengan topik2 lain. Sangat disayangkan, banyak gereja yang walaupun mengucapkan Pengakuan Iman Rasuli setiap minggu, banyak jemaatnya yang tidak mengerti maknanya dengan baik. Padahal Pengakuan Iman Rasuli adalah alat yang sangat berharga untuk mengajar jemaat. Apa yang kita percaya tentang Allah Tritunggal? Apa artinya 'dikandung dari Roh Kudus, lahir dari anak dara Maria’? Apa artinya ‘gereja yang kudus dan am’? Apa yang kita percaya dengan ‘kebangkitan tubuh’? dst.

GKY sebetulnya memiliki buku panduan katekisasi yang terdiri dari 16 bagian. Tetapi karena di GKY Singapore saya pontang-panting mengajar sendirian kelas katekisasi, kelas pra nikah, dsb, maka saya memutuskan untuk memadatkan kelas katekisasi menjadi hanya 8X pertemuan. Tidak ada topik yang dikorbankan tapi saya memilih hal-hal yang penting dan menjadikan kelas katekisasi sangat padat. Berikut adalah urutannya:

Pertemuan 1: Aku percaya kepada Allah, Bapa yang Mahakuasa, Khalik langit dan bumi (Apa artinya percaya kepada Allah, siapa Allah, dan konsep Allah Tritunggal)

Pertemuan 2: Aku percaya kepada Yesus Kristus… (Nama Yesus Kristus, Dwi Natur Yesus dan maknanya bagi kita, Kesengsaraan, Kebangkitan, Kenaikan dan Kedatangan Yesus yang kedua kali)

Pertemuan 3: Aku percaya kepada Roh Kudus (Karya Roh Kudus, Karunia Roh Kudus dan berbagai kesalahmengertian tentang Roh Kudus)

Pertemuan 4: Aku percaya kepada Gereja yang kudus dan am, persekutuan orang kudus (Pengertian tentang gereja)

Pertemuan 5: Aku percaya kepada pengampunan dosa, kebangkitan tubuh dan hidup yang kekal (Manusia diciptakan Allah, jatuh dalam dosa, jalan keselamatan dan jaminan keselamatan)

Pertemuan 6: Alkitab (Alkitab adalah Firman Allah, Memberiklan ringkasan benang merah Alkitab, Saran praktis bagaimana bersaat teduh)

Pertemuan 7: Ibadah dan Sakramen (Konsep ibadah, Perjamuan Kudus dan Baptisan Kudus)

Pertemuan 8: Kisah Gereja, Kisahku (Sejarah gereja singkat, Sejarah GKY, Peranku sebagai anggota GKY: kebaktian, doa, persembahan, pelayanan)

Saya sedang berpikir bahwa seharusnya tambah Pertemuan 9 untuk membahas bagaimana hidup sebagai orang percaya, bagaimana bertumbuh, berdoa, dan membaca Alkitab. Menurut saya 9X pertemuan itu sudah mencakup hal-hal paling dasar dalam kekristenan.

Tema-tema di atas berguna bukan hanya untuk mereka yang baru akan dibaptis/sidi tapi bagi semua orang Kristen. Saya sangat concern dengan banyaknya orang Kristen yang tidak lagi mengerti hal-hal paling dasar dalam kekristenan, mengenai pokok-pokok iman yang seharusnya mereka pegang. Salah satu cara yang bisa tapi jarang kita ‘pergunakan’ adalah kelas katekisasi. Maka di GKY Singapore, kelas itu kami buka untuk umum. Tentunya ada kewajiban hadir bagi yang ingin dibaptis/sidi, tapi bagi yang sekedar ikut mereka bebas untuk datang/tidak datang, bebas memilih untuk datang di pertemuan yang mana. Maka kelas katekisasi itu kami sebut sebagai Basic Christianity Class.

Ada satu tambahan ide lagi. Sejak tahun 2004 saya mengajar kelas katekisasi untuk remaja di GKY Green Ville (di sana kelas katekisasi dibagi dua: untuk yang usia remaja dan dewasa). Setelah beberapa kali memimpin kelas itu, sekitar tahun 2005 atau 2006 saya menambahkan ‘pertemuan kelompok’ di dalam kelas katekisasi. Kalau tidak salah ide ini saya dapatkan dari membaca buku “Post Modern Youth Ministry”. Setiap selesai pertemuan, peserta akan masuk ke dalam kelompok dengan pembimbingnya untuk mendiskusikan lebih lanjut apa yang sudah dibahas dan bagaimana menerapkannya dalam kehidupan. Saya melihat pola ini sangat baik. Dan akhirnya pola ini juga dipakai juga oleh kelas katekisasi umum (dewasa) di GKY Green Ville sampai sekarang.

Banyak hal bisa kita lakukan dengan kelas katekisasi. Kita bisa mengadakan Retreat di akhir kelas katekisasi. Tidak perlu banyak khotbah, tapi minta mereka banyak berdoa dan bersekutu dengan Tuhan. Kita bisa, seperti gereja awal, mengingatkan betapa seriusnya baptisan dengan meminta mereka berpuasa sebelum menerima baptisan/sidi. Tentunya banyak ide lain yang tidak semuanya bisa diterapkan di semua tempat. Tapi sungguh, kelas katekisasi, tidak seharusnya menjadi kelas ‘terpaksa’ tapi kelas mengajarkan kebenaran yang menarik, menyenangkan, dan membebaskan.

Thursday, July 19, 2012

Doctoral Study: Pro dan Kontra

Tulisan ini menyambung tulisan saya di post sebelumnya disini. Berikut ini adalah beberapa hal yang membuat saya berpikir bolak-balik, apakah saya harus mengambil studi D.Th?

Kontra: Senada seperti peringatan dari Piper, beberapa orang memperingatkan saya bahwa studi D.Th/Ph.D tidak ada gunanya untuk penggembalaan. Beberapa orang yang mendengar rencana saya untuk studi D.Th langsung bertanya apakah saya yakin ingin menjadi dosen di sekolah teologi? Pertimbangannya, kalau tidak maka untuk apa?

Pro: Sebagian orang mendorong saya untuk go ahead karena berbagai hal. Ada yang melihat ‘kesukaan’ saya belajar (padahal rasanya saya nggak suka2 amat dibanding orang lain). Ada yang melihat ‘kemampuan’ saya (ini apalagi, dari dulu saya bahkan yakin saya tidak mampu kuliah doktoral karena saya bukan scholar type). Ada juga yang melihat kebutuhan pelayanan di masa depan dan berpikir bahwa M.Th tidak akan cukup, maka kalau bisa, sekali lagi kalau bisa, teruskan sampai D.Th.

