Tuesday, September 30, 2008
Apa Yang Membentuk Kita?
Zaman modern menghasilkan banyak konsep yang sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia.
Konsep-konsep itu sudah dianggap sebagai kebenaran yang kalau tidak dianggap mutlak maka paling sedikit dianggap tidak-perlu-dipertanyakan. Konsep-konsep itu menjadi aturan yang mengatur kehidupan, standar untuk mengukur segala sesuatu dan motor penggerak aktivitas kehidupan.
Efisiensi, efektivitas dan produktivitas, adalah beberapa di antaranya. Konsep-konsep yang pertama-tama diterapkan dalam industri ini sudah menjadi konsep kehidupan manusia. Efisien berarti apa yang ditanamkan (uang, tenaga, waktu, dll) memberikan hasil yang baik, makin sedikit yang ditanam dan makin banyak yang dihasilkan berarti makin efisien. Efektif berarti menghasilkan apa yang kita inginkan. Produktif berarti menghasilkan sesuatu dalam jumlah besar.
Ketiga konsep ini punya kesamaan yaitu berfokus pada hasil. Pertanyaannya adalah “Bagaimana hasilnya, dibanding dengan yang kita tanamkan atau yang kita harapkan? Berapa banyak hasilnya?” Maka satu konsep lagi yang mau tidak mau harus muncul adalah pengukuran. Selalu harus ada ukurannya, ada yang bisa dinilai, dievaluasi, dan kalau hasil pengukuran kurang baik, diperbaiki.
Di dalam dunia industri, konsep-konsep ini punya tempatnya sendiri. Tetapi seperti yang dikatakan orang "we shape the building and then the building shape us". Kita membentuk sebuah bangunan dengan bentuk tertentu, dan setelah bangunan itu jadi kita tidak bisa berjalan menabrak dia maka kita harus berjalan mengikuti bentuk bangunan itu, kita membangun kamar maka sekarang kita tidur selalu di kamar itu, kita membuat taman maka sekarang kita harus menyediakan waktu untuk merawatnya atau mengeluarkan uang untuk membayar orang lain melakukannya. Maka bangunan itu sekarang membentuk hidup kita. Konsep-konsep itu dibangun oleh manusia untuk industri, tetapi setelah jadi, maka konsep-konsep itu punya kekuatan luar biasa melampaui tempatnya. Konsep-konsep itu membuat industri menjadi monster bagi para pekerja di dalamnya. Para pekerja tidak dilihat sebagai manusia tetapi sebagai penghasil. Maka tidak heran revolusi industri menjadi bentuk perbudakan baru. Dan ketika keadaan sekarang ‘lebih baik’, pekerja dilihat sebagai aset (berapapun bagusnya istilah itu, itu tetap merendahkan karena manusia bukan barang!). Perubahan itu hanyalah memelintirkan praktek dari konsep yang sama, kalau tadinya pekerja ditindas sekarang dikipas, tetapi dengan tujuan yang sama.
Konsep-konsep itu juga mengatur kehidupan pribadi kita dan juga kehidupan bergereja. Kita mengukur hidup ‘berguna’ atau tidak dengan menghitung apa yang sudah berhasil kita kerjakan. Bahkan kita mengukur tanggung jawab kita dalam memakai waktu dengan menghitung berapa banyak yang berhasil kita lakukan dalam satu hari. Kita mengukur orang dengan berapa banyak yang mampu dia lakukan atau berapa hebatnya dia dalam menghasilkan sesuatu (mungkin karya atau uang). Kita mengukur ‘sukses’ atau tidak suatu acara dengan bertanya berapa yang hadir. Kita mengukur keberhasilan suatu program dengan bertanya berapa banyak dana dan tenaga yang sudah dikeluarkan dibanding dengan hasilnya.
Sebagian orang menghibur diri dengan mengatakan “maka yang penting kualitas bukan kuantitas”. Ini pun hanyalah memelintirkan praktek dari konsep yang sama. Jika itu adalah KKR, maka kita tidak bertanya ‘berapa yang hadir’ tetapi ‘berapa banyak yang mengambil keputusan’ (maksudnya yang mengangkat tangan!). Jika itu adalah retreat, maka kita tidak bertanya ‘berapa yang ikut’ tetapi ‘berapa yang hidupnya berubah’. Jika itu adalah penginjilan kita tidak bertanya ‘berapa kali’ tetapi ‘berapa orang’. Maka sebenarnya sama saja!
Konsep-konsep itu sudah keluar dari tempatnya, seperti tanaman yang menjulurkan akarnya kemana-mana. We built it and it has already shaped us!
Wednesday, August 06, 2008
Yang Penting Tuhan Mau - 2
Semakin lama saya melayani, semakin banyak saya melihat orang melayani bukan di tempatnya. Hal ini menjadi semakin sulit dicegah karena banyak orang Kristen yang ‘mempraktekkan kasih’ secara salah.
Misalnya ada orang yang jelas tidak bisa menyanyi, tetapi tetap mau ‘mempersembahkan’ pujian secara solo. Padahal pada waktu dia menyanyi, semua orang yang punya sedikit saja sense of music akan gelisah sambil mendengarkan nyanyiannya. Tetapi di dalam ‘kasih’, bagaimana kita bisa menolak orang yang mau melayani? Bagaimana kita bisa mematahkan semangat orang yang ingin melayani? Maka bukannya mencegah dia menyanyi solo kita malah memuji dia, kalau tidak mau berbohong, maka yang kita puji bukan suaranya tetapi ‘semangatnya’, “wah hebat sekali lho tetap semangat mau nyanyi buat Tuhan”. Semua dilakukan atas nama ‘kasih’.
Saya percaya Tuhan bisa memakai suara sejelek apapun untuk menjadi berkat. Saya pernah mendengar cerita tentang seorang anak yang suaranya sama sekali tidak bagus, tetapi dalam keadaan dia sakit parah dia ingin menyanyi menyatakan imannya kepada Tuhan, dan nyanyiannya itu menjadi berkat luar biasa bagi semua orang yang mendengarnya.
Tapi ada 2 hal yang harus menjadi pertimbangan kita disini: Pertama, kenyataan bahwa Tuhan bisa memakai apa saja termasuk yang paling buruk, tidak berarti kita boleh memberikan yang buruk. Kita tetap harus berusaha memberikan yang terbaik. Kedua, dalam cerita tentang anak yang sakit parah tadi, atau cerita-cerita serupa dengan itu, ada konteks yang melatarbelakangi nyanyian mereka. Maka yang didengar oleh orang bukanlah suara mereka tetapi kesaksian mereka. Nyanyian anak itu menjadi berkat karena orang mengagumi imannya di tengah pergumulannya. Suaranya yang false tidak menghalangi orang memuji Tuhan karena yang menjadi media penyampai berita sebenarnya bukan suaranya tetapi kesaksiannya. Maka kita tidak bisa memakai kisah-kisah seperti itu untuk membenarkan diri “biarpun jelek, tetapi Tuhan bisa pakai”.
Saya harap contoh di atas tidak membuat anda salah mengerti. Saya percaya dengan kalimat "biarpun jelek, tetapi Tuhan bisa pakai" (kalau tidak bagaimana Tuhan pakai saya!). Tapi jangan jadikan itu alasan untuk tetap memberikan yang jelek kepada Tuhan.
Banyak orang tidak sadar dimana tempatnya dalam tubuh Kristus. Komunitas Kristen, tubuh Kristus, gereja lokal, dimana kita berada, akan menolong kita mengerti dimana seharusnya tempat kita. Jangan sampai komunitas Kristen malah membantu mengaburkan tempat kita atas alasan kasih yang palsu. Itu bukan yang Tuhan mau!
Misalnya ada orang yang jelas tidak bisa menyanyi, tetapi tetap mau ‘mempersembahkan’ pujian secara solo. Padahal pada waktu dia menyanyi, semua orang yang punya sedikit saja sense of music akan gelisah sambil mendengarkan nyanyiannya. Tetapi di dalam ‘kasih’, bagaimana kita bisa menolak orang yang mau melayani? Bagaimana kita bisa mematahkan semangat orang yang ingin melayani? Maka bukannya mencegah dia menyanyi solo kita malah memuji dia, kalau tidak mau berbohong, maka yang kita puji bukan suaranya tetapi ‘semangatnya’, “wah hebat sekali lho tetap semangat mau nyanyi buat Tuhan”. Semua dilakukan atas nama ‘kasih’.
Saya percaya Tuhan bisa memakai suara sejelek apapun untuk menjadi berkat. Saya pernah mendengar cerita tentang seorang anak yang suaranya sama sekali tidak bagus, tetapi dalam keadaan dia sakit parah dia ingin menyanyi menyatakan imannya kepada Tuhan, dan nyanyiannya itu menjadi berkat luar biasa bagi semua orang yang mendengarnya.
Tapi ada 2 hal yang harus menjadi pertimbangan kita disini: Pertama, kenyataan bahwa Tuhan bisa memakai apa saja termasuk yang paling buruk, tidak berarti kita boleh memberikan yang buruk. Kita tetap harus berusaha memberikan yang terbaik. Kedua, dalam cerita tentang anak yang sakit parah tadi, atau cerita-cerita serupa dengan itu, ada konteks yang melatarbelakangi nyanyian mereka. Maka yang didengar oleh orang bukanlah suara mereka tetapi kesaksian mereka. Nyanyian anak itu menjadi berkat karena orang mengagumi imannya di tengah pergumulannya. Suaranya yang false tidak menghalangi orang memuji Tuhan karena yang menjadi media penyampai berita sebenarnya bukan suaranya tetapi kesaksiannya. Maka kita tidak bisa memakai kisah-kisah seperti itu untuk membenarkan diri “biarpun jelek, tetapi Tuhan bisa pakai”.
Saya harap contoh di atas tidak membuat anda salah mengerti. Saya percaya dengan kalimat "biarpun jelek, tetapi Tuhan bisa pakai" (kalau tidak bagaimana Tuhan pakai saya!). Tapi jangan jadikan itu alasan untuk tetap memberikan yang jelek kepada Tuhan.
Banyak orang tidak sadar dimana tempatnya dalam tubuh Kristus. Komunitas Kristen, tubuh Kristus, gereja lokal, dimana kita berada, akan menolong kita mengerti dimana seharusnya tempat kita. Jangan sampai komunitas Kristen malah membantu mengaburkan tempat kita atas alasan kasih yang palsu. Itu bukan yang Tuhan mau!
Wednesday, July 23, 2008
Sense of Belonging
Di dalam salah satu buku yang sedang saya baca (Komunitas Alternatif: Hidup Bersama Menebarkan sense of belonging, penerjemah buku tersebut memberikan catatan kaki: “Biasanya sense of belonging diterjemahkan secara keliru dengan rasa memiliki. Sebenarnya, sense of belonging adalah rasa dimiliki, artinya seseorang merasa dirinya diterima dalam dan diakui sebagai bagian dari suatu komunitas hidup”.
Kasih, Penerbit Kanisius), ketika sampai pada kalimat
Secara terjemahan, memang itulah terjemahan yang tepat! Hal yang saya tidak mengerti adalah mengapa selama ini setiap kali melihat kata sense of belonging, yang langsung terpikir oleh kita adalah rasa memiliki? Darimana ide itu muncul?
Saya sangat tertarik dengan catatan kaki dari penerjemah tersebut karena terjemahan yang berbeda itu akan merubah cara berpikir kita.
Seringkali ketika membicarakan tentang komunitas atau persekutuan, kita menyebut istilah rasa memiliki. Maksudnya adalah perasaan mengasihi persekutuan tersebut, perasaan bahwa dia punya tanggung jawab atas persekutuan tersebut, perasaan bahwa dia tidak rela persekutuan itu hancur. Karena apa? Karena dia punya rasa memiliki. Maka kita ingin supaya orang-orang dalam persekutuan punya rasa memiliki persekutuan tersebut supaya mereka mau berjuang untuk persekutuan itu. Bagaimana caranya? Entahlah. Mungkin kita melibatkan mereka dalam berbagai aktifitas (supaya mereka merasakan berjuang untuk persekutuan itu), mungkin melibatkan mereka dalam acara kebersamaan (supaya mereka akrab dan senang dengan persekutuan itu) atau mungkin mengajak mereka berdoa untuk persekutuan itu (supaya persekutuan itu lekat dalam hati mereka). Pada intinya kita berjuang supaya mereka menjadikan persekutuan itu sebagai milik mereka.
Tetapi ketika kita mengubah terjemahan sense of belonging menjadi rasa dimiliki. Seluruh arti menjadi berbeda. Kita bukan berjuang supaya setiap orang dalam persekutuan merasa memiliki persekutuan, tetapi supaya mereka merasa dimiliki oleh persekutuan itu. Mereka merasa dianggap bagian dari persekutuan itu, merasa dikasihi, merasa dijadikan anggota keluarga.
Mungkin kegiatan yang kita lakukan tetap sama, tetapi seluruh arah akan menjadi berbeda.
Monday, July 21, 2008
Yang Penting Tuhan Mau - 1
Dari sejak remaja, saya sering mendengar orang berkata “pelayanan yang penting mau bukan
mampu”. Kalimat ini seringkali diucapkan pada waktu mendorong (kadang memaksa) seseorang untuk ambil bagian dalam pelayanan. Maksudnya jelas, asalkan kita mau kita pasti bisa dipakai oleh Tuhan. Kemampuan itu dari Tuhan maka yang penting, sekali lagi, adalah kita mau.
Setiap kita memang tidak ada yang mampu mengerjakan pekerjaan Tuhan. Sesungguhnya terlalu agung, terlalu besar, terlalu impossible bagi siapapun untuk membantu pekerjaan Tuhan! Itu yang pernah diungkapkan Paulus di dalam surat 2 Korintus. Setelah dia menyatakan peran yang sangat mulia dari seorang pelayan Tuhan yaitu “menyebarkan bau yang harum dari Kristus” (2 Kor 2:15), dia bertanya “Tetapi siapakah yang sanggup menunaikan tugas yang demikian?” (2 Kor 2:16). Dan jawabannya “Dengan diri kami sendiri kami tidak sanggup untuk memperhitungkan sesuatu seolah-olah pekerjaan kami sendiri; tidak, kesanggupan kami adalah pekerjaan Allah” (2 Kor 3:5).
Maka kita mungkin bisa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang terlihat seperti pekerjaan Tuhan. Kita bisa mengorganisir suatu acara, membuat desain untuk publikasi, memasak, memainkan musik atau bahkan berkhotbah, tetapi semua itu mungkin bukan pekerjaan Tuhan. Tidak ada dari kita yang mampu menyebarkan bau yang harum dari Kritus, itu adalah pekerjaan Allah. Dengan kekuatan sendiri, kita hanya mampu melakukan christian work dan bukan pekerjaan Tuhan.
Tetapi apakah betul “pelayanan yang penting mau bukan mampu?” Saya kira juga tidak terlalu tepat. Bukankah Tuhan memberikan tempat bagi masing-masing anggota tubuh? Bukankah Tuhan memberikan talenta yang berbeda bagi pelayan-pelayanNya?
Dalam konteks praktis, apakah kita perlu membujuk orang yang suaranya agak ‘lari’ untuk ikut paduan suara (karena paduan suara kekurangan anggota) dengan alasan “pelayanan yang penting mau”? Saya kira tidak. Atau apakah karena kita kekurangan guru sekolah minggu, maka siapa saja kita bujuk untuk menjadi guru sekolah mingu dengan alasan “pelayanan yang penting mau”? Lebih parah lagi, apakah kita harus membiarkan seseorang menempati jabatan tertentu dalam pelayanan hanya karena “dia mau”?
Banyak kekacauan dalam gereja karena banyak orang Kristen yang ingin mengambil tempat yang bukan bagiannya. Dan juga ada banyak kelemahan dalam pelayanan karena banyak orang yang ambil bagian di dalamnya hanya karena merasa bersalah jika dia tidak mau. Konsep bukankah “yang penting mau” membuat banyak orang merasa keterlaluan jika tidak mau. Padahal tiap anggota tubuh harus berada pada tempatnya, bukan sekedar mau berada di mana.
Mungkin lebih baik kita katakan “pelayanan yang penting adalah Tuhan mau”. Kalau pelayanan bukan kesanggupan kita tetapi Tuhan, maka biar Tuhan yang menunjukkan apa yang harus kita lakukan. Talenta yang Tuhan berikan kepada kita bisa menjadi petunjuk bagi kita. Situasi pelayanan di hadapan kita juga bisa menjadi petunjuk bagi kita. Pada intinya, masing-masing kita harus dengan hati yang jujur bertanya kepada Tuhan, apa yang Tuhan mau kita lakukan. Kalau Tuhan mau, walaupun kita tidak mampu (dan memang kita tidak akan mampu), Tuhan akan pakai kita. Sebaliknya, sekalipun kita mau, kalau Tuhan tidak mau (bukan tempatnya kita), kita hanya akan mengerjakan christian work dan bukan pekerjaan Tuhan.
Tuesday, July 15, 2008
Pengalaman Bersama Tuhan
Saya mengamati bahwa sebagian besar gereja-gereja dari kalangan Injili di Indonesia, entah
mengapa, menganggap tabu atau paling tidak menghindari pembicaraan mengenai perasaan-perasaan bersama dengan Tuhan atau pengalaman-pengalaman rohani.
Begitu ada orang yang bicara tentang perasaan-perasaan atau pengalaman seperti demikian, banyak orang yang langsung merasa ‘anti’ atau paling tidak waspada. Misalnya jika ada orang berkata:
“Saya merasa Tuhan menyentuh saya”
“Tiba-tiba saya merasa sangat damai dan ada perasaan hangat di dalam hati”
“Saya melihat seperti ada cahaya dan tiba-tiba saya menangis”
“Saya seperti mendengar Tuhan berkata…”
Kalimat-kalimat itu langsung membuat ‘radar teologi’ kita naik ke atas dan kita siap untuk membom jatuh ‘pesawat musuh’. Mungkin radar anda sekarang juga mulai naik ke atas dan anda siap untuk membom saya?
Saya sangat mengerti ‘bahaya’nya kalimat-kalimat seperti di atas, dan saya sangat tahu penyimpangan-penyimpangan yang selama ini dilakukan oleh orang-orang dengan kalimat-kalimat seperti di atas. Tetapi kalau kemudian kita tabu dengan hal tersebut, kita anti dengan pengalaman-pengalaman dan perasaan-perasaan seperti itu, saya kira kita "membuang air dalam baskom sekaligus dengan bayi di dalamnya"!
Iman kita kepada Tuhan Yesus Kristus adalah pusat dari kehidupan rohani kita. Dan kalau iman kita adalah iman kepada Tuhan yang hidup, maka kita pasti mengalami perasaan dan pengalaman bersama dengan Dia. Kita tidak berhubungan dengan Tuhan yang hanya jauh di sana, tetapi Tuhan yang juga dekat dengan kita. Tiap hari Dia bersama kita, dan tiap saat ada yang Dia lakukan terhadap kehidupan kita. Tidak mungkin tidak ada perasaan dan pengalaman bersama dengan Dia.
Di sisi lain, iblis memang bisa menyamar menjadi malaikat terang. Artinya iblis bisa meniru berbagai hal yang dikerjakan oleh Allah sedemikian rupa sehingga orang mengira itu adalah pekerjaan Allah. Maka Iblis bisa meniru dengan memberikan perasaan dan pengalaman yang mirip seperti yang bisa diberikan Allah kepada kita. Dia bisa memberikan perasaan seperti damai, perasaan seperti adanya kehadiran Tuhan, bahkan pengalaman-pengalaman ‘rohani’ yang sangat personal.
Tetapi karena iblis bisa meniru, apakah kalau begitu kita boleh anti dengan perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman yang memang diberikan oleh Tuhan? Bukankah Tuhan memang berbicara kepada kita? Bukankah Tuhan memang menjamah hidup kita? Bukankah kehadiranNya memang seringkali bisa dirasakan dengan jelas oleh anak-anakNya? Lalu mengapa kita anti dengan semua itu? Bukankah seharusnya kita bahkan mengingini pengalaman bersama dengan Tuhan? Itu yang diingini oleh Musa (melihat kemuliaan Tuhan), itu juga yang Elisa doakan supaya bujangnya alami (melihat ada tentara malaikat Tuhan), itu juga yang diberikan Yesus kepada para rasul (memperlihatkan kemuliaanNya dengan berubah rupa bersama dengan kehadiran Musa dan Elia), dan itu juga yang dialami oleh orang-orang percaya di sepanjang Alkitab!
Saya tahu sebagian orang akan berkata “kami tidak anti, tetapi kami selalu harus menguji berdasarkan Firman”. Saya 100% setuju dengan kalimat itu. Tetapi mari kita jujur, apakah selama ini kita memang ‘menguji’ atau sebetulnya cenderung takut dan akhirnya tidak peduli apakah kita mengalami Tuhan atau tidak?
Mengapa kita hanya ‘belajar’ tentang Tuhan dan ‘bekerja’ untuk Dia tetapi kita miskin ‘pengalaman’ bersama dengan Dia?
Thursday, June 19, 2008
Kepedulian Kepada Bumi
Kepedulian akan lingkungan hidup sangat ramai dibicarakan di Indonesia akhir-akhir ini. Isu ini dibicarakan baik oleh guru-guru di sekolah, kolom-kolom berita atau opini dari berbagai orang dalam majalah dan surat kabar, bahkan melalui acara-acara besar seperti Green Festival yang baru diadakan di Jakarta 18-20 April 2008 yang lalu. Seingat saya kepedulian ini baru menjadi sangat ‘panas’ di Indonesia tidak lebih dari 5 tahun yang lalu.
Di dunia, kepedulian masyakarat dunia terhadap lingkungan sudah makin besar sejak lebih dari 40 tahun yang lalu (Tahun 1970 sudah diadakan demonstrasi untuk pelestarian udara, air bersih dan alam di Amerika Serikat yang diikuti oleh jutaan orang, termasuk para siswa dan mahasiswa dari lebih dari 1.500 universitas dan 10.000 sekolah. Hari itu sampai sekarang diperingati sebagai hari bumi). Maka, sekali lagi, Indonesia sebenarnya ketinggalan!
Kalau kita melihat lebih jauh lagi ke belakang, sebetulnya kepedulian terhadap lingkungan hidup selalu ada dalam masyakat di seluruh dunia, paling tidak pada beberapa orang. Tetapi kepedulian itu baru mendapatkan momentum ledakannya beberapa puluh tahun terakhir ini.
Ada dua hal yang ingin saya soroti:
Pertama, ada yang tahu sebetulnya sejak kapan kepedulian terhadap lingkungan hidup ini ada? Sejak penciptaan bumi! Siapa yang peduli? Allah sendiri! Allah yang menciptakan bumi ini dan menjadikannya tempat tinggal manusia, maka Alkitab menegaskan bahwa Allah sangat peduli kepada lingkungan. Tetapi mengapa kepedulian itu melemah dan baru bangkit lagi belakangan ini? Tentu penyebabnya banyak sekali dan sangat kompleks. Tetapi 1 hal saja, orang Kristen yang punya Alkitab yang bercerita tentang Allah yang peduli dengan bumi, ternyata tidak belajar dan mengerti Alkitab dengan baik. Itu sebabnya kepedulian itu menghilang.
Kedua, ketika dunia sekitar sudah ramai membicarakan isu lingkungan hidup, apa yang sudah dilakukan oleh gereja? Ternyata, maaf kalau saya salah, orang Kristen lebih tertinggal lagi. Alkitab sangat mengajarkan kepedulian terhadap lingkungan hidup. Allah menciptakan bumi, manusia merusaknya di dalam dosa dan melalui perbuatan dosa, Allah lagi yang menjanjikan akan memperbaruinya dalam bentuk langit dan bumi yang baru. Tetapi mengapa orang Kristen tertinggal dalam kepedulian terhadap lingkungan hidup? Sekali lagi: orang Kristen tidak belajar dan mengerti Alkitab dengan baik.
Mungkinkah masalahnya bahkan lebih serius lagi? Bukan sekedar masalah tidak belajar dan mengerti Alkitab, tetapi tidak punya hati yang lembut untuk mencintai apa yang Tuhan cintai? It might be more serious than we think.
Friday, June 13, 2008
Final Notes (Reflection from Trip to Israel - 6)
Perjalanan ke Israel yang banyak diadakan saat ini adalah campuran antara ziarah, wisata dan belanja. Tidak semua tempat yang kami kunjungi adalah tempat ziarah. Ada beberapa tempat yang sangat kecil atau malah sama sekali tidak ada kepentingannya dengan ziarah. Selain itu, tujuan para peserta pun sering bergeser di sana, bukan lagi ziarah tetapi wisata atau belanja.
Satu pemandangan yang sangat saya ingat adalah di stasiun terakhir via dolorosa (versi gereja Roma Katolik). Kami dengan terburu-buru berbaris melihat dan menyentuh batu yang dipercaya sebagai tempat meletakkan salib Yesus. Tetapi di depan tempat itu, ada seorang wanita yang duduk bersimpuh sambil berdiam diri memandangi tempat itu. Ketika saya melihat dia, saya 'iri' ingin bisa seperti dia. Andai saja saya bisa, saya ingin melakukan itu, merenungkan tentang salib Yesus. Tetapi tidak mungkin, kami harus cepat lagi pergi ke tempat tujuan yang lain.
Memang banyak tempat yang bisa dikunjungi di sana. Kalau kami berlama-lama di setiap tempat, maka pasti banyak tempat yang terlewatkan atau waktu tour menjadi sangat panjang. Tetapi sekali lagi, kalau tujuannya adalah ziarah, ada tempat-tempat yang memang sangat kecil atau bahkan tidak ada kepentingannya. Kalau saja tempat-tempat itu dilewatkan, kami akan punya lebih banyak waktu di tempat-tempat yang penting. Tetapi mungkin banyak orang akan merasa "sayang kalau tidak melihat tempat ini atau itu, karena sudah di Israel". Apa boleh buat...
Demikian pula sikap peserta pada waktu mengunjungi suatu tempat. Ada kalanya kami tidak sungguh bersikap seperti pe-ziarah. Pada waktu di via dolorosa, saya berusaha banyak berdiam dan berdoa sambil berjalan sambil kadang-kadang mengambil foto. Saya terganggu melihat beberapa orang yang masih banyak tertawa-tawa, berbelanja atau berfoto dengan gaya memikul salib! Sementara itu di tengah jalan kami bertemu dengan rombongan lain. Mereka melakukan prosesi memikul salib secara bergantian sambil menjalani via dolorosa, dan mereka lakukan sambil mengucapkan doa-doa. Saya kira mereka lebih punya sikap pe-ziarah.
Saya pikir sebelum pergi ke Israel, anggota rombongan harus dipersiapkan dengan lebih baik. Mereka harus mengerti apa yang akan mereka lihat di sana supaya mereka mampu mengaitkannya dengan apa yang diceritakan dalam Alkitab dan bukan sekedar melihat atau berfoto. Rencana perjalanan pun harus diatur dengan lebih baik, memungkinkan peserta untuk lebih banyak bersama dengan Tuhan. Dan pada waktu di sana, bimbingan rohani sangat diperlukan untuk menolong mereka membuka hati kepada Tuhan. Kadang-kadang di sana saya merasa kalau saja saya sudah pernah ke sana sebelumnya, saya bisa mempersiapkan diri dengan lebih baik. Tetapi dengan segala kekurangan yang ada, Tuhan sudah bekerja. Puji Tuhan!
Satu pemandangan yang sangat saya ingat adalah di stasiun terakhir via dolorosa (versi gereja Roma Katolik). Kami dengan terburu-buru berbaris melihat dan menyentuh batu yang dipercaya sebagai tempat meletakkan salib Yesus. Tetapi di depan tempat itu, ada seorang wanita yang duduk bersimpuh sambil berdiam diri memandangi tempat itu. Ketika saya melihat dia, saya 'iri' ingin bisa seperti dia. Andai saja saya bisa, saya ingin melakukan itu, merenungkan tentang salib Yesus. Tetapi tidak mungkin, kami harus cepat lagi pergi ke tempat tujuan yang lain.
Memang banyak tempat yang bisa dikunjungi di sana. Kalau kami berlama-lama di setiap tempat, maka pasti banyak tempat yang terlewatkan atau waktu tour menjadi sangat panjang. Tetapi sekali lagi, kalau tujuannya adalah ziarah, ada tempat-tempat yang memang sangat kecil atau bahkan tidak ada kepentingannya. Kalau saja tempat-tempat itu dilewatkan, kami akan punya lebih banyak waktu di tempat-tempat yang penting. Tetapi mungkin banyak orang akan merasa "sayang kalau tidak melihat tempat ini atau itu, karena sudah di Israel". Apa boleh buat...
Demikian pula sikap peserta pada waktu mengunjungi suatu tempat. Ada kalanya kami tidak sungguh bersikap seperti pe-ziarah. Pada waktu di via dolorosa, saya berusaha banyak berdiam dan berdoa sambil berjalan sambil kadang-kadang mengambil foto. Saya terganggu melihat beberapa orang yang masih banyak tertawa-tawa, berbelanja atau berfoto dengan gaya memikul salib! Sementara itu di tengah jalan kami bertemu dengan rombongan lain. Mereka melakukan prosesi memikul salib secara bergantian sambil menjalani via dolorosa, dan mereka lakukan sambil mengucapkan doa-doa. Saya kira mereka lebih punya sikap pe-ziarah.
Saya pikir sebelum pergi ke Israel, anggota rombongan harus dipersiapkan dengan lebih baik. Mereka harus mengerti apa yang akan mereka lihat di sana supaya mereka mampu mengaitkannya dengan apa yang diceritakan dalam Alkitab dan bukan sekedar melihat atau berfoto. Rencana perjalanan pun harus diatur dengan lebih baik, memungkinkan peserta untuk lebih banyak bersama dengan Tuhan. Dan pada waktu di sana, bimbingan rohani sangat diperlukan untuk menolong mereka membuka hati kepada Tuhan. Kadang-kadang di sana saya merasa kalau saja saya sudah pernah ke sana sebelumnya, saya bisa mempersiapkan diri dengan lebih baik. Tetapi dengan segala kekurangan yang ada, Tuhan sudah bekerja. Puji Tuhan!
Thursday, June 12, 2008
God's Chosen People (Reflection from Trip to Israel - 5)
Kitab Kejadian pasal 1-11 mengisahkan awal segala sesuatu di dalam dunia ini. Dimulai dengan indahnya Tuhan menjadikan dunia ini, dari tidak ada dibuat menjadi ada, dari tidak teratur menjadi teratur, dari kosong menjadi penuh keindahan. Tuhan menciptakan manusia dengan luar biasa dan dikaruniakanNya segala sesuatu yang perlu kepada manusia. Tetapi kisah menjadi kelabu ketika manusia jatuh ke dalam dosa. Adam dan Hawa berdosa, Kain membunuh Habel, Lamekh menjadi sangat jahat, dan akhirnya seluruh dunia dipenuhi manusia yang “kejahatannya besar di bumi dan segala kecenderungan hatinya membuahkan kejahatan semata” (Kej 6:5). Maka Tuhan menurunkan air bah dan menyelamatkan 1 keluarga, Nuh dan keluarganya, untuk memulai umat manusia yang baru. Tetapi keturunan Nuh pun berdosa lagi dan akhirnya memberontak di menara Babel (Kej 11). Tidak ada harapan bagi manusia, tidak ada jalan manusia bisa selamat. Maka Tuhan campur tangan! Dia memilih 1 orang, Abraham, untuk menjadi umatNya. Dari Abraham lahir Ishak, dari Ishak lahir Yakub, dan dari Yakub lahir bangsa Israel.