Ada dua kalimat dari dua orang dosen berbeda di TTC yang menambah ‘ramai’ pergumulan saya:

Ketika saya bertanya perlukah saya studi D.Th jika hanya melayani di gereja dan bukan seminari? Dia menjawab: “Kamu tidak akan pernah too qualified for the church of God. Kalau memang bisa, teruskan sampai di ujung (sampai D.Th).” Kalimat itu terngiang2 di telinga, GR banget berpikir kalau D.Th over qualified untuk ‘sekedar’ di gereja!

Dalam percakapan santai, seorang dosen lain berkata (tanpa ditanya): “Kalau kamu suka belajar walaupun sudah di ladang pelayanan. Kalau kamu suka untuk memikirkan hal2 yang akademis. Jangan tanya saya apakah studi lanjut adalah kehendak Tuhan, karena itu pasti kehendak Tuhan! Dari sekian banyak hamba Tuhan, tidak banyak yang suka untuk terus belajar dan memikirkan hal2 yang akademis, apalagi setelah sekian tahun melayani. Kalau kamu seperti itu, pergi studi”

Saya tetap optimis bahwa apa yang akan saya pelajari dalam studi D.Th berguna untuk pelayanan baik di sekolah teologi maupun gereja. Dan saya berpikir kalaupun andaikata jikalau… apa yang saya pelajari dalam studi D.Th itu tidak terlalu relevan dengan kehidupan penggembalaan, maka pola berpikir kritis, teologis, akademis, yang terbentuk karena studi itu pasti akan berguna.

Kontra: Tapi kemudian dosen yang sama bercerita tentang seorang Ph.D yang dia kenal. Menurut dia orang itu sama sekali tidak kelihatan ‘Ph.D’ nya. Cara berpikirnya, cara berkhotbahnya, semua tidak menunjukkan dia pernah kuliah Ph.D. Maka orang itu, menurut dia, hanya kuliah demi selembar kertas. Artinya adalah mungkin untuk kuliah Ph.D tanpa guna!

Dan kemudian saya mendengar cerita serupa dari seorang dosen sebuah seminari di Indonesia. Ada orang dengan Ph.D dari universitas terkemuka, tidak kelihatan sama sekali sisa2 ‘Ph.D’nya! Lalu apa gunanya dulu dia kuliah Ph.D? Confirmed, ternyata mungkin untuk kuliah Ph.D tanpa guna.

Pro: Saya berpikir, “tapi itu kan mereka”. Saya sudah merasakan manfaatnya kuliah M.Th, bukan soal pengetahuan tapi cara berpikir. Maka saya pikir saya tidak akan kuliah D.Th tanpa guna dan rasanya bisa.

Kontra: Mengapa tidak ambil D.Min saja? M.Th sudah memberi bekal pola akademis, maka sekarang cukup D.Min sebagai refleksi ulang seluruh pelayanan dan konsep teologi. M.Th + D.Min adalah kombinasi yang baik, bahkan berguna karena lebih ‘siap pakai’ untuk pelayanan. Waktu studi tidak terlalu panjang, beban tidak terlalu berat, dan saya bisa terus self-study dalam hal yang akademis.

Pro: Mungkinkah terbalik? Saya seharusnya studi yang akademis, lalu self-study mengenai bagaimana penerapannya.

Sudah selesai pikir bolak-baliknya? Belum!

Kontra: Beberapa kali dalam waktu dekat ini saya bertemu atau mendengar tentang orang2 yang meninggal pada usia yang cukup muda. Pengalaman itu membuat saya bertanya2, kalau saya tahu waktu saya tinggal sebentar lagi apakah saya masih mau studi? Saya yakin tidak. Dalam hati, saya lebih ingin meninggal di tengah pelayanan dan bukan di tengah studi. Banyak cerita tentang orang yang selesai studi Ph.D tidak lama kemudian meninggal. Maka ada yang berkata Ph.D = Permanent Head Damage. Dan Th.D = Thoroughly Dumb :-)

Pro: Tapi saya pikir balik lagi, saya bukan Tuhan. Saya tidak tahu umur saya. Maka dalam ketidaktahuan ini, yang harus saya lakukan adalah memilih yang terbaik yang saya tahu. Kalau saya tahu umur tidak panjang lagi, maka yang terbaik adalah tidak perlu studi. Untuk apa studi? Tapi karena saya tidak tahu, MUNGKIN yang terbaik adalah studi untuk mempersiapkan diri bagi pelayanan masa depan.

Masih banyak pikiran lain: Saya mulai lelah dengan proses studi, mampukah saya untuk meneruskannya? Saya ingin cepat bisa kembali ke Indonesia. Saya juga memikirkan keluarga. Tapi saya juga melihat bahwa betul kebutuhan pelayanan akan makin besar, dan mungkin saya perlu studi D.Th. Lagipula kesempatan studi ini now or never untuk saya. Tapi bagaimana kalau saya tidak mampu? Atau mungkin saya mampu tapi sudah lelah? Atau jangan2 lelah karena sekarang ini studi sambil pelayanan dan akan beda kalau hanya studi saja. Dan seterusnya… dan seterusnya…

Pergumulan belum selesai dan kisah saya juga belum selesai :-) Saya kira setiap kita akan bergumul pro dan kontra untuk setiap keputusan besar yang akan kita jalani. Dan rekan-rekan yang memutuskan untuk mengambil atau tidak mengambil D.Th/Ph.D mungkin bergumul yang sama seperti saya. Ada masukan lagi untuk menambah ramai pergumulan saya? Adakah yang belum saya pikirkan?

Sunday, July 15, 2012

Berbagai Gelar Teologi

(4th Revision - With minor addition)

Dunia pendidikan teologi bagi jemaat kebanyakan sangat rumit, bukan hanya soal apa yang dipelajari disana (ada yang berpikir sekolah teologi mengajar urutan Kejadian-Wahyu, maka pertanyaannya “udah sampai kitab apa?”), tapi juga soal gelarnya. Banyak jemaat hanya tahu pokoknya depannya ‘S’, ‘M’ atau ‘D’.  Banyak hamba Tuhan pun tidak terlalu jelas soal ini. Lebih rumit lagi karena negara yang berbeda, bahkan sekolah yang berbeda, bisa memberikan arti yang berbeda untuk gelar yang diberikan.

Berikut ini saya coba menyederhanakan penjelasan untuk gelar-gelar teologi yang umum dikenal di Indonesia:

Undergraduate Degree
Bagi mereka yang belum punya gelar S1 umum, maka pilihannya hanyalah mengambil program: Sarjana Theologi (S.Th) atau jika di luar negeri disebut Bachelor of Theology (B.Th), atau Bachelor of Arts in Theology atau Divinity, atau Bachelor of Divinity (B.D.).
Note: Di beberapa tempat, B.D memiliki pengertian yang berbeda. Misalnya di Moore (Australia), B.D hanya boleh diambil oleh mereka yang sudah memiliki gelar S1 - mungkin setara dengan Master of Divinity (M.Div), sementara di Cambridge University (UK), B.D bahkan setara dengan Ph.D.

Undergraduate or Postgraduate Degree?
Bagi mereka yang sudah punya S1 umum, maka pilihannya lebih luas:
1. Master of Theological Studies (MTS)/Master of Christian Studies (MCS). Biasanya ini program untuk mereka yang hanya mau belajar teologi tapi tidak bertujuan menjadi hamba Tuhan full time. Programnya umumnya 2 tahun.
2. Master of Art (MA) - dalam berbagai bidang. Sejajar dengan program MTS/MCS. Programnya umumnya juga 2 tahun. Perbedaannya adalah bidang studi dalam Master of Arts biasanya lebih spesifik.
3. Master of Divinity (M.Div). Biasanya M.Div dianggap lebih tinggi dari MTS/MCS/MA karena jumlah SKS yang lebih banyak. Programnya umumnya 3 tahun. Mata kuliah dalam program M.Div mencakup banyak bidang sehingga menjadi program studi teologi yang bersifat komprehensif. Di Amerika (dan mungkin banyak negara lain), gelar M.Div adalah untuk mereka yang mau melayani full time di gereja atau ditahbis menjadi pendeta. Bahkan di banyak gereja, seseorang tidak akan ditahbis menjadi pendeta tanpa gelar M.Div.
4. Master of Ministry (M.Min). Program ini di beberapa tempat hanya untuk mereka yang sudah punya gelar teologi sebelumnya (S.Th/BD/B.Th, MTS/MCS, MA, M.Div). Maka in that sense, ini program post-graduate. Tapi ini bukan program riset akademis, hanya berupa refleksi lebih jauh akan pelayanan. Saya anggap ini sebagai program ‘refreshing’ untuk para hamba Tuhan. Tapi di beberapa tempat program ini juga bisa diambil oleh mereka yang tidak punya gelar teologi (asal punya S1 umum). Maka in that sense, program ini juga seperti program MTS/MCS/MA. Tetapi dalam kasus yang terakhir ini, M.Min akan dipandang lebih rendah daripada MTS/MCS/MA karena jumlah kreditnya lebih sedikit. Programnya sekitar 1-2 tahun.

Berbagai Master di atas sebetulnya ambigu. Disebut Master karena sudah punya S1. Tapi di dalam bidang teologi, mereka adalah undergraduate (kecuali M.Min di beberapa tempat) karena sebetulnya semua itu adalah gelar tahap pertama dalam bidang teologi. Sebagai contoh: Di TTC, mahasiswa Bachelor of Divinity dan Master of Divinity kuliah bersama dan seluruh mata kuliah dan tuntutan sama. Tapi ketika lulus, yang sudah punya S1 umum diberikan M.Div dan yang belum punya S1 diberikan BD. Sesederhana itu! Tetapi berbagai program Master di atas juga memang Master betulan karena dari situ, asalkan mampu (tentu dengan tuntutan yang besar), mereka bisa langsung meneruskan ke jenjang Ph.D (kecuali M.Min). Sementara mereka yang hanya memiliki gelar Sarjana Theologi (S.Th)/Bachelor of Theology (B.Th)/Bachelor of Divinity (B.D) tidak bisa langsung ke Ph.D. (Kecuali Bachelor of Divinity di beberapa tempat, lihat keterangan di atas).

Postgraduate Degree (Master)
Master of Theology (M.Th). Di dalam bidang teologi, M.Th adalah Master ‘yang sebenarnya’ karena program ini hanya boleh diambil oleh mereka yang punya gelar teologi sebelumnya. Dan berbeda dengan semua program Master yang undergraduate di atas, program ini bersifat riset akademis. Kadang orang bingung kenapa sudah punya Master (M.Div) kok ambil Master (M.Th) lagi? Jelas beda sekali!

Sekarang ini di Indonesia karena peraturan pemerintah, muncul kebingungan mengenai gelar Master of Divinity (M.Div) dan Master of Theology (M.Th). Pemerintah hanya mengenal jenjang S1, S2 dan S3. Dalam skema itu, kemana M.Div harus dikategorikan? Banyak sekolah teologi mengambil kebijakan mengubah program M.Div nya menjadi M.Th. Tetapi yang saya sesalkan adalah tidak adanya kesepakatan antara sekolah-sekolah teologi di Indonesia mengenai cara pengubahannya. Ada yang menambahkan tuntutan, misalnya menambahkan mata kuliah atau menambahkan tuntutan menulis thesis. Ada yang mengubahnya menjadi M.Th Praktika yang tanpa penulisan thesis (dibedakan dengan M.Th Teologi yang harus menulis thesis). Maka sekarang pengertian apa itu M.Th menjadi sangat berbeda di antara sekolah-sekolah teologi.

Tambahan: Saya dengar sekarang di Indonesia, pemerintah mengkategorikan M.Div dan D.Min sebagai gelar profesi dan bukan gelar akademis (mungkin saya salah). Artinya tidak dianggap sebagai gelar S2 dan S3 di dalam konteks akademis. Sementara itu, gelar seperti MA justru dianggap S2 (saya tidak tahu bagaimana mengenai gelar MTS/MCS). Ini memang membingungkan karena di luar negeri mereka yang memiliki gelar M.Div sebenarnya bisa langsung mengambil D.Th/Ph.D.

Postgraduate Degree (Doctor) - Profesi
Doctor of Ministry (D.Min) adalah program untuk mereka yang punya gelar teologi (biasanya M.Div) dan sudah sekian tahun melayani sebagai hamba Tuhan. Program ini mengajak untuk menata kembali kaitan antara teologi dengan pelayanan mereka. Programnya berupa refleksi teologis kadang dicampur dengan riset lapangan. Penekanannya adalah bagaimana menerapkan teologi dan kemampuan berpikir kritis dalam pelayanan. Seringkali ini disebut sebagai Doctor dalam profesi, beda banget dengan Doctor dalam riset akademis. Programnya biasanya dirancang 3-5 tahun part time, untuk para hamba Tuhan yang tidak bisa meninggalkan pelayanan untuk studi. Sebagai pembanding, jika D.Min bisa diselesaikan dalam 3-5 tahun secara part time, D.Th/Ph.D memerlukan 3-7 tahun full time.

Postgraduate Degree (Doctor) - Riset
Dalam bidang teologi, Doctor yang bersifat riset akademis hanyalah Doctor of Theology (D.Th/D.Theol)/Theological Doctor (Th.D) dan Philosophical Doctor (Ph.D)/Doctor of Philosophy (D.Phil). 