Bangsa Israel adalah bangsa yang mengalami sentuhan dengan Tuhan secara luar biasa. Tuhan berkarya secara luar biasa dalam kehidupan mereka. Dia memberikan FirmanNya melalui mereka. Bahkan Yesus lahir dari antara mereka. Israel memang pernah menjadi bangsa yang dipilih Tuhan secara khusus untuk menjadi umatNya.
Posisi Israel sebagai bangsa pilihan Tuhan bukanlah untuk selama-lamanya. Seperti yang dikatakan Paulus: “…Sebab tidak semua orang yang berasal dari Israel adalah orang Israel, dan juga tidak semua yang terhitung keturunan Abraham adalah anak Abraham, tetapi: “Yang berasal dari Ishak yang akan disebut keturunanMu,” Artinya: bukan anak-anak menurut daging adalah anak-anak Allah, tetapi anak-anak perjanjian yang disebut keturunan yang benar” (Rom 9:6-8). Umat Allah, anak-anak Allah, anak-anak Abraham, bukanlah Israel secara keturunan tetapi anak-anak perjanjian, umat pilihan Allah dari segala bangsa. Konsep ini dijelaskan berulang kali di dalam Alkitab.
Maka sangat salah kalau ada orang yang ke Israel karena ingin seperti mereka, ingin diberkati seperti orang Israel yang adalah umat pilihan Allah. Karena siapakah umat Allah? Kita yang percaya kepada Yesus. Bahkan bisa kita katakan, orang Israel yang tidak percaya kepada Yesus, bukanlah umat Allah! Juga salah kalau kita ke sana karena ingin diberkati dengan menyentuh tanah Israel yang disebut sebagai holy land. Israel boleh disebut holy land dalam arti tanah di mana kisah-kisah dalam Alkitab terjadi. Tapi dalam arti yang sesungguhnya, Israel hanyalah used to be holy land. Dimana holy land? Holy land adalah tempat yang dipilih Allah untuk menyatakan kehadiranNya, dan itu di dalam hati orang percaya.
Iman orang Israel adalah iman yang ‘terputus’ di tengah jalan. Semua ritual agama yang diberikan Tuhan kepada mereka sebenarnya menunjuk kepada Yesus. Seperti layang-layang, ujungnya seharusnya bukanlah di tali tapi di tangan si pemain. Tetapi iman orang Israel seperti layang-layang putus, ujungnya hanyalah di tali, yang mereka perhatikan adalah ritualnya, tetapi tidak sampai kepada Yesus.
Maka saya sendiri tidak bisa menghayati kesedihan mereka di tembok ratapan atau di kubur raja Daud. Memang ada kesinambungan antara iman mereka dan saya, tetapi tidak sama. Kesedihan mereka salah alamat. Yang membuat saya sedih bukanlah karena sekarang tidak ada bait Allah atau karena Israel tidak mengalami masa keemasan seperti zaman Daud, apalagi karena Mesias belum datang! Yang membuat saya sedih adalah mengapa mereka “yang telah diangkat menjadi anak, telah menerima kemuliaan, dan perjanjian-perjanjian, dan hukum Taurat, dan ibadah, dan janji-janji, keturunan bapa-bapa leluhur, yang menurunkan Mesias dalam keadaanNya sebagai manusia” (Rom 9:4-5), dengan setia masih berpegang kepada semua ritual ibadah tetapi tidak melihat Yesus di balik semuanya.
Bangsa Israel adalah bangsa yang mengalami sentuhan dengan Tuhan secara luar biasa. Tuhan berkarya secara luar biasa dalam kehidupan mereka. Dia memberikan FirmanNya melalui mereka. Bahkan Yesus lahir dari antara mereka. Israel memang pernah menjadi bangsa yang dipilih Tuhan secara khusus untuk menjadi umatNya.
Posisi Israel sebagai bangsa pilihan Tuhan bukanlah untuk selama-lamanya. Seperti yang dikatakan Paulus: “…Sebab tidak semua orang yang berasal dari Israel adalah orang Israel, dan juga tidak semua yang terhitung keturunan Abraham adalah anak Abraham, tetapi: “Yang berasal dari Ishak yang akan disebut keturunanMu,” Artinya: bukan anak-anak menurut daging adalah anak-anak Allah, tetapi anak-anak perjanjian yang disebut keturunan yang benar” (Rom 9:6-8). Umat Allah, anak-anak Allah, anak-anak Abraham, bukanlah Israel secara keturunan tetapi anak-anak perjanjian, umat pilihan Allah dari segala bangsa. Konsep ini dijelaskan berulang kali di dalam Alkitab.
Maka sangat salah kalau ada orang yang ke Israel karena ingin seperti mereka, ingin diberkati seperti orang Israel yang adalah umat pilihan Allah. Karena siapakah umat Allah? Kita yang percaya kepada Yesus. Bahkan bisa kita katakan, orang Israel yang tidak percaya kepada Yesus, bukanlah umat Allah! Juga salah kalau kita ke sana karena ingin diberkati dengan menyentuh tanah Israel yang disebut sebagai holy land. Israel boleh disebut holy land dalam arti tanah di mana kisah-kisah dalam Alkitab terjadi. Tapi dalam arti yang sesungguhnya, Israel hanyalah used to be holy land. Dimana holy land? Holy land adalah tempat yang dipilih Allah untuk menyatakan kehadiranNya, dan itu di dalam hati orang percaya.
Iman orang Israel adalah iman yang ‘terputus’ di tengah jalan. Semua ritual agama yang diberikan Tuhan kepada mereka sebenarnya menunjuk kepada Yesus. Seperti layang-layang, ujungnya seharusnya bukanlah di tali tapi di tangan si pemain. Tetapi iman orang Israel seperti layang-layang putus, ujungnya hanyalah di tali, yang mereka perhatikan adalah ritualnya, tetapi tidak sampai kepada Yesus.
Maka saya sendiri tidak bisa menghayati kesedihan mereka di tembok ratapan atau di kubur raja Daud. Memang ada kesinambungan antara iman mereka dan saya, tetapi tidak sama. Kesedihan mereka salah alamat. Yang membuat saya sedih bukanlah karena sekarang tidak ada bait Allah atau karena Israel tidak mengalami masa keemasan seperti zaman Daud, apalagi karena Mesias belum datang! Yang membuat saya sedih adalah mengapa mereka “yang telah diangkat menjadi anak, telah menerima kemuliaan, dan perjanjian-perjanjian, dan hukum Taurat, dan ibadah, dan janji-janji, keturunan bapa-bapa leluhur, yang menurunkan Mesias dalam keadaanNya sebagai manusia” (Rom 9:4-5), dengan setia masih berpegang kepada semua ritual ibadah tetapi tidak melihat Yesus di balik semuanya.
Friday, June 06, 2008
Places, Atmosphere & God's Blessing (Reflection from Trip to Israel - 4)
Di Israel, ada tempat-tempat yang entah bagaimana membuat saya mudah terharu. Bahkan begitu berada di sana saya langsung terharu. Bukan cuma tempatnya tetapi juga suasananya yang sangat indah bagi saya.
Saya tahu Tuhan tidak terbatas oleh tempat dan suasana. Dia ada di Israel dan juga ada di Indonesia. Dia bisa bekerja dalam suasana apapun. Tetapi seringkali orang memakai kalimat ini secara berlebihan. Mereka mengkritik orang Kristen yang mengusahakan tempat dan suasana. Misalnya: Jika dalam suatu kebaktian, pada waktu berdoa diiringi dengan musik supaya suasana baik, maka mereka akan mengatakan Tuhan tidak terbatas dengan suasana. Artinya kalau Tuhan mau bekerja, pasti bisa tanpa bantuan musik. Musik malah mempermainkan emosi saja. Kadang-kadang saya mengelus dada (saya tahu seharusnya saya belajar jauh lebih bersabar) mendengar kritikan seperti itu. Mungkin ada baiknya saya menjawab dengan pertanyaan juga: “Mengapa harus berkhotbah 1 jam? Tuhan juga bisa bekerja dalam khotbah 5 menit atau bahkan tanpa khotbah, cukup dengan membacakan Firman Tuhan. Mengapa pengkhotbah harus berusaha memakai retorik dan intonasi yang baik, mengapa tidak datar saja sekaligus ditambah “eh.. ah.. eh..” dan salah-salah ngomong? Tuhan tokh tetap bisa bekerja. Mengapa pakai musik dikatakan mempermainkan emosi, sementara pakai retorik tidak dianggap mempermainkan emosi, atau mempermainkan logika?” Atau pertanyaan yang lebih ekstrim, “Kalau Tuhan bisa bekerja tanpa terikat dengan tempat dan suasana lalu mengapa kita perlu kerjakan sesuatu? Gereja tidak perlu dibuat bagus, tidak perlu pakai AC, musik tidak perlu yang baik, liturgis tidak perlu latihan, pengkhotbah tidak perlu persiapan, dst, dst.”
Jangan salah mengerti, saya sangat percaya Tuhan tidak terbatas tempat dan suasana. Saya hanya tidak setuju kalau konsep itu ditarik secara ekstrim.
Sebagai anak Tuhan kita punya hak istimewa untuk datang kepada Tuhan dengan leluasa. Bahkan Tuhan senang ketika kita datang untuk menyembah Dia dan bersekutu dengan Dia. Kita bisa lakukan itu dimana saja, kapan saja, dalam keadaan apa saja. Syarat satu-satunya adalah hati yang mau datang kepada Dia. Tetapi dunia memberikan penghalang yang begitu banyak. Kesibukan kita membuat kita tidak bisa tenang datang kepada Tuhan, sedikit gangguan membuat emosi kita yang hampir meledak jadi meledak sungguhan dan kita tidak bisa menyembah Tuhan, bapak di sebelah kita yang menyanyi dengan keras tapi false membuat kita tidak bisa bernyanyi, ibu-ibu yang cekikikan di samping kita membuat kita tidak bisa mendengar Firman Tuhan, liturgis yang gayanya aneh atau terlihat kurang persiapan membuat kita terganggu, dst, dst. Dengan banyaknya halangan-halangan itu, kita harus susah payah berjuang untuk datang kepada Tuhan.
Kadang-kadang Tuhan memang menerobos semua halangan, keadaan yang kacau, suasana yang buruk, semua yang serba tidak baik, Tuhan lewati semua itu dan terobos langsung untuk menyentuh hati orang. Tetapi tidak selalu demikian. Lebih sering kita mendengar orang yang terhalang datang kepada Tuhan karena halangan-halangan yang disebabkan kelalaian atau kemalasan (atau kenaifan) pelayan Tuhan.
Bagi saya, tempat-tempat tertentu di Israel yang membuat saya mudah terharu adalah tempat dimana penghalang itu begitu minim. Dengan begitu mudah saya datang kepada Tuhan. Tetapi saya juga belajar bahwa tempat yang sangat baik bagi saya tidak tentu sama baiknya bagi orang lain.
Pada waktu saya pergi, ada yang bercerita betapa terkesannya dia ketika berada di tempat-tempat tertentu. Tetapi pada waktu berada di sana, tempat yang dia sebutkan justru tidak berkesan apa-apa bagi saya. Malah tempat yang tidak berkesan bagi dia, justru berkesan bagi saya. Pada waktu naik ke gunung Sinai dengan mengendarai unta, saya sibuk memperhatikan langkah si unta dan itu menjadi penghalang bagi saya untuk tenang. Sementara ada seorang anggota rombongan kami yang bercerita dia justru menangis waktu mengendarai unta, karena saat itu dia merasa Tuhan begitu besar dan dia begitu kecil.
Maka saya menyimpulkan: Kapanpun dan dimanapun kita berada selalu usahakan singkirkan penghalang yang menghalangi kita untuk datang kepada Tuhan. Mungkin itu suasana hati kita, mungkin itu dosa, mungkin itu kesibukan kita yang berlebihan, dll. Ketika kita melayani, kita berusaha tidak menciptakan penghalang bagi orang lain datang kepada Tuhan, dengan sikap kita, kata-kata kita atau persiapan lainnya. Itu usaha kita. Sisanya? Terserah bagaimana Tuhan bekerja. Kita tidak bisa katakan “Kalau semua beres, tempat baik, suasana dibuat baik, maka pasti ada berkat Tuhan”. Lakukan bagian kita, lakukan yang terbaik, harapkan berkat Tuhan dan biar Tuhan memberkati menurut kehendakNya.
Saya tahu Tuhan tidak terbatas oleh tempat dan suasana. Dia ada di Israel dan juga ada di Indonesia. Dia bisa bekerja dalam suasana apapun. Tetapi seringkali orang memakai kalimat ini secara berlebihan. Mereka mengkritik orang Kristen yang mengusahakan tempat dan suasana. Misalnya: Jika dalam suatu kebaktian, pada waktu berdoa diiringi dengan musik supaya suasana baik, maka mereka akan mengatakan Tuhan tidak terbatas dengan suasana. Artinya kalau Tuhan mau bekerja, pasti bisa tanpa bantuan musik. Musik malah mempermainkan emosi saja. Kadang-kadang saya mengelus dada (saya tahu seharusnya saya belajar jauh lebih bersabar) mendengar kritikan seperti itu. Mungkin ada baiknya saya menjawab dengan pertanyaan juga: “Mengapa harus berkhotbah 1 jam? Tuhan juga bisa bekerja dalam khotbah 5 menit atau bahkan tanpa khotbah, cukup dengan membacakan Firman Tuhan. Mengapa pengkhotbah harus berusaha memakai retorik dan intonasi yang baik, mengapa tidak datar saja sekaligus ditambah “eh.. ah.. eh..” dan salah-salah ngomong? Tuhan tokh tetap bisa bekerja. Mengapa pakai musik dikatakan mempermainkan emosi, sementara pakai retorik tidak dianggap mempermainkan emosi, atau mempermainkan logika?” Atau pertanyaan yang lebih ekstrim, “Kalau Tuhan bisa bekerja tanpa terikat dengan tempat dan suasana lalu mengapa kita perlu kerjakan sesuatu? Gereja tidak perlu dibuat bagus, tidak perlu pakai AC, musik tidak perlu yang baik, liturgis tidak perlu latihan, pengkhotbah tidak perlu persiapan, dst, dst.”
Jangan salah mengerti, saya sangat percaya Tuhan tidak terbatas tempat dan suasana. Saya hanya tidak setuju kalau konsep itu ditarik secara ekstrim.
Sebagai anak Tuhan kita punya hak istimewa untuk datang kepada Tuhan dengan leluasa. Bahkan Tuhan senang ketika kita datang untuk menyembah Dia dan bersekutu dengan Dia. Kita bisa lakukan itu dimana saja, kapan saja, dalam keadaan apa saja. Syarat satu-satunya adalah hati yang mau datang kepada Dia. Tetapi dunia memberikan penghalang yang begitu banyak. Kesibukan kita membuat kita tidak bisa tenang datang kepada Tuhan, sedikit gangguan membuat emosi kita yang hampir meledak jadi meledak sungguhan dan kita tidak bisa menyembah Tuhan, bapak di sebelah kita yang menyanyi dengan keras tapi false membuat kita tidak bisa bernyanyi, ibu-ibu yang cekikikan di samping kita membuat kita tidak bisa mendengar Firman Tuhan, liturgis yang gayanya aneh atau terlihat kurang persiapan membuat kita terganggu, dst, dst. Dengan banyaknya halangan-halangan itu, kita harus susah payah berjuang untuk datang kepada Tuhan.
Kadang-kadang Tuhan memang menerobos semua halangan, keadaan yang kacau, suasana yang buruk, semua yang serba tidak baik, Tuhan lewati semua itu dan terobos langsung untuk menyentuh hati orang. Tetapi tidak selalu demikian. Lebih sering kita mendengar orang yang terhalang datang kepada Tuhan karena halangan-halangan yang disebabkan kelalaian atau kemalasan (atau kenaifan) pelayan Tuhan.