Sebagian orang berpikir Ph.D lebih tinggi dari D.Th. Sebetulnya tidak begitu (kalau tidak percaya silakan research di google atau bandingkan di berbagai sekolah). Boston University dan Duke University misalnya memberikan kedua gelar itu, dan jelas di dalam katalog mereka bahwa keduanya sejajar, tuntutannya sama, lama kuliahnya sama, semua sama. Perbedaannya adalah Ph.D biasanya diberikan oleh University dan bersifat inter-disciplinary (dikaitkan dengan berbagai ilmu yang lebih luas), sementara D.Th biasanya diberikan oleh Seminari/Divinity School dari University. Maka Ph.D bisa mengajar di Universitas atau Seminari sementara biasanya D.Th hanya mengajar di Seminari. Ditambah lagi, Ph.D adalah gelar yang lebih umum dan 'terkenal' dibanding D.Th. Mungkin itu yang menyebabkan orang berpikir Ph.D lebih tinggi dari D.Th. Andy Rowell, di dalam blognya (http://www.andyrowell.net/andy_rowell/2009/03/advice-about-duke-thd-and-phd-programs-in-theology.html) memberikan perbandingan program Th.D dan Ph.D di Duke University.

Program D.Th/Ph.D di UK, Singapore, Australia (dan saya tidak tahu negara mana lagi) dirancang untuk minimal 3 tahun full time. Dari hari pertama masuk sampai lulus hanya mengerjakan disertasi, tanpa ada kuliah wajib. Program D.Th/Ph.D di USA dirancang untuk minimal 4 (atau 5 tahun) full time. Selama 2 tahun (atau 3 tahun) pertama mengikuti kuliah, 1 tahun persiapan dan ujian komprehensif, lalu 1 tahun mengerjakan disertasi. Larry Hurtado, di dalam blognya (http://larryhurtado.wordpress.com/2014/09/18/phd-studies-in-the-uk-and-edinburgh-in-particular/) memberikan sedikit gambaran perbandingan program Ph.D di UK dan US.

Apa yang saya sebutkan di atas hanya sebagian dari berbagai gelar dalam bidang teologi. Dengan berbagai variasi yang ada, sebetulnya tidak mudah mengenali nilai gelar seseorang. Maka jangan hanya melihat huruf depannya: “S”, “B”, “M” atau “D”. Jangan hanya melihat gelarnya apa atau lulusan dari negara mana, tapi kita perlu tahu dulu dari universitas/seminari mana. Setelah itu baru bisa mencari tahu seperti apa universitas/seminari itu dan seperti apa program itu di situ. Sejujurnya banyak gelar teologi "abal-abal". Sekalipun gelar sungguhan dan berasal dari sekolah sungguhan tapi mutunya bisa sangat dipertanyakan.

Sebenarnya sama seperti waktu kita mendengar orang punya Sarjana Teknik dari universitas A di kota A atau dari universitas B di kota B, maka kita langsung bisa membayangkan bedanya. Demikian pula gelar teologi. Saat ini, di Indonesia, dengan berbagai pengertian yang berbeda akan program M.Div dan M.Th, juga menuntut kita untuk tahu persis apa gelarnya, darimana gelar itu, dan seperti apa programnya, baru bisa menentukan "nilai" gelar itu.

Bagi pembaca yang bukan hamba Tuhan, saya harap tulisan ini menolong memperjelas dan bukan memperbingung. Bagi pembaca yang hamba Tuhan, jika tahu ada informasi di atas yang salah, silakan berikan comment dan kita bisa diskusikan.

Friday, July 06, 2012

Doctoral Study: Pandangan John Piper

Tulisan di bawah ini adalah wawancara dengan John Piper yang dimuat disini. Ini adalah salah satu artikel yang membuat saya bergumul apakah saya akan mengambil program D.Th/Ph.D. Di bawah ini adalah terjemahan bebas dari saya:

Sebagai orang yang sudah melewati studi Ph.D, apakah anda akan merekomendasikan hamba Tuhan lain untuk mengambil pendidikan di jalur itu juga?
 
Maksud anda, hamba Tuhan yang sudah menggembalakan di gereja atau yang masih berencana untuk menggembalakan? Saya akan menjawab untuk keduanya.

Jika anda sudah menjadi gembala, saya tidak menyarankan untuk mengambil Ph.D. Anda harus bekerja sangat keras untuk itu dan hasilnya sangat kecil. Sangat kecil.

Ketika saya mengatakan sangat kecil, saya tidak berarti mempelajari Alkitab akan kecil hasilnya. Tetapi karena anda harus membaca begitu banyak sampah untuk mendapatkan Ph.D. Anda harus menjadi ahli dalam apa yang dikatakan oleh orang lain, yang kebanyakan adalah salah.

Kebanyakan yang ditulis di dunia ini tidak benar. Dan seorang Ph.D harus menjadi seorang ahli. Maka anda harus membaca banyak sekali materi yang sama sekali tidak menolong.

Saya pikir harus ada orang yang melakukan itu. Saya senang ada seorang Don Carson yang seperti sudah membaca segala sesuatu di bawah matahari, maka punya kapasitas untuk berespon dengan baik.

Saya sangat setuju ada kebutuhan lapisan akademis yang sadar apa yang terjadi di luar sana dan bisa mengajar dan menulis. Maka, ya dan amin.

Tetapi penggembalan bukanlah itu. Penggembalaan terutama bukanlah tempat dimana anda harus tahu semua hal salah yang pernah dikatakan orang tentang sepotong kecil biblical theology. Penggembalaan adalah menggembalakan orang dari Firman.

Sekarang kembali ke hal yang positif: Jika program Ph.D disusun -dan ada beberapa yang seperti itu!- untuk membuat anda mempelajari Alkitab selama tiga atau empat tahun dan mengerti implikasinya yang lebih besar untuk kehidupan dan realitas, maka, dalam perjalanan anda menuju ke penggembalaan, itu bisa sangat bernilai.

Tapi program Ph.D saya tidak disusun seperti itu. Dan ketika saya selesai dengan tiga tahun itu, saya hanya mendapat selembar kertas, bahasa Jerman, dan apresiasi kepada teologi yang akademis; tetapi saya tidak bertumbuh banyak, kecuali yang saya bisa peroleh sendiri.

Maka adalah mungkin untuk mengambil Ph.D yang bodoh untuk selembar kertas. Saya jauh lebih suka anda mengambil Ph.D yang bijaksana – yaitu, pergi ke tempat dimana mereka mengizinkan anda terutama mempelajari Alkitab. Ya, anda akan harus membaca materi lain. Tetapi anda ingin keluar setelah tiga tahun dengan pengertian yang besar, dalam, kuat, mantap, akan Allah dan jalan-jalanNya di dalam dunia, bukan hanya sepotong kecil apa yang ribuan orang ngaco katakan tentang sepotong kecil ayat di dalam Alkitab. Itu adalah cara menggunakan tiga tahun yang sangat menyedihkan.

Dan jika anda sudah menggembalakan, tetapkan diri untuk mempelajari Alkitab dan mengambil kelas-kelas. Tapi jangan kuatir dengan gelar.

Saya bahkan tidak pernah membuka tabung tempat ijazah saya sejak 1974! Saya belum membukanya! Ada di laci. Tidak ada orang yang tanya tentang itu. Itu tidak ada artinya lagi. (Mungkin itu berlebihan).

Saturday, June 30, 2012

Bahan Saat Teduh

Lebih dari dua tahun yang lalu saya memulai proyek membaca tafsiran Perjanjian Baru khususnya saya menulis tentang itu disini). Saya sudah membaca tafsiran untuk hampir seluruh kitab dalam Perjanjian Baru, hanya tinggal lima kitab yang tersisa: Roma, Kolose, Filemon, Ibrani, dan Yakobus. Tapi akhirnya saya memutuskan untuk berhenti dulu.

Sebetulnya saya membaca tafsiran di dalam rangka saat teduh. Awalnya saya menikmati saat teduh dengan cara itu, tapi lama kelamaan saat teduh saya menjadi kering. Mungkin karena mood? Mungkin juga karena pilihan buku tafsiran saya (buku tafsiran ada yang enak untuk dibaca, ada yang enak untuk dipelajari, ada yang sama sekali tidak enak!). Dan saya memutuskan bahwa saat teduh lebih berarti buat saya daripada sekedar membaca buku tafsiran. Saya masih akan membaca buku-buku tafsiran sebagai bagian dari studi, tapi sementara bukan lagi bagian dari saat teduh.

Seringkali saya mendengar orang berkata ‘saat teduh’nya kering, bosan, tidak dapat apa-apa. Ada beberapa kemungkinan untuk itu:
1. Mungkin waktu yang diberikan terlalu sedikit. Akhirnya saat teduh menjadi sekedarnya.
2. Mungkin saat teduh sama sekali tidak teduh, dilakukan di tempat ramai, di bis, di kantor, dengan iphone, ipad, dsb.
3. Mungkin saat teduhnya hanya informatif, membaca, mengerti, tapi tidak merenungkannya.
4. Mungkin saatnya untuk mengganti ‘bahan’ saat teduh. ‘Bahan’ saat teduh yang biasanya berupa buku renungan harian ditulis oleh manusia dan tidak tentu cocok dengan kita. Dalam kasus saya, buku tafsiran tertentu belum tentu cocok dengan saya untuk dipakai bersaat teduh.

Saya sendiri beberapa kali mengganti ‘bahan’ bersaat teduh. Saya pernah menggunakan buku Renungan Harian, Santapan Harian, Encounter With God. Saya pernah membaca hanya Alkitab saja berurutan dari Kejadian-Wahyu beberapa kali. Saya pernah menggunakan beberapa buku perenungan singkat seperti khotbah (satu artikel per hari). Saya pernah menggunakan buku liturgi harian (ada bacaan Alkitab, ada kisah singkat, ada doa, persis seperti liturgi). Dan saya pernah menggunakan buku-buku tafsiran. Saat ini saya sedang kembali membaca hanya Alkitab saja dengan bantuan NIV Study Bible. Rencananya saya ingin membaca ulang seluruh Alkitab dalam 80 minggu (sampai 31 Desember 2013), mudah-mudahan.

Jangan berhenti saat teduh, jangan biarkan saat teduh menjadi 'kering'. Apapun ‘bahan’nya, caranya, metodenya, yang paling penting adalah kita bersaat teduh dengan baik: membaca Firman Tuhan dan merenungkannya, mendoakannya, dan bersekutu dengan Tuhan. Dan itu lebih penting dari segalanya.

Tuesday, June 26, 2012

Pengakuan Iman Nicea

Salah satu pokok iman yang paling penting bagi orang Kristen adalah ke-Tritunggal-an Allah.
Pengakuan akan Allah Tritunggal inilah yang mempersatukan banyak orang Protestan, Anglican, gereja Ortodox, Assyrian, maupun Katolik Roma. Dan pengakuan iman yang sangat kuat menegaskan ke-Tritunggal-an Allah ini adalah Pengakuan Iman Nicea.

Pada akhir abad ketiga, seorang penatua gereja Alexandria bernama Arius menyatakan bahwa Kristus diciptakan oleh Bapa. Teologi ini diterima oleh sebagian orang sebagai salah satu solusi untuk menjelaskan Allah dalam tiga pribadi. Banyak uskup gelisah dan menganggap ajaran Arius ini sesat. Maka sebagai respons terhadap Arianisme itulah Konsili Nicea diadakan pada tahun 325 AD.

Kaisar Constantine I mengumpulkan para uskup gereja-gereja di Nicea di Bithynia (sekarang daerah Turki). Diceritakan bahwa Constantine mengundang 1800 uskup. Walaupun banyak yang tidak hadir, tapi mereka yang hadir mewakili berbagai daerah dan dianggap bersifat universal. Setelah sidang di Yerusalem (Kis 15), ini adalah pertama kalinya gereja-gereja berusaha mencapai kesepakatan melalui perwakilan dari seluruh gereja. Melalui konsili ini lahirlah pengakuan iman Nicea yang pertama. Dari beberapa ratus uskup yang hadir, hanya Arius dan dua uskup lain yang menolak rumusan Pengakuan Iman Nicea. Beberapa uskup yang tadinya mendukung Arius pun berbalik karena melihat kesesatan ajaran Arius. Maka Arius dan pendukungnya dikucilkan.

Pengakuan Iman Nicea kemudian berkembang seiring dengan bertambahnya tantangan. Pada tahun 381 dalam Konsili di Konstantinopel, bapa-bapa gereja terpaksa berhadapan dengan Macedonianisme. Pengikut Macedonian ini menolak natur keilahian Roh Kudus. Sebagai respons, bapa-bapa gereja ini menekankan keilahian dan kemanusiaan Kristus dan menambahkan pernyataan yang berkaitan dengan Roh Kudus dan karyaNya di dunia melalui gereja di dalam Pengakuan Iman Nicea. Maka lahirlah pengakuan iman Nicea yang kemudian dipergunakan di Timur.

Setelah itu di Barat, Arianisme masih hidup dan berkembang di suku-suku Jerman yang waktu itu mulai merangsek masuk ke Kekaisaran Romawi yang sudah lemah. Sebagai respons, teolog-teolog orthodoks di gereja Latin menekankan doktrin bahwa Roh Kudus keluar dari Bapa dan Anak. Kalimat itu ditambahkan ke pengakuan iman Nicea. Maka lahirlah pengakuan iman Nicea versi terakhir yang dikenal secara umum di Barat.

Pengakuan Iman Nicea, warisan bagi semua orang Kristen, adalah salah satu produk paling penting dalam sejarah gereja. Konsili Nicea dibuka dengan resmi pada tanggal 20 Mei. Dan Pengakuan Iman Nicea disahkan pada tanggal 19 Juni - tepat minggu lalu - 1687 tahun yang lalu.