Bagi saya, tempat-tempat tertentu di Israel yang membuat saya mudah terharu adalah tempat dimana penghalang itu begitu minim. Dengan begitu mudah saya datang kepada Tuhan. Tetapi saya juga belajar bahwa tempat yang sangat baik bagi saya tidak tentu sama baiknya bagi orang lain.
Pada waktu saya pergi, ada yang bercerita betapa terkesannya dia ketika berada di tempat-tempat tertentu. Tetapi pada waktu berada di sana, tempat yang dia sebutkan justru tidak berkesan apa-apa bagi saya. Malah tempat yang tidak berkesan bagi dia, justru berkesan bagi saya. Pada waktu naik ke gunung Sinai dengan mengendarai unta, saya sibuk memperhatikan langkah si unta dan itu menjadi penghalang bagi saya untuk tenang. Sementara ada seorang anggota rombongan kami yang bercerita dia justru menangis waktu mengendarai unta, karena saat itu dia merasa Tuhan begitu besar dan dia begitu kecil.
Maka saya menyimpulkan: Kapanpun dan dimanapun kita berada selalu usahakan singkirkan penghalang yang menghalangi kita untuk datang kepada Tuhan. Mungkin itu suasana hati kita, mungkin itu dosa, mungkin itu kesibukan kita yang berlebihan, dll. Ketika kita melayani, kita berusaha tidak menciptakan penghalang bagi orang lain datang kepada Tuhan, dengan sikap kita, kata-kata kita atau persiapan lainnya. Itu usaha kita. Sisanya? Terserah bagaimana Tuhan bekerja. Kita tidak bisa katakan “Kalau semua beres, tempat baik, suasana dibuat baik, maka pasti ada berkat Tuhan”. Lakukan bagian kita, lakukan yang terbaik, harapkan berkat Tuhan dan biar Tuhan memberkati menurut kehendakNya.
Thursday, June 05, 2008
An Icon in Abu Sirga Church (Reflection from Trip to Israel - 3)
Saya lupa kapan persisnya pertama kali saya melihat lukisan di atas. Tetapi yang saya ingat adalah lukisan itu menarik hati saya. Pertama kali saya lihat, saya sempat bertanya-tanya lukisan apa itu. Apakah itu adalah lukisan Yesus atau santo tertentu? Dan akhirnya saya tahu bahwa itu adalah lukisan Yesus. Entah mengapa lukisan itu sangat menarik bagi saya.
Sebelum pergi ke Israel, saya mencoba untuk membaca beberapa tulisan tentang tempat-tempat yang akan kami kunjungi. Salah satunya adalah gereja Abu Sirga (Disebut juga gereja St.Sergius dan St. Bacchus karena memang dibangun untuk menghormati kedua orang itu, dan Abu Sirga adalah bahasa Arab dari Sergius). Saya tahu gereja itu dibangun di atas tempat yang dipercaya sebagai tempat tinggal Yusuf, Maria dan Yesus ketika mereka lari ke Mesir menghindari pembunuhan oleh Herodes. Saya juga tahu ada beberapa icon berupa lukisan di gereja itu. Tetapi saya tidak mengharapkan apa yang kemudian saya alami waktu berada di sana.
Selain relikwi berupa tulang dari St. Sergius dan St. Bacchus, sepanjang yang saya lihat, tidak ada icon santo atau santa tertentu yang bukan tokoh Alkitab. Di tembok sebelah kanan terpajang deretan icon lukisan yang menggambarkan kehidupan Yesus. Sangat menarik dan menyentuh bagi saya (Sampai-sampai setelah meninggalkan gereja itu dan saya tahu di situ ada postcard bergambar icon-icon tersebut, saya buru-buru balik ke gereja itu untuk membelinya).
Ketika melihat tembok sebelah kiri, saya terkejut. Di situ ada 5 icon berupa lukisan dan yang membuat saya terkejut adalah icon yang di tengah adalah lukisan di atas, lukisan Yesus yang menarik hati saya. Saya langsung bertanya kepada tour guide kami yang adalah orang Mesir, apakah lukisan itu asli? Lukisan siapakah 4 lukisan di kiri dan kanan lukisan Yesus? Dia mengatakan semua adalah lukisan asli dan 4 lukisan di kiri kanan itu adalah Matius, Markus, Lukas dan Yohanes.
Saya… sangat.. sangat.. senang melihat lukisan itu! Lukisan yang selama ini saya lihat di internet atau di buku, sekarang saya lihat aslinya. Ternyata lukisan itu ada di situ! Itu adalah lukisan Yesus yang dibuat oleh gereja Coptic Orthodox. Lukisan itu menyatakan iman orang gereja Coptic Orthodox kepada Yesus, iman yang sama dengan iman saya, iman kepada Yesus yang dikisahkan kehidupannya di dalam 4 kitab Injil.
Gereja Coptic Orthodox terpisah dengan dunia kekristenan lain karena masalah perdebatan tentang natur Kristus. Setelah konsili Chalcedon tahun 451 memutuskan bahwa ada 2 natur Kristus, kemanusiaan dan keilahian yang tidak bercampur dan tidak bisa dipisahkan, mereka tidak setuju dan memisahkan diri. Pandangan mereka disebut monophysite, Kristus hanya memiliki 1 natur. Mereka tidak menerima pandangan Euthycianisme yang ekstrim yang mengatakan sebelum berinkarnasi Yesus punya 2 natur, tetapi kemudian natur kemanusiaan Kristus melebur dalam ke-ilahianNya seperti “setetes madu ke dalam laut”. Mereka tidak terima itu tetapi mereka menerima pandangan Cyril dari Alexandria tentang “one nature of the incarnate Word” (satu natur Firman yang berinkarnasi), yaitu ilahi-manusia. Sejak itu mereka menjadi gereja yang terisolasi selama berabad-abad.
Ketika masuk ke gereja itu, saya merasakan suasana yang lain. Gereja itu membuat saya langsung ingin berdoa kepada Tuhan. Saya memuji Tuhan karena ada Yesus yang sama yang disembah di situ, selama berabad-abad. Saya memuji Tuhan karena orang-orang Kristen di situ terus mengingat bahwa Yesus pernah datang ke Mesir, Tuhan penguasa semesta yang pernah harus melarikan diri karena akan dibunuh oleh manusia. Dan itu adalah karena kasihNya. Saya memuji Tuhan!
Monday, June 02, 2008
Places VS Charms (Reflection from Trip to Israel - 2)
Baik pada waktu saya akan berangkat ke Israel, selama di sana ataupun setelah kembali dari sana, banyak teman yang dengan bercanda mengatakan bahwa saya "naik haji" ala Kristen hehe…
Kita sama-sama tahu bahwa pergi ke Israel berbeda dengan naik haji seperti yang dilakukan oleh orang muslim. Naik haji adalah rukun Islam yang kelima sementara pergi ke Israel sama sekali tidak diperintahkan oleh Alkitab.
Sebelum pergi ke Israel, saya sudah mendengar tentang perilaku tidak Alkitabiah dari orang-orang Kristen yang pergi ke sana. Pada waktu di sana saya mendengar beberapa cerita yang lebih aneh lagi dan saya sempat melihat beberapa di antaranya. Ada orang Kristen yang ingin dibaptis ulang di sungai Yordan, ada yang sengaja menyentuh batu atau tempat tertentu dengan harapan ada berkatnya, ada yang meletakkan uang di gereja tertentu supaya diberkati lebih banyak, dsb.
Perilaku-perilaku seperti itu jelas sama sekali tidak berdasarkan Alkitab, bahkan boleh dibilang melawan Alkitab. Seakan-akan Tuhan menunjuk tempat atau benda tertentu untuk menjadi jimat bagi orang Kristen. Seakan-akan ada kehadiran Tuhan yang lebih di situ yang membuat Tuhan mau tidak mau memberkati orang-orang yang menyentuhnya. Ini konsep lampu Aladin dan bukan konsep Alkitab. Tuhan tidak pernah terikat oleh tempat atau benda.
Israel adalah lokasi terjadinya banyak peristiwa-peristiwa dalam Alkitab. Dulu tempat itu dipilih Allah untuk menjadi tempat kehidupan Yesus di bumi. Tetapi tidak pernah Tuhan berfirman supaya kita selalu ke Israel untuk mendapatkan berkat yang lebih besar. Tuhan tidak terikat pada tempat penyaliban Yesus, lokasi Yesus membuat mukjizat, air sungai tempat Yesus dibaptis, dsb sehingga kalau kita kesana Tuhan pasti memberkati.
Uniknya, ternyata mental jimat ini sangat melekat pada manusia. Manusia memang selalu suka mencari suatu tempat atau benda yang dianggap punya ‘isi’, punya kuasa dan bisa ditakuti oleh dirinya. Maka kalau saja kubur Musa ditemukan, pasti banyak orang Israel zaman itu yang menyembahnya. Dan kalau saja salib Yesus ditemukan, pasti banyak orang Kristen yang menyembahnya (terbukti ketika Ratu Helena memerintahkan pencarian salib Yesus dan menemukan banyak salib palsu, itu pun sudah menjadi benda yang dipuja-puja oleh gereja).
Bukan berarti tempat atau benda itu tidak penting. Tuhan juga memakai benda atau tempat sebagai simbol kehadiranNya, seperti bait suci dan tabut perjanjian. Tetapi Tuhan sudah berulang kali mengajar orang Israel, jangan jadikan itu jimat. Bait suci adalah simbol kehadiran Tuhan, tempat itu dikuduskan oleh Tuhan, dan kalau mereka sembarangan bisa langsung mati. Tetapi ketika Israel melawan Tuhan, dibiarkanNya orang Babel dan orang Roma untuk masuk ke ruang maha kudus bahkan menghancurkannya dan tidak mati. Ketika Israel berperang melawan Filistin, mereka membawa tabut perjanjian ke medan perang supaya mau tidak mau Tuhan memberkati, tetapi Tuhan malah membiarkan tabut itu dirampas oleh orang Filistin. Orang-orang itu mungkin menyentuh, membuka dan melihat ke dalamnya tetapi tidak menjadi mati, sebagaimana kalau itu dulu dilakukan orang Israel. Bait suci dan tabut perjanjian bukan jimat, tidak ada tempat atau benda yang adalah jimat. Kehadiran Tuhan tidak pernah bisa diikat oleh tempat atau benda apapun.
Pergi ke Israel seperti mencari ilustrasi untuk Firman Tuhan, mencari alat peraga untuk cerita Alkitab atau seperti yang saya sebutkan di tulisan sebelumnya, mencari icon untuk merangsang imajinasi kita akan cerita Alkitab. Kalau boleh saya bandingkan, walau tidak terlalu tepat, pergi ke Israel adalah seperti pergi mendengar khotbah. Apakah ada berkatnya? Ada! Tapi apakah mendengar khotbah pasti mendapat berkat? Jelas tidak! Tergantung bagaimana kita mendengar, tergantung bagaimana kita membuka hati kita, dan tergantung apakah Tuhan memberkati. Seperti itu jugalah pergi ke Israel. Itu hanya suatu tempat. Memang tempat yang luar biasa, tempat dimana Tuhan pernah menyatakan dengan sangat jelas kemuliaanNya di tengah manusia, tetapi tetap hanyalah suatu tempat. Apakah ada berkatnya pergi ke sana? Tergantung bagaimana kita merenungkan kaitan tempat itu dengan Firman Tuhan, tergantung bagaimana hati kita apakah bebal atau lembut ingin mengenal Tuhan lebih dalam, tergantung apakah Tuhan memberkati.
Kalau saya pikir-pikir, kenapa banyak orang punya mental jimat? Jawabannya mengerikan, karena mereka ingin memegang Tuhan dalam kuasa mereka. Tapi Tuhan tidak pernah bisa dikuasai manusia.
Tidak ada embel-embel baru di depan nama saya karena saya pernah ke Israel. Saya hanya pernah pergi ke suatu tempat, Israel, dan di sana saya merenungkan Firman Tuhan serta berdoa.
Kita sama-sama tahu bahwa pergi ke Israel berbeda dengan naik haji seperti yang dilakukan oleh orang muslim. Naik haji adalah rukun Islam yang kelima sementara pergi ke Israel sama sekali tidak diperintahkan oleh Alkitab.
Sebelum pergi ke Israel, saya sudah mendengar tentang perilaku tidak Alkitabiah dari orang-orang Kristen yang pergi ke sana. Pada waktu di sana saya mendengar beberapa cerita yang lebih aneh lagi dan saya sempat melihat beberapa di antaranya. Ada orang Kristen yang ingin dibaptis ulang di sungai Yordan, ada yang sengaja menyentuh batu atau tempat tertentu dengan harapan ada berkatnya, ada yang meletakkan uang di gereja tertentu supaya diberkati lebih banyak, dsb.
Perilaku-perilaku seperti itu jelas sama sekali tidak berdasarkan Alkitab, bahkan boleh dibilang melawan Alkitab. Seakan-akan Tuhan menunjuk tempat atau benda tertentu untuk menjadi jimat bagi orang Kristen. Seakan-akan ada kehadiran Tuhan yang lebih di situ yang membuat Tuhan mau tidak mau memberkati orang-orang yang menyentuhnya. Ini konsep lampu Aladin dan bukan konsep Alkitab. Tuhan tidak pernah terikat oleh tempat atau benda.
Israel adalah lokasi terjadinya banyak peristiwa-peristiwa dalam Alkitab. Dulu tempat itu dipilih Allah untuk menjadi tempat kehidupan Yesus di bumi. Tetapi tidak pernah Tuhan berfirman supaya kita selalu ke Israel untuk mendapatkan berkat yang lebih besar. Tuhan tidak terikat pada tempat penyaliban Yesus, lokasi Yesus membuat mukjizat, air sungai tempat Yesus dibaptis, dsb sehingga kalau kita kesana Tuhan pasti memberkati.
Uniknya, ternyata mental jimat ini sangat melekat pada manusia. Manusia memang selalu suka mencari suatu tempat atau benda yang dianggap punya ‘isi’, punya kuasa dan bisa ditakuti oleh dirinya. Maka kalau saja kubur Musa ditemukan, pasti banyak orang Israel zaman itu yang menyembahnya. Dan kalau saja salib Yesus ditemukan, pasti banyak orang Kristen yang menyembahnya (terbukti ketika Ratu Helena memerintahkan pencarian salib Yesus dan menemukan banyak salib palsu, itu pun sudah menjadi benda yang dipuja-puja oleh gereja).
Bukan berarti tempat atau benda itu tidak penting. Tuhan juga memakai benda atau tempat sebagai simbol kehadiranNya, seperti bait suci dan tabut perjanjian. Tetapi Tuhan sudah berulang kali mengajar orang Israel, jangan jadikan itu jimat. Bait suci adalah simbol kehadiran Tuhan, tempat itu dikuduskan oleh Tuhan, dan kalau mereka sembarangan bisa langsung mati. Tetapi ketika Israel melawan Tuhan, dibiarkanNya orang Babel dan orang Roma untuk masuk ke ruang maha kudus bahkan menghancurkannya dan tidak mati. Ketika Israel berperang melawan Filistin, mereka membawa tabut perjanjian ke medan perang supaya mau tidak mau Tuhan memberkati, tetapi Tuhan malah membiarkan tabut itu dirampas oleh orang Filistin. Orang-orang itu mungkin menyentuh, membuka dan melihat ke dalamnya tetapi tidak menjadi mati, sebagaimana kalau itu dulu dilakukan orang Israel. Bait suci dan tabut perjanjian bukan jimat, tidak ada tempat atau benda yang adalah jimat. Kehadiran Tuhan tidak pernah bisa diikat oleh tempat atau benda apapun.