Di bawah ini adalah Pengakuan Iman Nicea versi terakhir itu (dalam bahasa Indonesia):

Aku percaya kepada Allah yang Esa, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, serta segala sesuatu yang nampak maupun tak nampak.
Dan kepada satu Tuhan Yesus Kristus, Anak Tunggal Allah, diperanakkan dari Bapa sebelum segala ciptaan; Allah dari allah, Terang dari terang, Allah yang sejati; diperanakkan, bukan diciptakan, sehakekat dengan Bapa, dan oleh-Nya segala sesuatu diciptakan. Yang untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita, turun dari surga, dan berinkarnasi oleh Roh Kudus melalui anak dara Maria, dan menjadi manusia. Dia disalibkan bagi kita di bawah pemerintahan Pontius Pilatus; menderita dan dikuburkan; dan pada hari yang ketiga bangkit kembali, sesuai dengan Alkitab; naik ke surga, duduk di sebelah kanan Bapa; dan Ia akan datang kembali, dengan kemuliaan, untuk menghakimi yang hidup dan yang mati; dan Kerajaan-Nya akan kekal selamanya. 
Dan aku percaya kepada Roh Kudus, Tuhan dan Sumber Kehidupan; yang keluar dari Allah Bapa dan Allah Anak, yang bersama-sama dengan Allah Bapa dan Allah Anak disembah dan dimuliakan, yang telah berfirman dengan perantaraan para nabi. Dan aku percaya kepada gereja rasuli yang kudus, esa, dan am. Aku mengakui satu baptisan untuk penebusan dosa, dan aku menantikan kebangkitan orang mati, dan kehidupan di dunia yang akan datang.
AMIN

Notes:
1. Karena pengakuan iman Nicea tidak dibacakan oleh kebanyakan gereja di Indonesia, maka sulit menentukan terjemahan 'standar'. Terjemahan di atas saya ambil dari beberapa sumber dan saya cocokkan dengan teks bahasa Inggris.
2. Gambar di atas adalah Kaisar Constantine (di tengah) dengan beberapa bapa gereja, memegang naskah Pengakuan Iman Nicea.

Thursday, June 21, 2012

Eulogi untuk GI. Sonny Putra

Saya dan istri mengenal Sonny sejak kami masih sama-sama kuliah di Universitas Trisakti. Kami satu jurusan dan juga satu angkatan dengan dia.

Kami ingat ketika saat kuliah di Trisakti itu, mendengar berita yang sangat menggembirakan: Sonny mau percaya kepada Tuhan! Dan berita berikutnya yang kami dengar adalah dia menjadi jemaat di GKY Green Ville, dibaptis di sana dan bahkan terlibat pelayanan di sana.

Kami juga ingat mendengar berita yang lebih menggembirakan lagi: Sonny mau menjadi hamba Tuhan penuh waktu! Dia sempat datang ke rumah kami (waktu itu saya sudah selesai sekolah teologi) dan berdiskusi tentang sekolah teologi mana yang akan diambil. Akhirnya dia memilih Seminari Alkitab Asia Tenggara di Malang.

Kami juga ingat berita lanjutannya yang membuat kami senang dan kagum, bahwa Sonny terlibat dalam pelayanan misi di Kartidaya, dan kemudian bergerak sendiri dalam berbagai pelayanan sebagai misionaris utusan GKY Sunter.

Walaupun terpisah jauh, beberapa kali kami kontak melalui telpon maupun email dan juga surat doa yang selalu dia kirimkan kepada kami. Melalui surat doa itu kami jadi mengetahui kegiatannya, bebannya dan berbagai program yang ingin dia jalankan.

Kami mengagumi dia. Melihat hidupnya membuat kami juga mengagumi Tuhan. Bagaimana mungkin Sonny yang kami kenal ini berubah menjadi seperti ini? Dia mengambil jalan hidup yang sama sekali tidak populer, menjadi misionaris dengan segudang pekerjaan di kota kecil. Dia diberikan beban yang sangat besar oleh Tuhan untuk pekerjaan misi. Saya ingat seorang rekan berkata dengan nada bercanda: “Sonny punya beban yang sangat besar dalam bidang misi. Jarang sekali yang seperti dia. Perlu dilestarikan orang seperti ini!” Ya, jarang sekali yang seperti dia. Sonny termasuk segelintir orang yang dipanggil Tuhan dan diberikan hak istimewa untuk melayani Tuhan di ladang misi, dan… dia termasuk lebih segelintir orang lagi yang mau mentaati panggilan itu!

Baru-baru ini waktu istri saya ulang tahun, dia sempat memberi ucapan selamat melalui sms. Istri saya kemudian bertanya tentang kesehatannya tapi dia belum membalas. Tiba-tiba tadi sore kami menerima kabar: Sonny Putra sudah meninggal.

Kami sangat sedih, tidak bisa percaya, bagaimana mungkin? Dia masih muda, belum sampai empat puluh tahun. Masih banyak pekerjaan yang belum dia selesaikan. Hidupnya berarti bagi banyak orang. Bagaimana mungkin?? Tapi ya, bukan cuma mungkin tapi sudah terjadi. Kami terdiam, menangis dan menaikkan doa untuk istrinya.

Hidup itu singkat, hanya Tuhan yang tahu kapan akan berakhir. Seringkali kita menekankan ‘hasil’. Tapi kalau Tuhan mencari hasil, harusnya Dia memberikan waktu lebih banyak untuk Sonny. Belum ada yang menggantikan Dia. Masih banyak yang bisa dia lakukan di sana. Banyak proyek yang baru mulai dia lakukan. Tunggu hasilnya dulu. Tapi Tuhan tidak menekankan ‘hasil’. Dia melihat apa yang kita kerjakan dalam waktu yang Dia berikan. Dia melihat bagaimana kita hidup dalam waktu yang Dia berikan.

Hidup itu singkat, bagaimana kita menghidupinya menjadi sangat penting. Apa sih yang kita cari selama di dunia? Kekayaan? Ketenaran? Hidup nyaman? Apa? Semua akan menjadi sampah ketika kita bertemu dengan Tuhan. Bukankah yang terbaik adalah menjalankan kehendak Tuhan di dalam waktu yang Dia berikan?

Sonny bukan saja sudah menjalankan hidup yang baik, mengikuti kehendak Tuhan, tapi Dia sudah menjalani hidup bersama dengan Tuhan. Sekarang dia sudah dipanggil Tuhan. Kami percaya dia ada di sorga dan Tuhan menyambut Dia sebagai hamba-Nya yang baik dan setia.

Sampai kita bertemu lagi di sorga Son, dan kita akan bersukacita bersama di hadapan Tuhan!

Sunday, June 17, 2012

Suami Istri: Bertengkar?

Tidak ada satu pasang suami istri pun yang tidak pernah bertengkar. Bahkan sejak pacaran, pertengkaran pasti sudah terjadi. Saya ingat seorang hamba Tuhan bicara dengan nada bercanda: “Kalau pacaran tidak pernah berantem, jangan kawin sama dia. Karena jangan-jangan kamu kawin sama orang bodoh.” Maksudnya dua orang dengan pikiran, kemauan, dan sifat yang berbeda, kalau normal pasti akan bertengkar.