Pergi ke Israel seperti mencari ilustrasi untuk Firman Tuhan, mencari alat peraga untuk cerita Alkitab atau seperti yang saya sebutkan di tulisan sebelumnya, mencari icon untuk merangsang imajinasi kita akan cerita Alkitab. Kalau boleh saya bandingkan, walau tidak terlalu tepat, pergi ke Israel adalah seperti pergi mendengar khotbah. Apakah ada berkatnya? Ada! Tapi apakah mendengar khotbah pasti mendapat berkat? Jelas tidak! Tergantung bagaimana kita mendengar, tergantung bagaimana kita membuka hati kita, dan tergantung apakah Tuhan memberkati. Seperti itu jugalah pergi ke Israel. Itu hanya suatu tempat. Memang tempat yang luar biasa, tempat dimana Tuhan pernah menyatakan dengan sangat jelas kemuliaanNya di tengah manusia, tetapi tetap hanyalah suatu tempat. Apakah ada berkatnya pergi ke sana? Tergantung bagaimana kita merenungkan kaitan tempat itu dengan Firman Tuhan, tergantung bagaimana hati kita apakah bebal atau lembut ingin mengenal Tuhan lebih dalam, tergantung apakah Tuhan memberkati.
Kalau saya pikir-pikir, kenapa banyak orang punya mental jimat? Jawabannya mengerikan, karena mereka ingin memegang Tuhan dalam kuasa mereka. Tapi Tuhan tidak pernah bisa dikuasai manusia.
Tidak ada embel-embel baru di depan nama saya karena saya pernah ke Israel. Saya hanya pernah pergi ke suatu tempat, Israel, dan di sana saya merenungkan Firman Tuhan serta berdoa.
Wednesday, May 28, 2008
Places as Icons (Reflection from Trip to Israel - 1)
Sebelum pergi ke Israel, saya punya sikap skeptis terhadap perjalanan ke Israel yang banyak dilakukan oleh orang Kristen. Alasannya adalah saya merasa banyak tempat-tempat di sana yang sebenarnya tidak bisa dipastikan keasliannya.
Peristiwa-peristiwa penting berkaitan dengan hidup Yesus terjadi sekitar tahun 5 SM – 29 M. Tahun 70 M kota Yerusalem pernah dihancurkan dan orang Yahudi, termasuk orang Kristen, tersebar kemana-mana. Setelah itu penganiayaan kepada orang Kristen makin menghebat. Di tengah hebatnya penganiayaan, mungkin banyak orang Kristen yang tidak terlalu memperhatikan lagi tempat-tempat yang berkaitan dengan kehidupan Yesus. Baru pada abad ke-4, ketika kekaisaran Romawi menjadi Kristen, orang-orang berusaha menemukan kembali tempat-tempat itu dan membangun gereja di atasnya.
Karena latar belakang seperti demikian, saya sangat ragu darimana orang bisa tahu pasti tempat Yesus dilahirkan, tempat Yesus disalibkan, jalan yang dilalui Yesus sambil memikul salib, dan sebagainya. Maka keraguan saya adalah untuk apa pergi hanya melihat sesuatu yang sebetulnya "palsu."
Ketika saya diajak untuk ikut ke Israel, saya bergumul apa yang harus saya harapkan pada waktu berada di sana. Apakah perjalanan ini akan menjadi perjalanan yang berarti atau sekedar sebuah wisata. Lagipula, saya akan pergi bukan sekedar sebagai penikmat wisata tetapi sebagai pembimbing rohani. Saya harus mengatakan sesuatu pada waktu berada di sana! Apa yang harus saya katakan?
Ketika di sana, saya menemukan bahwa tempat-tempat yang kami kunjungi mungkin bisa dikategorikan menjadi 3 macam:
1. Tempat-tempat yang bisa dikatakan pasti atau minimal hampir pasti
Tempat-tempat seperti ini ditentukan berdasarkan tradisi yang sangat kuat, yaitu tradisi oral yang tidak pernah terputus. Tempat-tempat seperti ini misalnya: Gereja St. Peter di Galicantu yang adalah rumah Kayafas. Di dalam Alkitab dikatakan Yesus malam hari dibawa ke rumah Kayafas untuk diadili dan pagi-pagi Dia dibawa ke Pilatus. Antara malam dan pagi, sangat mungkin Dia ditahan dalam penjara. Penggalian arkeologi kemudian menemukan penjara di bawah rumah itu. Bisa kita katakan Yesus pasti pernah ada di rumah itu, dan bahkan sangat mungkin Yesus juga pernah ada dalam penjara itu. Bagi saya tempat-tempat seperti ini memberi kesan yang sangat kuat. Luapan emosi begitu besar. My Lord Jesus was here!
Peristiwa-peristiwa penting berkaitan dengan hidup Yesus terjadi sekitar tahun 5 SM – 29 M. Tahun 70 M kota Yerusalem pernah dihancurkan dan orang Yahudi, termasuk orang Kristen, tersebar kemana-mana. Setelah itu penganiayaan kepada orang Kristen makin menghebat. Di tengah hebatnya penganiayaan, mungkin banyak orang Kristen yang tidak terlalu memperhatikan lagi tempat-tempat yang berkaitan dengan kehidupan Yesus. Baru pada abad ke-4, ketika kekaisaran Romawi menjadi Kristen, orang-orang berusaha menemukan kembali tempat-tempat itu dan membangun gereja di atasnya.
Karena latar belakang seperti demikian, saya sangat ragu darimana orang bisa tahu pasti tempat Yesus dilahirkan, tempat Yesus disalibkan, jalan yang dilalui Yesus sambil memikul salib, dan sebagainya. Maka keraguan saya adalah untuk apa pergi hanya melihat sesuatu yang sebetulnya "palsu."
Ketika saya diajak untuk ikut ke Israel, saya bergumul apa yang harus saya harapkan pada waktu berada di sana. Apakah perjalanan ini akan menjadi perjalanan yang berarti atau sekedar sebuah wisata. Lagipula, saya akan pergi bukan sekedar sebagai penikmat wisata tetapi sebagai pembimbing rohani. Saya harus mengatakan sesuatu pada waktu berada di sana! Apa yang harus saya katakan?
Ketika di sana, saya menemukan bahwa tempat-tempat yang kami kunjungi mungkin bisa dikategorikan menjadi 3 macam:
1. Tempat-tempat yang bisa dikatakan pasti atau minimal hampir pasti
Tempat-tempat seperti ini ditentukan berdasarkan tradisi yang sangat kuat, yaitu tradisi oral yang tidak pernah terputus. Tempat-tempat seperti ini misalnya: Gereja St. Peter di Galicantu yang adalah rumah Kayafas. Di dalam Alkitab dikatakan Yesus malam hari dibawa ke rumah Kayafas untuk diadili dan pagi-pagi Dia dibawa ke Pilatus. Antara malam dan pagi, sangat mungkin Dia ditahan dalam penjara. Penggalian arkeologi kemudian menemukan penjara di bawah rumah itu. Bisa kita katakan Yesus pasti pernah ada di rumah itu, dan bahkan sangat mungkin Yesus juga pernah ada dalam penjara itu. Bagi saya tempat-tempat seperti ini memberi kesan yang sangat kuat. Luapan emosi begitu besar. My Lord Jesus was here!
2. Tempat-tempat yang tidak bisa dipastikan dengan tepat lokasinya, tetapi letaknya di sekitar tempat itu dan suasana serta keadaan lingkungannya tidak jauh berbeda.
Tempat-tempat seperti ini, walaupun tidak pasti, tetapi memberikan gambaran yang sangat dekat. Misalnya: gunung Sinai. Setahu saya saat ini lokasi gunung Sinai yang dimaksud di dalam Alkitab tidak diperdebatkan lagi. Tetapi di bagian mana persisnya lokasi orang Israel berkemah dan Musa menerima hukum Allah, tidak ada yang tahu. Tetapi karena pemandangan sekitar gunung Sinai kurang lebih sama, maka pada waktu berada di salah satu puncak gunung Sinai, saya bisa membayangkan pemandangan yang sama dengan yang dulu dilihat orang Israel ketika Tuhan memberikan 10 hukumNya.
Tempat-tempat seperti ini, walaupun tidak pasti, tetapi memberikan gambaran yang sangat dekat. Misalnya: gunung Sinai. Setahu saya saat ini lokasi gunung Sinai yang dimaksud di dalam Alkitab tidak diperdebatkan lagi. Tetapi di bagian mana persisnya lokasi orang Israel berkemah dan Musa menerima hukum Allah, tidak ada yang tahu. Tetapi karena pemandangan sekitar gunung Sinai kurang lebih sama, maka pada waktu berada di salah satu puncak gunung Sinai, saya bisa membayangkan pemandangan yang sama dengan yang dulu dilihat orang Israel ketika Tuhan memberikan 10 hukumNya.
Tempat lain yang seperti ini adalah via dolorosa, jalan salib yang dilalui oleh Yesus. Kita memang tidak tahu persis jalan mana yang dilewati oleh Yesus, bahkan lokasi bukit Golgota pun tidak diketahui dengan pasti, tetapi suasana jalan-jalan di kota tua Yerusalem kurang lebih sama. Maka saya bisa membayangkan seperti itu juga jalan yang dilalui Yesus sambil memikul salib.
Untuk tempat-tempat seperti ini, saya juga merasakan kesan yang kuat. Dengan mudah saya bisa membayangkan secara dekat peristiwa yang saya baca di dalam Alkitab.
3. Tempat-tempat yang sama sekali tidak pasti
Berbeda dengan dua macam tempat yang pertama, tempat-tempat seperti ini tidak memberikan kesan yang kuat kepada saya.
Perbedaan kesan yang ditimbulkan oleh setiap tempat itu kepada saya jelas disebabkan oleh ‘kadar keasliannya’. Tempat yang sama sekali tidak bisa saya yakini sebagai tempat yang benar, tidak bisa membuat saya mengkaitkannya dengan kisah yang saya baca di dalam Alkitab.
Boleh saya katakan tempat-tempat itu menjadi semacam ilustrasi bagi kisah Alkitab. Memakai istilah gereja Katolik, tempat-tempat itu menjadi semacam ‘icon’. Bukan menjadi icon untuk dipuja tetapi menjadi icon yang merangsang imajinasi saya akan peristiwa Alkitab. Juga bukan menjadi icon yang menggantikan Alkitab tetapi menolong saya lebih menghayati apa yang sudah saya baca di dalam Alkitab.
Maka betapa salahnya jika kita pergi ke sana tanpa tahu peristiwa itu di dalam Alkitab. Kita harus mengkaitkan tempat itu dengan apa? Lalu what’s the point pergi ke sana?
Untuk tempat-tempat seperti ini, saya juga merasakan kesan yang kuat. Dengan mudah saya bisa membayangkan secara dekat peristiwa yang saya baca di dalam Alkitab.
3. Tempat-tempat yang sama sekali tidak pasti
Tempat-tempat seperti ini ditentukan berdasarkan tradisi yang sangat lemah, maksudnya tradisi oral (dari mulut ke mulut) yang sempat terputus. Jadi dulu orang tahu itu tempatnya, tapi karena perang atau lain hal, tidak ada lagi orang yang tahu dimana. Kemudian tiba-tiba muncul dugaan lagi bahwa itu tempatnya dan dugaan itu yang kemudian menyebar. Ini adalah tradisi yang sangat lemah. Tempat-tempat seperti ini misalnya: Gereja tempat Yesus naik ke surga atau bukit Golgota.
Berbeda dengan dua macam tempat yang pertama, tempat-tempat seperti ini tidak memberikan kesan yang kuat kepada saya.
Perbedaan kesan yang ditimbulkan oleh setiap tempat itu kepada saya jelas disebabkan oleh ‘kadar keasliannya’. Tempat yang sama sekali tidak bisa saya yakini sebagai tempat yang benar, tidak bisa membuat saya mengkaitkannya dengan kisah yang saya baca di dalam Alkitab.
Boleh saya katakan tempat-tempat itu menjadi semacam ilustrasi bagi kisah Alkitab. Memakai istilah gereja Katolik, tempat-tempat itu menjadi semacam ‘icon’. Bukan menjadi icon untuk dipuja tetapi menjadi icon yang merangsang imajinasi saya akan peristiwa Alkitab. Juga bukan menjadi icon yang menggantikan Alkitab tetapi menolong saya lebih menghayati apa yang sudah saya baca di dalam Alkitab.
Maka betapa salahnya jika kita pergi ke sana tanpa tahu peristiwa itu di dalam Alkitab. Kita harus mengkaitkan tempat itu dengan apa? Lalu what’s the point pergi ke sana?
Oh ya, saya perlu tambahkan. Ada tempat-tempat yang memang sama sekali tidak pasti, tetapi di tempat itu orang Kristen selama berabad-abad melakukan penyembahan. Dan saya memperoleh kesan yang sangat kuat juga di situ. Bukan dengan mengkaitkannya langsung dengan peristiwa dalam Alkitab. Tetapi saya membayangkan Tuhan yang disembah dan dipuja selama ribuan tahun di tempat itu. Tempat-tempat semacam itu menjadi semacam batu peringatan. Seperti hari kelahiran Yesus yang tidak pernah kita ketahui kapan, tetapi tanggal 25 Desember menjadi ‘batu peringatan’ untuk itu. Demikian pula tempat-tempat itu menjadi batu peringatan untuk karya Tuhan. Tempat-tempat seperti itu misalnya: Gereja Abu Sirga (dipercaya dibangun di atas tempat keluarga Yesus pernah tinggal ketika lari ke Mesir) dan stasiun terakhir via dolorosa (dipercaya oleh gereja Katolik sebagai tempat penyaliban Yesus).
Wednesday, May 07, 2008
Bercanda
Jarang kita sadari bahwa bercanda sedikit banyak ada kaitannya dengan apa yang sesungguhnya kita pikirkan. Misalnya ketika kita berkata “wah perutmu kayak semar”, biasanya kita tidak katakan itu kepada orang yang super kurus tapi justru kepada orang yang memang dalam pikiran kita perutnya besar. Atau ketika kita bilang “rambutmu bagus ya kayak bihun”, biasanya kita tidak katakan itu kepada orang yang dalam pikiran kita rambutnya sangat halus, tetapi justru kepada yang menurut kita rambutnya kasar. Kalau tidak seperti demikian, maka candaan kita pasti tidak lucu karena orang tidak melihat kaitannya.
Walaupun ketika mengucapkan kata-kata canda itu kita jarang menyadari ada kaitan antara bercandanya kita dan apa yang kita pikirkan, tetapi lain ceritanya ketika kita yang dijadikan sasaran bercanda. Orang yang dijadikan sasaran bercanda akan lebih peka bahwa ada kesamaan antara dirinya (artinya kenyataan sesungguhnya) dengan kalimat candaan yang ditujukan kepada dirinya. Dampaknya? Bisa dia ikut tertawa karena memang lucu dan baru sadar bahwa dirinya bisa dianalogikan seperti itu atau bisa sangat tersinggung karena kalimat itu mencungkil sesuatu yang sensitif bagi dia.
Apa yang menyebabkan reaksi orang itu berbeda? Jawabannya juga bisa macam-macam. Tetapi salah satunya adalah relasi dia dengan orang yang mengucapkannya. Kalau dia kenal baik dengan orang yang mencandainya, kecil kemungkinan dia tersinggung. Biasanya dia akan tertawa dan mungkin balas mengucapkan candaan tentang orang itu. Tetapi kalau dia tidak terlalu mengenal orang itu, cerita menjadi berbeda.
Bukankah kita memang harus hati-hati dalam berkata-kata, termasuk kata-kata yang kita kategorikan bercanda? Jangan salah mengerti, saya tidak mengatakan kita tidak boleh bercanda. Betapa sepinya dan membosankannya dunia tanpa kalimat-kalimat candaan (termasuk yang bernada saling ‘menghina’, oops!). Tapi cobalah berhati-hati.
Jika candaan itu memang ada kaitannya dengan apa yang sesungguhnya kita pikirkan, mari ingat jangan sampai candaan itu keluar dari pikiran yang jahat. Kita boleh melihat kekurangan orang (baik karakter, kesalahan ataupun fisik) lalu mengucapkannya dalam bentuk candaan, asalkan di dalam kasih. Kalau itu kita lakukan di dalam kasih, tidak ada yang salah walaupun sekali lagi, hati-hati! Tetapi menjadi berbeda jika kita bukan saja melihat tetapi sungguh menghina orang itu dalam pikiran kita lalu mengeluarkannya dalam bentuk candaan. Orang itu mungkin tidak tersinggung karena dia tidak tahu bahwa kita sedang menghina. Tapi itu tetap berdosa. Pikiran yang jahat dikeluarkan dalam kalimat manis, kalimat candaan, yang palsu. Orang tertawa dan kita puas. Tetapi tidak ada yang menyangka bahwa kalimat itu sebetulnya keluar untuk memuaskan kejahatan hati kita.
Bayangkan betapa sakitnya orang itu jika dia bisa merasakan bahwa ‘candaan’ itu sebetulnya bukan masuk dalam kategori bercanda tetapi penghinaan.
Wednesday, April 23, 2008
Ketulusan
Ketulusan dari dulu adalah karakter yang sangat disukai. Kita tidak suka kepada orang yang ‘ada udang di balik batu’ (bahkan ungkapan ini pun sudah lama sekali muncul), orang yang berbelok-belok untuk menyembunyikan maksudnya, orang yang menjebak, pendek kata kita tidak suka orang yang tidak tulus. Walaupun demikian, kita seringkali memaafkan ketidaktulusan. Kita tidak terlalu merasa terganggu dengan ketidaktulusan yang dilakukan orang di sekitar kita.
Tetapi di zaman sekarang keadaan sudah berubah. Kepekaan akan ada tidaknya ketulusan ini menjadi lebih tajam. Bukan berarti orang-orang zaman sekarang lebih tulus (bagaimanapun orang tetap berdosa), tetapi mereka lebih peka, curiga dan tidak suka dengan ketidaktulusan.
Saya ambil contoh praktis saja dari dunia pemasaran. Dulu para agen asuransi diajarkan oleh perusahaan supaya ketika menawarkan asuransi, sebisa mungkin jangan katakan bahwa produk yang dijual adalah asuransi. Alasannya? Banyak orang yang belum mengerti asuransi tetapi langsung antipati ketika mendapat penawaran asuransi. Maka para agen asuransi akan ‘putar-putar’ dulu ketika bicara, baru ujungnya berkata “nah inilah yang saya jual”.
Demikian pula dalam sistem pemasaran multi level (MLM) yang sangat booming sejak hampir 20 tahun yang lalu. Ketika ingin mengajak orang untuk bergabung, mereka diajarkan untuk tidak ‘straight to the point’. Maka mereka mungkin akan mulai dengan mengajak orang itu berpikir apa yang diinginkannya (seringkali yang digali adalah ketamakan dan kemalasan orang itu, seperti ingin punya mobil mewah, penghasilan ratusan juta, tanpa bekerja pula). Bahkan ketika ingin mulai bicara pun, mereka tidak akan katakan ingin membicarakan hal itu. Mereka mungkin katakan ingin datang main ke rumah, ingin bicarakan bisnis, atau bahkan sekedar ‘membesuk’. Setelah ‘putar-putar’, baru mereka menjelaskan maksud sebenarnya.
Cara-cara pemasaran seperti ini terbukti sukses, tapi itu dulu. Sekarang ini, cara-cara yang saya sebutkan di atas masih dilakukan, tetapi saya makin banyak mendengar suara-suara miring dari orang-orang yang menjadi ‘korban’ pemasaran dengan cara tersebut. Mereka merasa ditipu, menjadi objek, diganggu, dan yang paling menyedihkan adalah itu dilakukan oleh orang-orang yang mereka kenal. Artinya ada relasi yang terluka di situ.
Saya pernah mengalaminya. Suatu kali ada teman lama yang tiba-tiba menelpon. Wah, saya sangat senang karena memang sudah lama tidak bertemu. Tetapi setelah basa-basi sejenak, kemudian dia mengatakan ingin menawarkan bisnis. Ketika saya tanya bisnis apa, dia mencoba menyembunyikannya dan mengatakan akan menjelaskannya ketika nanti bertemu saya. Di otak saya langsung muncul 3 huruf yang berkedip-kedip “M-L-M” (Multi Level Marketing). Akhirnya dia memang mengaku, dan dengan sopan saya menolak karena sayatidak tertarik. Setelah telpon ditutup, saya merasa sakit hati. Saya tahu teman saya itu pasti mencoba memikirkan setiap nama yang bisa di ‘prospek’ dan di situlah baru dia teringat nama saya. Sejak hari itu, dia juga tidak pernah menelpon saya lagi. Saya sangat merasa dimanfaatkan dan tidak suka dengan ketidaktulusannya.
Saya juga pernah terjebak, duduk dan harus mendengarkan presentasi yang ‘putar-putar’ dulu itu, yang padahal dari awal saya sudah tahu ujungnya akan seperti apa. Pertanyaan seperti “apa yang anda cita-citakan?” untuk menggali ketamakan saya, membuat saya muak.
Ada 1 cerita lagi, suatu kali seorang teman mengirim SMS menanyakan kapan saya ada waktu karena dia ingin mampir dan ngobrol. Pengalaman saya (bukan cuma sekali dalam peristiwa yang saya ceritakan di atas, tapi beberapa kali) langsung membuat alarm di atas kepala saya berbunyi. Teman ini bukan teman yang dekat, kami juga sudah tidak bertemu beberapa tahun, dan dia tidak pernah khusus ingin ngobrol dengan saya sebelumnya. Belakangan saya tahu, dia memang ingin menawarkan asuransi.
Saya perlu jelaskan dulu, saya tidak anti dengan produk asuransi atau produk yang ditawarkan melalui jaringan MLM. Produk asuransi dan MLM banyak yang bagus dan memang dibutuhkan. Saya juga mencari beberapa di antaranya dan senang membelinya. Tapi saya tidak suka dijebak. Saya lebih senang jika ada orang yang langsung katakan “saya jualan asuransi/produk A, kamu perlu nggak? Kalau mau, biar saya jelasin dulu nanti terserah putusin tertarik atau nggak”.
Saya yakin cara-cara pemasaran seperti di atas masih sukses, dan itu sebabnya masih dipakai. Tetapi saya juga yakin cara pemasaran seperti itu pasti akan makin tidak populer dalam tahun-tahun yang akan datang. Dan adalah kebodohan jika perusahaan-perusahaan masih melatih tenaga pemasarnya melakukan hal-hal seperti di atas, karena itu berarti mereka tidak peka menangkap perubahan.
Saya tidak ingin menulis panjang lebar seperti ini untuk mengkritik dunia pemasaran, tetapi yang ingin saya ajak kita lihat adalah ternyata banyak gereja juga melakukan hal yang sama. Gereja juga tidak membaca perubahan zaman.
Mungkin dulu orang Kristen merasa cara-cara pemasaran seperti di atas sukses untuk bisnis, maka mereka berpikir “wah, ini cocok juga di gereja”. Maka dibuatlah penginjilan dengan cara seperti demikian. Misalnya kita mengadakan pertemuan di rumah, kita undang tetangga dengan menyebutkan “ini acara makan-makan”, tetapi waktu mereka datang ada pengkhotbah yang menginjili mereka. Kita juga tiba-tiba menelpon kenalan lama kita, yang tidak pernah sama sekali kita hubungi dan sejujurnya tidak pernah kita ingat, hanya untuk mengajak mereka ke KKR (bayangkan perasaan mereka karena tahu nama mereka baru teringat waktu kita sedang mendaftarkan siapa yang bisa diajak untuk KKR). Atau kita tiba-tiba menyapa dengan sopan tetangga kita yang tadinya tidak pernah kita sapa (dan mungkin dia sebal dengan kita) hanya karena ingin mengajak mereka ke persekutuan di rumah kita.
Sekali lagi saya yakin cara-cara seperti di atas masih bisa dipakai dan sangat bagus kalau orang Kristen punya semangat untuk memberitakan Injil. Tetapi saya juga yakin cara-cara seperti itu akan makin membuat gereja dicela daripada dimuliakan. Mengapa? Sama seperti kasus dalam dunia pemasaran yang saya sebutkan di atas, itu sangat tidak tulus! Mengapa tidak langsung katakan “Minggu depan ada kebaktian di situ, khusus jelasin tentang kekristenan. Mau ikut nggak? Kalo mau, datang aja dengerin, nanti saya temenin”, atau “Minggu depan di rumah saya ada acara kumpul-kumpul. Yang datang beberapa teman gereja dan juga teman-teman mereka. Acaranya santai, pendeta dari gereja saya kasih khotbah singkat, setelah itu kita makan bareng dan ngobrol-ngobrol aja”. Dan akan lebih menyenangkan bagi orang yang diajak jika selama ini kita memang teman mereka, bukan tiba-tiba mau jadi teman hanya karena ingin mengajak mereka ke KKR!
Satu lagi analogi yang ingin saya tarik dari dunia pemasaran. Hal yang sangat menggelikan bagi saya adalah di dalam usaha memasarkan produknya, banyak para pemasar yang menyebut ‘keinginan menolong orang lain’ sebagai dasar motivasinya. Mereka berkata “kalau saya bisnis sendiri, saya hanya memperkaya diri sendiri, tapi saya ingin menolong orang lain dan anda juga bisa menolong orang lain dengan bergabung dengan bisnis ini”. Apakah sungguh itu motivasinya? Adakah di antara kita yang antusias “Wow, alangkah indahnya bisa menolong orang lain. Saya akan bergabung dengan bisnis ini!”? Jelas bukan itu motivasinya!
Mengajak orang untuk percaya kepada Yesus adalah hal yang sangat mulia, karena kita tahu itu adalah hal terbaik yang bisa terjadi kepada seseorang. Motivasi dasarnya? Kasih! Kasih dalam hal ini boleh saya definisikan sebagai keinginan untuk orang lain memperoleh yang terbaik untuk hidupnya. Melihat orang lain punya kebutuhan rohani dan ingin menawarkan pertolongan dari Tuhan yang mampu menolong, itulah kasih! Tanpa kasih, ajakan yang mulia itu menjadi sangat tercemar. Tanpa kasih, motivasi kita mungkin hanya karena disuruh hamba Tuhan, atau tidak enak kalau persekutuan di rumah sepi, atau mengusir perasaan bersalah karena tidak menginjili. Apapun juga, jikalau bukan kasih, ajakan kita itu menggelikan. Walaupun kita katakan motivasi kita adalah kasih, tapi coba tanya pada diri sendiri apakah betul motivasinya kasih? Kalau sebenarnya bukan kasih, bau ketidaktulusan itu akan tercium.
Di zaman ini banyak orang yang sedang mencari sesuatu yang bisa mengisi kekosongan hidupnya. Mereka merasa kering, lelah, bosan dengan hidupnya. Mereka membutuhkan Tuhan. Jika kita mengasihi mereka, pertama-tama kita tidak ingin mereka hidup seperti itu, kita ingin mereka menerima kehidupan yang sesungguhnya di dalam Yesus. Kedua, kalau memang kita punya hati seperti itu, pergilah kepada mereka, tanyakan apakah mereka mau mempertimbangkan bahwa Yesus bisa mengisi kosongnya jiwa mereka. Kita punya berita yang sangat berharga, mereka perlu itu, maka tawarkan kepada mereka! Tapi jangan lupa, lakukanlah dengan tulus dan penuh kasih!
Tetapi di zaman sekarang keadaan sudah berubah. Kepekaan akan ada tidaknya ketulusan ini menjadi lebih tajam. Bukan berarti orang-orang zaman sekarang lebih tulus (bagaimanapun orang tetap berdosa), tetapi mereka lebih peka, curiga dan tidak suka dengan ketidaktulusan.
Saya ambil contoh praktis saja dari dunia pemasaran. Dulu para agen asuransi diajarkan oleh perusahaan supaya ketika menawarkan asuransi, sebisa mungkin jangan katakan bahwa produk yang dijual adalah asuransi. Alasannya? Banyak orang yang belum mengerti asuransi tetapi langsung antipati ketika mendapat penawaran asuransi. Maka para agen asuransi akan ‘putar-putar’ dulu ketika bicara, baru ujungnya berkata “nah inilah yang saya jual”.
Demikian pula dalam sistem pemasaran multi level (MLM) yang sangat booming sejak hampir 20 tahun yang lalu. Ketika ingin mengajak orang untuk bergabung, mereka diajarkan untuk tidak ‘straight to the point’. Maka mereka mungkin akan mulai dengan mengajak orang itu berpikir apa yang diinginkannya (seringkali yang digali adalah ketamakan dan kemalasan orang itu, seperti ingin punya mobil mewah, penghasilan ratusan juta, tanpa bekerja pula). Bahkan ketika ingin mulai bicara pun, mereka tidak akan katakan ingin membicarakan hal itu. Mereka mungkin katakan ingin datang main ke rumah, ingin bicarakan bisnis, atau bahkan sekedar ‘membesuk’. Setelah ‘putar-putar’, baru mereka menjelaskan maksud sebenarnya.
Cara-cara pemasaran seperti ini terbukti sukses, tapi itu dulu. Sekarang ini, cara-cara yang saya sebutkan di atas masih dilakukan, tetapi saya makin banyak mendengar suara-suara miring dari orang-orang yang menjadi ‘korban’ pemasaran dengan cara tersebut. Mereka merasa ditipu, menjadi objek, diganggu, dan yang paling menyedihkan adalah itu dilakukan oleh orang-orang yang mereka kenal. Artinya ada relasi yang terluka di situ.
Saya pernah mengalaminya. Suatu kali ada teman lama yang tiba-tiba menelpon. Wah, saya sangat senang karena memang sudah lama tidak bertemu. Tetapi setelah basa-basi sejenak, kemudian dia mengatakan ingin menawarkan bisnis. Ketika saya tanya bisnis apa, dia mencoba menyembunyikannya dan mengatakan akan menjelaskannya ketika nanti bertemu saya. Di otak saya langsung muncul 3 huruf yang berkedip-kedip “M-L-M” (Multi Level Marketing). Akhirnya dia memang mengaku, dan dengan sopan saya menolak karena sayatidak tertarik. Setelah telpon ditutup, saya merasa sakit hati. Saya tahu teman saya itu pasti mencoba memikirkan setiap nama yang bisa di ‘prospek’ dan di situlah baru dia teringat nama saya. Sejak hari itu, dia juga tidak pernah menelpon saya lagi. Saya sangat merasa dimanfaatkan dan tidak suka dengan ketidaktulusannya.
Saya juga pernah terjebak, duduk dan harus mendengarkan presentasi yang ‘putar-putar’ dulu itu, yang padahal dari awal saya sudah tahu ujungnya akan seperti apa. Pertanyaan seperti “apa yang anda cita-citakan?” untuk menggali ketamakan saya, membuat saya muak.
Ada 1 cerita lagi, suatu kali seorang teman mengirim SMS menanyakan kapan saya ada waktu karena dia ingin mampir dan ngobrol. Pengalaman saya (bukan cuma sekali dalam peristiwa yang saya ceritakan di atas, tapi beberapa kali) langsung membuat alarm di atas kepala saya berbunyi. Teman ini bukan teman yang dekat, kami juga sudah tidak bertemu beberapa tahun, dan dia tidak pernah khusus ingin ngobrol dengan saya sebelumnya. Belakangan saya tahu, dia memang ingin menawarkan asuransi.
Saya perlu jelaskan dulu, saya tidak anti dengan produk asuransi atau produk yang ditawarkan melalui jaringan MLM. Produk asuransi dan MLM banyak yang bagus dan memang dibutuhkan. Saya juga mencari beberapa di antaranya dan senang membelinya. Tapi saya tidak suka dijebak. Saya lebih senang jika ada orang yang langsung katakan “saya jualan asuransi/produk A, kamu perlu nggak? Kalau mau, biar saya jelasin dulu nanti terserah putusin tertarik atau nggak”.