Tapi bagaimana bertengkar? Di dalam percakapan dengan teman-teman yang akan menikah, kami sering menyampaikan bahwa harusnya kita makin ‘ahli’ dalam bertengkar. Bukan maksudnya lebih sering! Tapi makin tahu bagaimana menghadapi masalah penyebab pertengkaran, makin tahu bagaimana diri kita dan pasangan kita akan bereaksi, makin tahu bagaimana menyelesaikan masalah dengan baik, dan makin banyak hal yang akhirnya tidak menjadi pertengkaran lagi.

Waktu awal relasi kita mungkin ‘bodoh’, kita marah untuk sesuatu yang tidak sepantasnya, dan akhirnya menyesal. Kita juga ‘bodoh’ karena kita bereaksi dengan salah, dan akhirnya menyesal. Kita juga kaget menemukan pasangan kita bereaksi seperti itu (jangan lupa dia juga masih ‘bodoh’), dan akhirnya lebih menyesal lagi. Maka setelah sekian lama, apakah kita masih terus ‘bodoh’? Harusnya kita harus makin ‘ahli’ - bukan menghindari masalah tapi tahu bagaimana menghadapinya dan menyelesaikannya.

Bukan hanya itu, tapi bagaimana cara bertengkar juga sangat penting. Saya tidak tahu bagaimana dengan pasangan-pasangan lain, tapi saya dan istri, bahkan sejak pacaran, tidak pernah bertengkar dengan kasar. Kami tidak pernah memukul, mencakar, atau melakukan kekerasan fisik lain. Kami tidak pernah membanting barang, piring, gelas, handphone (mahal amat? :D). Kami juga tidak pernah pisah kamar ketika bertengkar, apalagi sampai kabur keluar rumah. Dan satu hal yang sangat penting, yang sering kami nasihatkan kepada pasangan lain, kami tidak pernah mengeluarkan kata-kata kasar waktu bertengkar. Bahkan saling membentak pun tidak pernah kami lakukan. Ada yang bilang kami terlalu lembut, “apa salahnya sih ‘nada keras’?” Tapi bukankah itu baik?

Ketika emosi, kita mungkin cenderung mengucapkan kata-kata kasar. Percayalah, sepuluh tahun yang akan datang, kita tidak akan ingat kita bertengkar karena apa, tapi kata-kata yang kasar itu masih kita ingat. Ketika emosi, kita mungkin cenderung ingin menyakiti – karena merasa kita disakiti – tapi bukankah kita harus selalu ingat bahwa orang yang di hadapan kita ini adalah suami/istri kita yang saya janji untuk kasihi seumur hidup?

Maka, bagaimana cara anda bertengkar? Bertengkarlah with love and in the love that comes from above. Dengan demikianlah, kita menunjukkan apa yang tertulis di pajangan yang tergantung di banyak rumah pasangan Kristen: CHRIST IS THE HEAD OF THIS HOUSE.

Happy birthday my dear wife! :-) It’s true, Christ was and is and will always be the Head of our family!

Friday, June 15, 2012

Pilgrim's Progress and Lacon

Seorang teman memberikan sebuah buku kepada saya beberapa waktu yang lalu. Buku itu adalah “The Pilgrim’s Progress” karya John Bunyan yang ditulis tahun 1628, sebuah buku yang sangat terkenal dan sampai sekarang masih dicetak.

Saya memperhatikan buku ini, bolak-balik, dan tertarik untuk menggali sedikit lebih jauh tentang buku ini. Ada beberapa hal menarik yang saya temukan:

Bukan ‘isi buku’ itu yang membuat hadiah ini menarik, tapi fisiknya. Kondisi buku ini masih sangat baik, halamannya memang sudah menguning tapi masih sangat baik. Buku ini dikemas dalam (seperti yang ditulis di bagian belakangnya): “bound in rough Persian with gilt lettered backs”. Covernya seperti bagian dalam kulit yang halus dan bagian sampingnya dituliskan judul bukunya dengan warna emas. 


Yang juga menarik adalah gambar John Bunyan di dalamnya yang berwarna. Dan entah bagaimana (seperti yang juga ditulis di bagian belakang): “a frontispiece coloured by hand”. Gambar itu diwarnai dengan tangan? Wow!

Tidak ada sama sekali keterangan tahun berapa buku ini dicetak. Tapi yang sangat menarik adalah adanya tulisan tangan yang memberi tahu bahwa buku ini pernah diberikan sebagai hadiah Natal oleh seorang bernama Daisy R. “Ingleside” Creswick kepada seorang bernama Pricilla. Dan tahunnya adalah 1906! Itu 106 tahun yang lalu dan kondisinya masih sebagus ini. Jangan-jangan di rumah saya, dengan cepat buku ini akan deteriorate!



Terakhir yang saya perhatikan adalah kalimat yang tertulis sebagai ‘kata mutiara’ dari pemberi buku ini:
If there be a pleasure on earth which angels cannot enjoy, and which they might almost envy man the possession of, it is the power of relieving distress. –Lacon-
Sedikit research memberi tahu saya signifikansi kalimat itu. “Lacon” bukanlah nama orang, tapi judul sebuah buku. Lengkapnya “Lacon: Or, Many Things in Few Words: Address—to Those Who Think”. Laconic adalah istilah dalam bahasa Inggris yang memang berarti singkat, pendek. Dan isi bukunya memang adalah paragraf-paragraf pendek, kalimat-kalimat bijak, seperti amsal-amsal, yang dikumpulkan menjadi sebuah buku.

Mau tahu siapa penulisnya? Namanya adalah Charles Caleb Colton (1780-1832). Dia pernah menjadi hamba Tuhan di gereja di Inggris selama belasan tahun sebelum akhirnya dia meninggalkan pelayanan dan juga Inggris. Dalam masa dia menjadi hamba Tuhan di gereja itulah dia menulis Lacon. Dia kemudian pindah ke Amerika dan kemudian ke Perancis. Disana akhirnya dia terlibat judi, sukses selama beberapa waktu, tapi akhirnya dia bangkrut. Menjelang akhir hidupnya dia sakit dan hanya hidup dari pemberian keluarganya. Dia harus dioperasi tapi dia takut operasi, dan akhirnya dia bunuh diri. (lebih lengkapnya bisa dilihat di Wikipedia).

Kisah hidupnya sangat ironis! Dan yang lebih ironis lagi adalah kalimat kutipan di atas sebetulnya tidak lengkap. Di dalam Lacon, Charles Colton menulis lengkapnya begini:
If there be a pleasure on earth which angels cannot enjoy, and which they might almost envy man the possession of, it is the power of relieving distress. If there be a pain which devils might pity man for enduring, it is the death-bed reflection that we have possessed the power of doing good, but that we have abused and perverted it to purposes of ill.
(Jika ada kesenangan di dunia yang malaikat tidak bisa nikmati, dan yang mungkin hampir membuat mereka iri karena manusia memilikinya, itu adalah kuasa untuk melepaskan kesusahan. Jika ada kesakitan yang setan mungkin mengasihani manusia karena harus mengalaminya, itu adalah refleksi di ranjang kematian bahwa kita memiliki kuasa untuk melakukan kebaikan, tapi kita menyalahgunakannya dan merusaknya untuk tujuan yang jahat)
Bukankah ironis? Sekitar 12-15 tahun sebelum mati, dia menulis kalimat di atas. Tapi kemudian dia tidak berbuat baik dan hidupnya makin hancur. Mungkinkah waktu di ranjang kematian, ketika akan bunuh diri, dia sempat merefleksikan hidupnya dan menyesalinya? Mungkinkah waktu itu dia ingat kalimat 'amsal' yang pernah ditulisnya sendiri itu? Kita tidak tahu.

Saya tidak tahu dan mungkin tidak pernah tahu cerita di balik buku tua ini: Siapa Pricilla? Siapa Daisy R. Creswick? Mungkin juga tidak penting. Saya hanya sedikit melatih ‘historian in me’ :-) dan selalu akhirnya kembali menjadikannya refleksi.

Thanks Chris for this gift! :)

Tuesday, June 12, 2012

Barang Mewah

Seorang dosen di TTC pernah menceritakan prinsipnya dalam membeli barang-barang ‘mewah’. Dia berkata ada tiga hal yang dia berjanji kepada diri sendiri bahwa dia tidak akan pernah beli: Mobil, Kamera DSLR, Audio System.

Kenapa mobil? Karena dia merasa tidak perlu mobil di Singapore. Harga mobil dan COE-nya (seperti STNK di Indo), belum lagi biaya perawatan dan bensin, sangatlah mahal. Kalau perlu untuk cepat dia memilih untuk naik taxi.

Kenapa kamera? Karena dia merasa kamera seperti racun yang tidak ada habisnya. Sekali dia ‘menyentuh’ hobi fotografi dan membeli kamera, maka dia akan selalu ingin yang lebih baik, lensa yang lebih baik, jenis lensa yang lain, dan berbagai perlengkapan lainnya. Maka dia memilih untuk membiasakan diri dengan kamera biasa.

Kenapa audio system? Dia melihat temannya yang terbiasa dengan audio system yang baik, tidak bisa lagi mendengar musik dengan kualitas suara yang biasa. Maka temannya itu membeli bukan saja CD Player, speaker, amplifier, yang makin lama harus makin bagus, tapi bahkan kabel pun harus yang makin mahal. Dan ironisnya, ketika temannya punya anak, seluruh audio system itu harus dibuatkan pagar untuk melindungi mereka dari penjelajah kecil di rumah itu. Ironis, ingin dengar musik, harus bagus, tapi rumah jadi tidak nyaman karena semua dipagari. Maka dia memilih membiasakan diri mendengar musik dari tape seharga $50 saja.

Saya langsung tidak setuju dengan dia!

Soal mobil jelas Singapore bukan Indonesia. Kita tahu mobil di Indonesia, apalagi di Jakarta, bukan lagi kebutuhan mewah tapi keharusan. Ok saya tahu tidak 100% harus (ada bajaj, mikrolet, busway, dll) tapi minimal err.. 95.7% harus. Maka kondisi saya dan dia berbeda. Walupun pertanyaannya boleh diteruskan: Mobil apa?

Tapi soal kamera saya juga tidak setuju. Saya suka fotografi dan saya juga membeli kamera DSLR. Tapi saya membatasi diri, bukan hanya berdasarkan kemampuan kantong, tapi juga berdasarkan kebutuhan. Saya bertanya dulu apakah saya butuh, seberapa bagus yang saya butuh, kapan saya butuh, baru saya putuskan untuk membeli perlengkapan fotografi saya.

Demikian pula soal audio system. Saya suka kualitas suara yang baik. Walaupun telinga saya tetap kelas rendahan yang bisa mendengar yang kurang baik juga, tapi saya tahu bedanya yang baik dan tidak. Walaupun begitu, saya mempertimbangkan berapa sering saya mendengar musik, berapa keras volume yang bisa saya dengar di rumah yang nempel dengan tetangga (kalau volume kecil, sebagus apapun audio system jadi tidak kerasa bagusnya), dan akhirnya dengan kondisi seperti itu berapa sih jumlah yang ‘wise’ saya pakai untuk itu? (Btw, sekarang saya hanya mendengar musik dengan CD player hadiah dari BCA lima tahun lalu dan speaker komputer).

Tapi setelah pikir-pikir, saya mengerti mengapa dia seperti itu. Dia takut dirinya suka dengan barang mewah, dia tidak ingin dirinya menjadi terbiasa dengan barang mewah (sebaliknya: tidak terbiasa dengan barang murah), dia kuatir makin mengapresiasi state-of-the-art teknologi, dan akhirnya membuat dia merasa membutuhkan semua itu.

Saya rasa dia ada benarnya. Coba saja kita yang biasa membeli baju bermerk mahal, pasti makin sulit untuk membeli baju murah. Kalau kita biasa memakai tas mahal, kita akan sulit memakai tas murah. Rasanya kurang PD, rasanya kurang pas di hati, dan seterusnya. Kalau kita biasa memakai laptop dengan kemampuan yang wah, makin sulit untuk ‘turun’ memakai laptop dengan kualitas biasa. Demikian pula mobil, kamera, audio system, sekali naik susah turun. Maka tanpa sadar standard of living kita terus naik.

Semboyan dia bagus juga: Jangan biasakan diri dengan barang mewah! Banyak orang suka ‘barang bagus’ tanpa punya rem yang juga bagus. Dan rasa suka itu memang membuat rem makin lama makin blong. Kita suka, kita mampu, beli, makin suka, makin terbiasa, makin mampu, beli lagi, dan seterusnya. Dan rem kita makin tidak berfungsi.

Saya yakin tidak semua orang harus seperti dia, dengan agak ekstrim menjauh dari kesukaan akan barang bagus. Tapi saya juga yakin tiap orang harus punya rem. Dan rem itu harusnya bukan hanya dari kemampuan kantong (karena nanti begitu mampu kita akan beli), atau ‘kebutuhan’ (karena suka dan terbiasa akhirnya membuat kita merasa butuh), tapi harusnya juga dari melatih dan mengasah diri untuk dengan sengaja memilih untuk lebih sederhana. Tidak ada patokannya berapa sederhana, barang apa yang perlu atau jangan dibeli, tiap orang pasti berbeda, tapi tiap orang harus memperkuat dan menjaga kualitas rem masing-masing. How good is your brake system?

Bagaimanapun, berhati-hatilah setiap kali menaikkan standard of living. Susah turun lagi karena rem akan makin blong. Tapi jangan berhati-hati waktu menaikkan standard of giving. Teruskan saja karena hati akan makin plong.