Saya yakin cara-cara pemasaran seperti di atas masih sukses, dan itu sebabnya masih dipakai. Tetapi saya juga yakin cara pemasaran seperti itu pasti akan makin tidak populer dalam tahun-tahun yang akan datang. Dan adalah kebodohan jika perusahaan-perusahaan masih melatih tenaga pemasarnya melakukan hal-hal seperti di atas, karena itu berarti mereka tidak peka menangkap perubahan.
Saya tidak ingin menulis panjang lebar seperti ini untuk mengkritik dunia pemasaran, tetapi yang ingin saya ajak kita lihat adalah ternyata banyak gereja juga melakukan hal yang sama. Gereja juga tidak membaca perubahan zaman.
Mungkin dulu orang Kristen merasa cara-cara pemasaran seperti di atas sukses untuk bisnis, maka mereka berpikir “wah, ini cocok juga di gereja”. Maka dibuatlah penginjilan dengan cara seperti demikian. Misalnya kita mengadakan pertemuan di rumah, kita undang tetangga dengan menyebutkan “ini acara makan-makan”, tetapi waktu mereka datang ada pengkhotbah yang menginjili mereka. Kita juga tiba-tiba menelpon kenalan lama kita, yang tidak pernah sama sekali kita hubungi dan sejujurnya tidak pernah kita ingat, hanya untuk mengajak mereka ke KKR (bayangkan perasaan mereka karena tahu nama mereka baru teringat waktu kita sedang mendaftarkan siapa yang bisa diajak untuk KKR). Atau kita tiba-tiba menyapa dengan sopan tetangga kita yang tadinya tidak pernah kita sapa (dan mungkin dia sebal dengan kita) hanya karena ingin mengajak mereka ke persekutuan di rumah kita.
Sekali lagi saya yakin cara-cara seperti di atas masih bisa dipakai dan sangat bagus kalau orang Kristen punya semangat untuk memberitakan Injil. Tetapi saya juga yakin cara-cara seperti itu akan makin membuat gereja dicela daripada dimuliakan. Mengapa? Sama seperti kasus dalam dunia pemasaran yang saya sebutkan di atas, itu sangat tidak tulus! Mengapa tidak langsung katakan “Minggu depan ada kebaktian di situ, khusus jelasin tentang kekristenan. Mau ikut nggak? Kalo mau, datang aja dengerin, nanti saya temenin”, atau “Minggu depan di rumah saya ada acara kumpul-kumpul. Yang datang beberapa teman gereja dan juga teman-teman mereka. Acaranya santai, pendeta dari gereja saya kasih khotbah singkat, setelah itu kita makan bareng dan ngobrol-ngobrol aja”. Dan akan lebih menyenangkan bagi orang yang diajak jika selama ini kita memang teman mereka, bukan tiba-tiba mau jadi teman hanya karena ingin mengajak mereka ke KKR!
Satu lagi analogi yang ingin saya tarik dari dunia pemasaran. Hal yang sangat menggelikan bagi saya adalah di dalam usaha memasarkan produknya, banyak para pemasar yang menyebut ‘keinginan menolong orang lain’ sebagai dasar motivasinya. Mereka berkata “kalau saya bisnis sendiri, saya hanya memperkaya diri sendiri, tapi saya ingin menolong orang lain dan anda juga bisa menolong orang lain dengan bergabung dengan bisnis ini”. Apakah sungguh itu motivasinya? Adakah di antara kita yang antusias “Wow, alangkah indahnya bisa menolong orang lain. Saya akan bergabung dengan bisnis ini!”? Jelas bukan itu motivasinya!
Mengajak orang untuk percaya kepada Yesus adalah hal yang sangat mulia, karena kita tahu itu adalah hal terbaik yang bisa terjadi kepada seseorang. Motivasi dasarnya? Kasih! Kasih dalam hal ini boleh saya definisikan sebagai keinginan untuk orang lain memperoleh yang terbaik untuk hidupnya. Melihat orang lain punya kebutuhan rohani dan ingin menawarkan pertolongan dari Tuhan yang mampu menolong, itulah kasih! Tanpa kasih, ajakan yang mulia itu menjadi sangat tercemar. Tanpa kasih, motivasi kita mungkin hanya karena disuruh hamba Tuhan, atau tidak enak kalau persekutuan di rumah sepi, atau mengusir perasaan bersalah karena tidak menginjili. Apapun juga, jikalau bukan kasih, ajakan kita itu menggelikan. Walaupun kita katakan motivasi kita adalah kasih, tapi coba tanya pada diri sendiri apakah betul motivasinya kasih? Kalau sebenarnya bukan kasih, bau ketidaktulusan itu akan tercium.
Di zaman ini banyak orang yang sedang mencari sesuatu yang bisa mengisi kekosongan hidupnya. Mereka merasa kering, lelah, bosan dengan hidupnya. Mereka membutuhkan Tuhan. Jika kita mengasihi mereka, pertama-tama kita tidak ingin mereka hidup seperti itu, kita ingin mereka menerima kehidupan yang sesungguhnya di dalam Yesus. Kedua, kalau memang kita punya hati seperti itu, pergilah kepada mereka, tanyakan apakah mereka mau mempertimbangkan bahwa Yesus bisa mengisi kosongnya jiwa mereka. Kita punya berita yang sangat berharga, mereka perlu itu, maka tawarkan kepada mereka! Tapi jangan lupa, lakukanlah dengan tulus dan penuh kasih!
Tuesday, April 08, 2008
1 Samuel 13 - Ketidaktaatan
Saul adalah raja pertama dari bangsa Israel. Kitab 1 Samuel pasal 9-12 mencatat hal-hal yang indah
tentang bagaimana Saul dipilih Tuhan menjadi raja, bagaimana namanya dibuat menjadi harum di antara orang Israel, sehingga Samuel pun bisa berlega hati minta diri dari bangsa Israel. Tetapi mulai 1 Samuel 13, yang diceritakan adalah kemerosotan Saul. Ketidaktaatan dan ketidak bijaksanaan Saul mulai diperlihatkan, sampai akhirnya 1 Samuel 15:35 menyimpulkan: “…Samuel berdukacita karena Saul. Dan Tuhan menyesal, karena Ia menjadikan Saul raja atas Israel”. Itulah kesimpulan akhir yang menyedihkan tentang Saul.
Selama Saul memerintah, bangsa Israel terus berada dalam kondisi peperangan dengan bangsa-bangsa lain. 1 Samuel 13-15 menceritakan kemenangan-kemenangan awal Saul atas Filistin dan juga Amalek. Maka dari sisi manusia, bisa dikatakan 1 Samuel 13 ini adalah permulaan yang baik dari pemerintahan Saul. Baru saja jadi raja, sudah menang perang terus. Dia mengawali pemerintahannya dengan menunjukkan kemampuannya melawan musuh. Tetapi justru di sini pointnya. Cerita kesuksesan Saul bercampur dengan komentar yang buruk dari Tuhan.
Dan akhirnya seluruh cerita ditutup di 1 Samuel 15 dengan kesimpulan yang menyedihkan itu tentang Saul. Sekalipun Saul bisa memenangkan peperangan dan banyak mengerjakan hal yang baik selama dia menjadi raja, tetapi dia tidak taat pada Tuhan. Kalau mau diukur dari keberhasilan, Saul sangat sukses. Tapi bukan itu yang Tuhan lihat. Tuhan tidak memuji kesuksesannya, tetapi Tuhan bersedih melihat hatinya.
Kesalahan Saul dalam 1 Samuel 13 ini adalah dalam hal mempersembahkan korban. Kesalahan Saul adalah karena ia tidak mentaati firman Tuhan yang disampaikan oleh Samuel (13:13-14).
Saul ingin segera membakar korban karena pada waktu itu rakyat mulai berserak meninggalkan dia. Tentara Israel punya sedikit sekali senjata yang layak karena mereka sama sekali tidak menguasai teknik untuk mengasah besi. Tidak ada seorang pun tukang besi di Israel, maka mereka tidak memiliki satu pun pedang atau tombak (13:19,22). Hanya Saul dan Yonatan yang punya. Yang lain pakai apa? Mungkin kapak, arit, atau alat-alat pertanian lainnya yang tidak layak dijadikan senjata berperang. Sementara itu, mempersembahkan korban sebelum berperang adalah kebiasaan bangsa-bangsa zaman itu sebagai cara mendapat perkenanan dewa mereka. Bangsa Israel juga punya konsep yang sama. Itu sebabnya dalam keadaan yang serba lemah, sementara korban belum dipersembahkan, mereka sangat takut dan mulai meninggalkan Saul. Maka Saul ingin membangkitkan semangat rakyat dengan membakar korban, seperti berkata “Lihat korban sudah dipersembahkan! Allah pasti tolong!”.
Samuel sudah memberikan perintah supaya Saul pergi dulu ke Gilgal dan menunggu dia selama 7 hari di sana sampai dia datang dan barulah mempersembahkan korban (10:8). Tetapi sesudah ditunggu 7 hari lamanya, Samuel belum datang juga sementara rakyat sudah tidak sabar. Keadaan memburuk karena musuh makin dekat mengepung dan semua sudah ketakutan, ada yang bersembunyi di gua dan ada yang melarikan diri. Maka Saul pun melanggar perintah Tuhan.
Ada 3 hal lagi yang menjadi kesalahan besar Saul:
Pertama, dia pintar beralasan.
Kita bisa berkata bahwa tindakan Saul masuk akal. Persis seperti alasan Saul mengapa dia mempersembahkan korban tanpa menunggu Samuel: “Rakyat itu berserak-serak meninggalkan aku dan engkau tidak datang pada waktu yang telah ditentukan, padahal orang Filistin telah berkumpul di Mihkmas, maka pikirku: Sebentar lagi orang Filistin akan menyerang aku di Gilgal, padahal aku belum memohonkan belas kasihan TUHAN; sebab itu aku memberanikan diri, lalu mempersembahkan korban bakaran” (13:11-12).
Kata-kata Saul hebat, alasannya tepat, semuanya masuk akal. Tetapi Saul lupa 1 hal: Tuhan lebih senang orang yang taat! Alasan apapun, sekalipun masuk akal, menjadi tidak masuk akal karena melawan perintah Tuhan.
Kalau kita lihat nanti di 1 Samuel 15, kita menemukan kisah yang mirip terulang lagi. Saul tidak taat lagi, dan ketika ditegur, dia langsung memberikan lagi alasan-alasan yang masuk akal. Ini kelemahan Saul yang paling dasar: dia pintar bicara dan mencari alasan ketika ditegur.
Kedua, Saul dikuasai oleh keadaan dan bukan oleh iman.
John Bunyan mengatakan kalimat yang agung: “Aku lebih baik berjalan di dalam gelap bersama Tuhan daripada berjalan sendirian di dalam terang”. Lebih baik di dalam gelap, tidak tahu mengapa, tidak tahu harus bagaimana, tetapi tetap bersama Tuhan, daripada seakan-akan tahu jelas apa yang harus dilakukan, tahu jalan kemenangan, tetapi sendirian karena tidak bersama Tuhan.
Tetapi pikiran Saul lain. Dan seringkali begitu jugalah kita! Ketika kita melihat keadaan tidak beres, kita sering ingin segera melakukan sesuatu. Kita tidak suka ada sesuatu yang berjalan di luar kontrol kita, kita ingin pegang kendali. Tetapi ini salah! Ini seringkali sama dengan keinginan manusia menjadi sama seperti Allah. Kita ingin mengatur hidup kita, ingin semua berada dalam kontrol kita. Padahal lebih baik lemah, seperti tidak bisa berbuat apa-apa, berada dalam kegelapan, tapi jelas menantikan Tuhan.
Terakhir, Saul menganggap Tuhan hanya seperti mainan. Ketika dia mempersembahkan korban, dia juga hanya ingin memakai Tuhan untuk memberkati peperangan. Dia ingin memakai upacara persembahan korban kepada Tuhan itu sebagai alat untuk memompa semangat prajuritnya. Ia tidak menganggap serius Tuhan.
Belajar mentaati Tuhan, belajar tetap taat sekalipun keadaan tidak memungkinkan, belajar tetap menunggu Tuhan sekalipun seperti tidak bisa ditunggu, itu adalah pelajaran-pelajaran penting dalam kehidupan. Saul melakukan kewajiban agama, Saul bicara tentang Allah, Saul juga melakukan pekerjaan Allah. Semua itu dia lakukan, tetapi itu tidak cukup. Masalahnya adalah hati, 'The heart of the matter is a matter of the heart' (Inti dari masalahnya adalah masalah hati). Allah tidak ingin semua itu tanpa hati yang merindukan dan mentaati Dia.
Bagaimana hati anda?
Monday, April 07, 2008
Perubahan
Akhir-akhir ini di dalam beberapa kesempatan, saya bertemu beberapa orang teman lama, teman-teman semasa SMA dulu. Surprise memang, ada yang masih saya kenal, ada yang hanya saya ingat wajahnya tapi lupa namanya, ada juga yang setelah kenalan baru saya tahu ternyata itu teman SMA! Biasanya yang terakhir itu adalah mereka yang memang waktu masa SMA dulu hanya tahu-sama-tahu dengan saya.
Masing-masing sudah berubah, saya berubah dan mereka juga berubah. Perubahan kami bukan sekedar pada fisik, yang biasanya terlihat dengan tubuh yang makin ‘besar’, rambut yang makin jarang, dan wajah yang makin tua, tetapi juga pada kehidupan.
Dulu semua sama-sama ‘anak SMA’, seragam kami sama, putih abu-abu dan dan sepatu hitam, pergumulan hidup kami juga mirip yaitu PR, ulangan, ujian, les dan masalah dengan guru.
Sekarang semua punya kehidupan yang berbeda. Ada yang sudah berkeluarga dan ada juga yang belum. Ada yang bekerja sebagai karyawan, dosen atau guru, ada yang wirausaha dan ada juga yang menjadi profesional seperti dokter. Ada yang ekonominya maju dan serba berkecukupan dan ada juga yang biasa-biasa saja. Daftar ini masih bisa ditambah terus.
Yang menarik adalah tidak semua kondisi-kondisi di atas sudah bisa diprediksi sejak dulu. Banyak juga yang ‘dulunya sama sekali tidak terbayang dia bisa jadi begitu’. Saya kira teman-teman SMA saya juga dulu tidak ada yang menduga kalau akhirnya sekarang saya menjadi hamba Tuhan penuh waktu di gereja. Jangankan mereka, sayapun tidak menduga!
Dan saya juga menemukan beberapa hal yang menarik, walaupun kebanyakan perubahan-perubahan itu hanya sekedar status pernikahan, pekerjaan, kondisi ekonomi, atau segala 'embel-embel' lain di permukaan, tetapi ada juga perubahan yang terjadi pada ‘orang’nya. Ada yang dulunya seperti apa tetapi sekarang seperti apa. Ada yang dulunya sangat aktif pelayanan, sekarang sekedar ke gereja. Ada juga yang dulunya tidak percaya Tuhan sekarang jadi orang yang sangat bertumbuh. Ada yang dulu ‘agak aneh’, sekarang berubah walaupun ada juga yang berubahnya menjadi makin parah.
Saya jadi merenung lagi tentang kehidupan saya. Saya yang sekarang juga sudah berbeda dengan saya yang dulu. Mengenai 'embel-embel', pasti banyak perubahan. Tapi mengenai 'orang'nya, mungkin dalam beberapa hal saya tidak berubah (ini menyedihkan saya), dalam beberapa hal lain mungkin saya menjadi makin buruk (walaupun saya harap tidak seperti itu), dan dalam beberapa hal lain mungkin saya makin baik. Tetapi yang membuat saya bersyukur adalah, dengan segala kekurangan yang ada, saya bisa mengatakan saya bertumbuh. Ini membuat saya sangat bersyukur. Walaupun lambat dan cacat di sana-sini, saya bertumbuh!
Dan saya berpikir apa yang menyebabkan saya menjadi seperti sekarang ini? Jawaban saya bisa bermacam-macam: karena orang tua, karena lingkungan, karena teman-teman, atau karena keputusan-keputusan tertentu dalam hidup saya. Tetapi saya sadar di atas semua itu adalah: karena kasih karunia Tuhan dan respon saya atas kasih karunia itu. Tuhan, dengan terus menerus, tidak bosan-bosan, pantang menyerah, berusaha menggarap hidup saya untuk mengubah saya, dan saya berubah juga walaupun respon saya sering lamban dan bebal (Ah, andaikata saya tidak begini bebal dan lamban!).
Ada perubahan-perubahan dalam hidup saya yang waktu SMA dulu, atau bahkan waktu kuliah dulu, sama sekali tidak terpikir oleh saya. Saya tidak terbayang akan menjadi seperti apa adanya sekarang ini. Saya tahu saya masih sangat super jauh dari baik. Tapi saya bisa menyaksikan bagaimana kasih karunia Tuhan itu beroperasi dalam hidup saya dan bagaimana respon saya yang bebal dan lamban itu, walaupun seperti membuka pintu dengan pelit kepada Tuhan, ternyata sudah membuat anugrahNya menerobos masuk. Maka sekarang ini, kalau melihat ke belakang, saya bisa berkata “Oh, betapa manisnya perubahan itu, betapa manisnya karya Tuhan dalam hidup saya!”.
Lalu saya lihat lagi keadaan diri saya sekarang ini. Jujur saya tidak puas, bahkan sangat tidak puas, dengan diri saya yang sekarang. Bukan saya tidak puas dengan anugrah Tuhan. Saya tidak puas karena saya tahu Tuhan ingin saya lebih dari sekarang tapi saya masih terlalu pelit membuka pintu itu. Dan saya memandang ke depan untuk perubahan lagi.
Suatu kali, ketika saya sedang sangat kesal, saya berkata kepada teman saya “saya sudah tidak bisa berubah lagi, sudah mentok!”. Teman saya kemudian memberikan nasihat bijak yang terus saya ingat “jangan batasi perubahan yang ingin dikerjakan Tuhan!”.
Hidup saya hari ini belum tentu menunjukkan besok akan seperti apa. Sekali lagi maksud saya bukan sekedar kondisi ekonomi, jenis pekerjaan atau segala embel-embel lain tetapi diri saya sendiri. Dan sampai berapa jauh saya bisa berubah? Alkitab memberitahu: Sampai seperti Kristus! Sampai hidup dalam kemuliaan bersama Tuhan dan malaikat-malaikatNya di surga! (2 Kor 3:18, Kol 3:4).
Menanti saat itu membuat saya terharu dan tidak sabar. Saya ingin ada disana dan bisa menoleh ke belakang dan dengan lebih berani lagi berkata “Oh, betapa manisnya perubahan itu, betapa manisnya karya Tuhan dalam hidup saya”. Saat itu pasti akan tiba!
Friday, March 21, 2008
Mengenang Apa?
Minggu ini orang Kristen merayakan Jumat Agung dan Paskah, dua hari yang sangat besar, kalau tidak bisa dikatakan terbesar, dalam kalender gereja.
Di dalam kebaktian Jumat Agung atau Paskah di gereja-gereja, dengan berbagai cara kita selalu mengenang kembali kesengsaraan Kristus. Ada pengkhotbah yang menceritakan ulang penderitaan yang ditanggung Yesus. Ada gereja yang menampilkan cuplikan film The Passion of Christ. Ada juga yang menampilkan drama yang melukiskan adegan penyiksaan dan penyaliban Yesus. Dan tidak jarang jemaat, termasuk saya, menangis karenanya.
Jelas tidak salah, bahkan harus, untuk kita mengenang kembali kesengsaraan Kristus. Juga sama sekali tidak salah untuk menangis membayangkan penderitaan yang ditanggung oleh Kristus.
Tetapi jangan sampai kita salah alamat!
Ketika seorang ayah yang penuh kasih memukul anaknya yang bersalah, ia pasti tidak ingin anaknya menangis karena pukulannya saja, lalu titik berhenti di situ. Ia pasti ingin anaknya tahu kesalahannya dan tidak ingin mengulanginya lagi. Ketika seorang ayah memberikan hadiah, ia pasti tidak ingin anaknya bersukacita hanya karena hadiahnya saja, tetapi karena tahu ayahnya mengasihinya.
Ketika kita merayakan Jumat Agung dan Paskah, mengenang kesengsaraan Yesus, menangis karenanya, apa sebenarnya yang kita kenang dan tangisi? Kalau kita hanya mengenang betapa menderitanya Yesus, betapa sakitnya cambukan yang dia terima, betapa perihnya luka ketika paku itu menusuk kaki dan tangannya, kita salah alamat. Kalau kita hanya menangis karena itu, kita salah alamat. Allah tidak ingin kita berhenti di situ.
Mengenang kembali kesengsaraan Kristus seharusnya membawa kita melihat dua hal:
Pertama, betapa besarnya kasih Kristus. Apa yang Dia tanggung bagi kita adalah pernyataan kasihNya kepada kita, kasih yang sudah ada sebelum permulaan zaman dan kasih yang terus dinyatakan kepada kita sampai hari ini bahkan sampai selama-lamanya. Peristiwa kesengsaraan Kristus adalah salah satu, atau lebih tepatnya yang terbesar, dari pernyataan kasih itu. Oh sungguh, “betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus!” (Ef 3:18).
Kedua, seperti yang dikatakan Yesus kepada perempuan-perempuan yang menangisi diriNya: “janganlah kamu menangisi Aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu!” (Luk 23:28). Yesus disalib karena menanggung dosa-dosa kita. Tangisilah diri kita yang berdosa ini, tangisilah diri kita yang membutuhkan darahNya yang dicurahkan di atas kayu salib itu, tangisilah diri kita yang sampai hari ini terus berbuat dosa dan terus disucikan oleh darahNya itu!
Betapa lebih gampangnya kita mengenang kesengsaraan Kristus daripada mengingat kasih Allah apalagi keberdosaan kita! Tetapi itulah Jumat Agung dan itulah Paskah.
Selamat merayakan Jumat Agung dan Paskah. Tuhan berkati!
Di dalam kebaktian Jumat Agung atau Paskah di gereja-gereja, dengan berbagai cara kita selalu mengenang kembali kesengsaraan Kristus. Ada pengkhotbah yang menceritakan ulang penderitaan yang ditanggung Yesus. Ada gereja yang menampilkan cuplikan film The Passion of Christ. Ada juga yang menampilkan drama yang melukiskan adegan penyiksaan dan penyaliban Yesus. Dan tidak jarang jemaat, termasuk saya, menangis karenanya.
Jelas tidak salah, bahkan harus, untuk kita mengenang kembali kesengsaraan Kristus. Juga sama sekali tidak salah untuk menangis membayangkan penderitaan yang ditanggung oleh Kristus.
Tetapi jangan sampai kita salah alamat!
Ketika seorang ayah yang penuh kasih memukul anaknya yang bersalah, ia pasti tidak ingin anaknya menangis karena pukulannya saja, lalu titik berhenti di situ. Ia pasti ingin anaknya tahu kesalahannya dan tidak ingin mengulanginya lagi. Ketika seorang ayah memberikan hadiah, ia pasti tidak ingin anaknya bersukacita hanya karena hadiahnya saja, tetapi karena tahu ayahnya mengasihinya.
Ketika kita merayakan Jumat Agung dan Paskah, mengenang kesengsaraan Yesus, menangis karenanya, apa sebenarnya yang kita kenang dan tangisi? Kalau kita hanya mengenang betapa menderitanya Yesus, betapa sakitnya cambukan yang dia terima, betapa perihnya luka ketika paku itu menusuk kaki dan tangannya, kita salah alamat. Kalau kita hanya menangis karena itu, kita salah alamat. Allah tidak ingin kita berhenti di situ.
Mengenang kembali kesengsaraan Kristus seharusnya membawa kita melihat dua hal:
Pertama, betapa besarnya kasih Kristus. Apa yang Dia tanggung bagi kita adalah pernyataan kasihNya kepada kita, kasih yang sudah ada sebelum permulaan zaman dan kasih yang terus dinyatakan kepada kita sampai hari ini bahkan sampai selama-lamanya. Peristiwa kesengsaraan Kristus adalah salah satu, atau lebih tepatnya yang terbesar, dari pernyataan kasih itu. Oh sungguh, “betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus!” (Ef 3:18).
Kedua, seperti yang dikatakan Yesus kepada perempuan-perempuan yang menangisi diriNya: “janganlah kamu menangisi Aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu!” (Luk 23:28). Yesus disalib karena menanggung dosa-dosa kita. Tangisilah diri kita yang berdosa ini, tangisilah diri kita yang membutuhkan darahNya yang dicurahkan di atas kayu salib itu, tangisilah diri kita yang sampai hari ini terus berbuat dosa dan terus disucikan oleh darahNya itu!
Betapa lebih gampangnya kita mengenang kesengsaraan Kristus daripada mengingat kasih Allah apalagi keberdosaan kita! Tetapi itulah Jumat Agung dan itulah Paskah.
Selamat merayakan Jumat Agung dan Paskah. Tuhan berkati!
Wednesday, February 06, 2008
Punya Berapa?
Punya sedikit disayang-sayang, punya banyak dibuang-buang. Kalimat itu mungkin melukiskan mentalitas kita.
Ketika listrik padam dan pompa air di rumah saya tidak berfungsi, itu berarti jika air di bak tampung di atas rumah saya sudah habis maka saya harus mulai menimba air dari bak tampung yang ada di depan rumah. Saat itu, otomatis saya menjadi berhati-hati dalam memakai air. Sebisa mungkin saya berhemat, baik dalam mencuci tangan, menyiram toilet, ataupun mandi. Keran dibuka sekecil mungkin dan secepat-cepatnya ditutup lagi. Ini berbeda dengan sikap saya ketika air seperti ‘tidak terbatas’.
Saya yakin banyak dari kita yang punya pengalaman serupa. Entah itu dalam hal air, atau minuman, atau makanan, atau uang, atau apa saja.
Sikap ini sebetulnya sangat salah. Dalam contoh peristiwa di atas, pertanyaan sederhana saja: “Apakah kalau listrik di rumah tidak padam dan air bisa terus mengalir tanpa harus merepotkan saya menimba, maka saya berhak memakai air semau saya?” Jelas tidak! Ini bukan masalah saya mampu membayar tagihan air atau tidak, tetapi masalah tanggung jawab terhadap lingkungan. Ini masalah kepedulian kepada dunia ciptaan Tuhan karena air bersih bukan tidak terbatas. Saya tidak teruskan dulu topik ini.
Saya ingin menyoroti masalah mentalitasnya saja karena ternyata mentalitas yang sama juga berlaku di dalam pelayanan kita.
Dalam gereja yang jumlah jemaatnya sangat sedikit, setiap orang akan dikenal namanya dan diketahui kondisinya. Jika beberapa orang tidak datang, suasana kebaktian akan langsung terasa lebih sepi. Dan dalam suasana seperti itu juga, jika tiba-tiba datang 1 orang yang baru pertama kali datang ke gereja, dia akan disambut dengan sukacita. Saya pernah melayani di suatu persekutuan yang jumlah kehadirannya rata-rata adalah 8-12 orang. Kehadiran setiap orang rasanya begitu penting.
Bandingkan jika kita berada di gereja yang besar. Ketidakhadiran beberapa orang tidak akan terasa, apalagi jika itu adalah orang-orang yang tidak menyenangkan untuk kita. Dan kalau ada di antara mereka yang membutuhkan sesuatu, seringkali kita tidak bersikap melayani tetapi birokratis. Alasannya? Jemaat banyak, sibuk, biar mereka yang berusaha mencari kita. Ini mentalitas ‘punya banyak dibuang-buang’!
Bukankah Firman Tuhan tidak mengajarkan begitu? Baik dalam hal harta milik, dalam hal lingkungan maupun dalam pelayanan kepada jiwa-jiwa, kita harus bertanggung jawab kepada Tuhan. Jumlah berapapun adalah milik Tuhan dan Tuhan minta kita setia atas semuanya itu.
Seharusnya bukan punya sedikit disayang-sayang, punya banyak dibuang-buang. Kalau punya sedikit maka kita sayang-sayang, mungkin itu cuma mentalitas egois. Kalau punya banyak dibuang-buang, jelas kita tidak berhak lakukan itu. Maka seharusnya punya berapapun disayang-sayang dan dipertanggungjwabkan di hadapan Tuhan!
Ketika listrik padam dan pompa air di rumah saya tidak berfungsi, itu berarti jika air di bak tampung di atas rumah saya sudah habis maka saya harus mulai menimba air dari bak tampung yang ada di depan rumah. Saat itu, otomatis saya menjadi berhati-hati dalam memakai air. Sebisa mungkin saya berhemat, baik dalam mencuci tangan, menyiram toilet, ataupun mandi. Keran dibuka sekecil mungkin dan secepat-cepatnya ditutup lagi. Ini berbeda dengan sikap saya ketika air seperti ‘tidak terbatas’.
Saya yakin banyak dari kita yang punya pengalaman serupa. Entah itu dalam hal air, atau minuman, atau makanan, atau uang, atau apa saja.
Sikap ini sebetulnya sangat salah. Dalam contoh peristiwa di atas, pertanyaan sederhana saja: “Apakah kalau listrik di rumah tidak padam dan air bisa terus mengalir tanpa harus merepotkan saya menimba, maka saya berhak memakai air semau saya?” Jelas tidak! Ini bukan masalah saya mampu membayar tagihan air atau tidak, tetapi masalah tanggung jawab terhadap lingkungan. Ini masalah kepedulian kepada dunia ciptaan Tuhan karena air bersih bukan tidak terbatas. Saya tidak teruskan dulu topik ini.
Saya ingin menyoroti masalah mentalitasnya saja karena ternyata mentalitas yang sama juga berlaku di dalam pelayanan kita.
Dalam gereja yang jumlah jemaatnya sangat sedikit, setiap orang akan dikenal namanya dan diketahui kondisinya. Jika beberapa orang tidak datang, suasana kebaktian akan langsung terasa lebih sepi. Dan dalam suasana seperti itu juga, jika tiba-tiba datang 1 orang yang baru pertama kali datang ke gereja, dia akan disambut dengan sukacita. Saya pernah melayani di suatu persekutuan yang jumlah kehadirannya rata-rata adalah 8-12 orang. Kehadiran setiap orang rasanya begitu penting.
Bandingkan jika kita berada di gereja yang besar. Ketidakhadiran beberapa orang tidak akan terasa, apalagi jika itu adalah orang-orang yang tidak menyenangkan untuk kita. Dan kalau ada di antara mereka yang membutuhkan sesuatu, seringkali kita tidak bersikap melayani tetapi birokratis. Alasannya? Jemaat banyak, sibuk, biar mereka yang berusaha mencari kita. Ini mentalitas ‘punya banyak dibuang-buang’!
Bukankah Firman Tuhan tidak mengajarkan begitu? Baik dalam hal harta milik, dalam hal lingkungan maupun dalam pelayanan kepada jiwa-jiwa, kita harus bertanggung jawab kepada Tuhan. Jumlah berapapun adalah milik Tuhan dan Tuhan minta kita setia atas semuanya itu.
Seharusnya bukan punya sedikit disayang-sayang, punya banyak dibuang-buang. Kalau punya sedikit maka kita sayang-sayang, mungkin itu cuma mentalitas egois. Kalau punya banyak dibuang-buang, jelas kita tidak berhak lakukan itu. Maka seharusnya punya berapapun disayang-sayang dan dipertanggungjwabkan di hadapan Tuhan!
Subscribe to:
Posts (Atom)